Saat ini, bumi butuh aksi nyata dari semua negara untuk mengurangi emisi karbon yang memicu terjadinya perubahan iklim. Oleh karena itu, Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai Perubahan Iklim atau yang lebih dikenal Conference of Parties (COP) ke-25 di Madrid pada 2–13 Desember 2019 mengangkat tema “Time for Action”

Tema tersebut untuk mengingatkan dan mengajak semua pihak bahwa kini saatnya aksi nyata untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang dipicu oleh peningkatan emisi karbon. Peningkatan emisi karbon (C02) berdampak buruk karena memerangkap panas sinar matahari. Akibatnya, suhu bumi naik sehingga terjadi pemanasan global dan iklim pun berubah.

Perubahan iklim mengakibatkan cuaca menjadi lebih ekstrem dan peningkatan temperatur di bumi. Ini dampaknya antara lain kemarau menjadi lebih panjang, curah hujan menjadi lebih tinggi, badai lebih sering terjadi, banjir ekstrem, serta kenaikan permukaan dan suhu air laut.

Peningkatan suhu dan permukaan laut menyebabkan yang akan terkena dampak paling besar adalah wilayah pesisir pantai dan negara-negara kepulauan. Tentu saja ribuan pulau kecil dan wilayah pesisir pantai yang dimiliki Indonesia akan tenggelam dampak dari perubahan iklim tersebut.

PBB menyatakan sekarang perubahan iklim telah memengaruhi setiap negara di setiap benua. Ini mengganggu ekonomi nasional dan memengaruhi kehidupan, merugikan banyak orang, masyarakat, dan negara pada hari ini dan bahkan lebih banyak lagi pada masa depan.

PBB telah meminta semua negara untuk memenuhi komitmennya dalam upaya mengurangi peningkatan emisi karbon sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Paris yang dibuat di COP 21 pada 2015.

Energi Terbarukan

Indonesia termasuk salah satu dari lebih 190 negara yang turut menandatangani Perjanjian Paris. Pemerintah telah meratifikasinya melalui UU No 16/2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim.

Berdasarkan dokumen First Biennal Update Report (BUR), emisi karbon atau gas rumah kaca nasional adalah sebesar 1.453 GtCO2e pada 2012. Sektor energi berkontribusi 34,9 persen dalam emisi gas rumah kaca tersebut.

Kini, Indonesia telah mulai melakukan aksi nyata dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Salah satunya melalui sektor energi dengan secara bertahap beralih dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang banyak menghasilkan emisi karbon ke pembangkit listrik energi terbarukan yang lebih bersih.

Kebijakan yang mengarah ke dekarbonisasi atau pengurangan emisi karbon tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.
Berdasarkan PP tersebut, peme­rintah menetapkan bauran energi primer dari sumber energi terbarukan setidaknya sebesar 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050.

Sebagai wujud implementasi ke­bijak­an tersebut, pemerintah meng­hadirkan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru yang dibangun PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.

PLTA ini termasuk salah satu bagian dari program prioritas pem­bangunan pembangkit listrik 35 ribu MW. Selain itu, bagian dari implementasi pemerintah Indonesia terhadap Perjanjian Paris untuk mengurangi emisi karbon nasional sebesar 29 persen pada 2030.

PLTA Batang Toru berkapasitas 510 MW untuk menggantikan peng­gunaan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang berbakar fosil saat beban puncak di Sumut. Pembangkit listrik tenaga air Batang Toru diatur untuk berkontribusi pada pengurangan emisi karbon minimal 1,6 juta ton per tahun.

Setara Jutaan Pohon

Foto-foto: dok. PLTA Batang Toru.

Communications and External Affairs Director PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) Firman Taufick mengatakan jumlah pengu­rangan emisi karbon minimal 1,6 juta ton per tahun tersebut setara kemampuan 120 ribu hektar wilayah hutan atau 12,3 juta pohon saga dalam menyerap emisi karbon.

Perhitungan ini merujuk pada pengalaman pengoperasian PLTA Asahan 1 yang berada di Toba Samosir, Sumatera Utara. Pembangkit tersebut pernah mendapatkan kredit karbon melalui Clean Development Mechanism (Kyoto Protocol) di 2011. PLTA Asahan 1 menggunakan Grid Carbon Emission Factor sebesar 0,873.

Bila diasumsikan bahwa minimal PLTA Batang Toru mendapatkan CEF sama dengan PLTA Asahan 1, besarnya pengurangan emisi karbon adalah 0,873 x 2.124.000 = 1.550.520 atau lebih kurang 1,6 juta ton/tahun. Jumlah 1,6 juta ton per tahun adalah 4 persen dari target nasional dari sektor energi.

“Jadi, kalau PLTA Batang Toru diberhentikan, sama saja menebang 12 juta pohon,” kata Firman. Tak hanya itu, PLTA Batang Toru kelak mengurangi beban keuangan negara dengan menghemat pengeluaran devisa hingga 400 juta dollar AS per tahun karena tidak menggunakan bahan bakar fosil yang mesti diimpor (fuel cost avoidance).

Pemakaian energi air untuk pembangkit listrik maka otomatis PLTA Batang Toru secara funda­men­tal akan mempertahankan dan selalu berkomitmen untuk menjalankan program kelestarian kawasan ekosistem Batangtoru yang menghasilkan air sebagai bahan baku operasinya. Oleh karena itu, PLTA Batang Toru peduli program konservasi termasuk satwa liar seperti orangutan yang ada di dalamnya.

Selain melakukan revegetasi, PLTA Batang Toru juga melakukan monitoring orangutan dan mengim­plementasikan prosedur penghentian pekerjaan sebagai mitigasi perlin­dungan satwa liar. Bahkan, pola pergerakan dan perilaku orangutan dipelajari, ter­utama perilaku makan, untuk memastikan tidak ada per­bedaan dengan orangutan liar di habitat alami lain.

“PLTA Batangtoru melakukan upaya-upaya mitigasi untuk melesta­rikan orangutan dan biodiversitas lainnya dengan melibatkan berbagai pihak,” ujar Firman Taufick. Ia menambahkan, upaya-upaya itu termasuk dengan membuat sejumlah program yang berkaitan dengan Orangutan. “Ada banyak program, kami juga sudah menyiapkan dana sebagai bentuk komitmen kami,” pungkasnya.

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 14 Desember 2019.