Peringatan Hari Air Sedunia pada 22 Maret 2019 mengangkat tema yang sangat universal, “Leaving No One Behind”. Tak boleh ada yang tertinggal untuk perkara akses terhadap air yang layak. Indonesia mengupayakan peningkatan tampungan dan akses air lewat sejumlah strategi.

Tema “Leaving No One Behind” adalah adaptasi dari slogan utama agenda 2030 untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). Akses air bersih dan sanitasi yang layak secara khusus tercantum di dalam tujuan nomor 6 dari keseluruhan 17 tujuan.

Menurut catatan unwater.org, saat ini, sekitar 40 persen atau lebih dari 2 miliar penduduk dunia hidup tanpa air bersih. Kelompok-kelompok termarginalkan, seperti perempuan, pengungsi, masyarakat adat, penduduk yang hidup di daerah terpencil, penyandang disabiitas, dan sebagainya kerap lebih kesulitan mengakses air.

Di Indonesia sendiri, Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2017, rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum layak sebesar 72,04 persen. Selain itu, tidak ada provinsi yang memiliki akses terhadap sumber air minum layak sampai 100 persen.

Beberapa provinsi yang memiliki akses tertentu, yaitu di kisaran 80–90 persen antara lain Bali, DKI Jakarta, dan Kalimantan Utara. Sementara itu, rendahnya akses terhadap air bersih (berada di kisaran 40–50 persen), tercatat di sejumlah provinsi, di antaranya Bengkulu, Lampung, dan Papua.

Kondisi ini tentu tidak meng­gembirakan, mengingat Indonesia sebetulnya punya potensi sumber daya air yang besar. “Potensi alam Indonesia untuk air adalah 3,9 triliun meter kubik per tahun.

Hari Suprayogi, Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR.

Dari jumlah itu, ketersediaan air permukaan sekitar 2,7 triliun per tahun,” ujar Hari Suprayogi, Direktur Jenderal Sumber Daya Air (SDA) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Potensi ini sebenarnya memadai untuk menunjang sektor pertanian, air baku bagi masyarakat perkotaan dan industri, pembangkit listrik, hing­ga pariwisata. Namun, pengelolaannya belum optimal. Dari potensi 3,9 triliun tersebut, menurut catatan BPS baru 17,69 persen atau 691,3 juta meter kubik per tahun yang dapat dimanfaatkan.

Dari jumlah itu, hanya 25,3 persen atau 175 juta meter kubik per tahun air baku yang sudah dimanfaatkan. Alokasinya antara lain untuk kebutuhan domestik, industri, dan irigasi.

Meningkatkan tampungan

Masalah lain terkait sumber daya air di Indonesia di samping kemampuan pemanfaatannya yang masih rendah adalah ketahanan air yang juga kurang. Salah satu hal yang memengaruhi hal ini, persebarannya tidak merata dan ketidakseimbangan antara ketersediaan air dengan kebutuhan. Di Pulau Jawa, misalnya, yang notabene dihuni sekitar 60 persen penduduk Indonesia, cadangan air bakunya hanya 4,6 persen.

Salah satu tolok ukur kecukupan air adalah indeks ketersediaan air. Dari rata-rata global, jika indeks ketersediaan air di satu negara sebesar 1.500 meter kubik per kapita per tahun, ketahanan airnya baik. Kalau di bawah rata-rata, potensi timbulnya masalah akan lebih besar, apalagi ketika populasi penduduknya terus bertambah.

“Untuk ketahanan air, saat ini, indeks di Indonesia baru 53 meter kubik per kapita tahun. Kalau saya bandingkan dengan Thailand, indeksnya sudah 1.200 meter kubik per kapita per tahun. Oleh karena itu, Kementerian PUPR punya program visium 2030, yang mencanangkan tercapainya indeks 120 meter kubik per kapita per tahun pada 2030,” terang Hari.

Visium 2030 adalah semacam peta jalan bertahap, yang salah satu targetnya adalah meningkatkan ka­­­pa­sitas tampungan air. Pemba­ngunan bendungan sejak 2015 dengan target 65 bendungan sampai 2019 (16 bendungan lanjutan dan 49 bendungan baru) adalah tonggak untuk mencapai hasil yang lebih besar ke depannya.

“Dalam kurun 5 tahun be­lakangan, pemerintah membangun 65 bendungan sehingga pada 2023 kapasitas tampung menjadi 95 meter kubik per kapita per tahun dan mencapai 120 meter kubik per kapita per tahun pada 2030. Harapannya, ini terus meningkat dalam rangka menopang ketahanan air. Ini akan mendukung juga ketahanan pangan dan ketahanan energi,” jelas Hari.

Bendungan-bendungan yang dibangun itu multifungsi. Selain air baku, fungsinya mencakup irigasi, pembangkit energi listrik, pengendalian daya rusak air (banjir atau longsor) dan pariwisata.

Air adalah kunci bagi berlangsung­nya kehidupan. Mengupayakan keter­sediaan dan aksesnya menjadi kian urgen untuk keberlanjutan makhluk hidup pada masa mendatang. [NOV]

Lestarikan Air, Mulai dari Diri Sendiri

Usaha pelestarian air mem­butuhkan keterlibatan semua pihak. Tak hanya pemerintah, masyarakat pun punya tanggung jawab yang sama besar, meski dalam lingkup yang lebih kecil. Ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk turut menjaga sumber daya paling berharga ini.

Direktur Jenderal Sumber Daya Air (SDA) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Hari Suprayogi menekankan pentingnya peran masyarakat ini ketika diwawancarai pada Senin (18/3/2019). Hari mengatakan, upaya-upaya untuk menjaga air harus menyeluruh, mulai dari yang struktural sampai dengan nonstruktural.

“Yang nonstruktural misalnya menanami kembali daerah hulu sehingga bisa kembali menangkap air. Ada juga aspek kultural yang menyangkut kebiasaan atau pola hidup masyarakat. Menjaga sumber air dari sungai bisa dilakukan dengan hal sederhana, tidak membuang sampah ke sungai misalnya,” ujar Hari.

Selain itu, ada beberapa upaya lain yang bisa dilakukan di rumah. Pertama, menggunakan kembali air bekas. Di rumah, kita bisa membuat penampungan air bekas, misalnya bekas mandi atau mencuci makanan. Ini bisa digunakan lagi misalnya untuk mencuci kendaraan, mengairi tanaman, menyiram kloset, atau menyiram atap untuk pendinginan suhu rumah.

Kedua, di level mikro, kita bisa membuat sistem resapan atau pemanenan air hujan. Ini sudah jamak dilakukan di daerah yang defisit air, tetapi juga sangat memungkinkan dilakukan di semua tempat.

Caranya mudah saja. Kita bisa membuat instalasi sederhana. Air hujan ditampung dari atap, kemudian dialirkan ke saringan yang dibuat dari ijuk, pasir, dan arang batok atau arang kayu untuk menyaring kontaminan berbahaya.

Cara yang lain, kita bisa membuat biopori untuk mempertinggi kemampuan tanah meresapkan air. Tekniknya juga simpel. Anda hanya perlu membuat lubang silindris secara vertikal ke dalam tanah.

Diameter lubang sekitar 10 sentimeter, dengan kedalaman 100 sentimeter. Jika Anda mau, mulut lubang bisa diperkuat dengan semen setebal kira-kira dua sentimeter di sekitar mulut lubang. Setelah lubang jadi, Anda bisa secara rutin mengisinya dengan sampah organik. Ini memberikan Anda dua keuntungan sekaligus. Pertama, resapan air menjadi lebih baik. Kedua, Anda bisa memanen kompos Anda secara berkala.

Jika Anda memiliki lahan untuk bertanam, pertimbangkanlah untuk menanam pohon-pohon yang dapat menyerap dan menyimpan cadangan air dengan baik. Beberapa contohnya adalah bambu, pohon beringin, dan rumput akar wangi. Serumpun bambu mampu menahan air hingga 500 liter. Pohon beringin dapat menyimpan cadangan air pada musim hujan dan mengeluarkannya pada musim kemarau secara teratur.

Kesadaran bahwa air adalah tanggung jawab setiap individu harus terus dibangun. Hanya dengan cara ini kita bisa menjaga keberlangsungannya. [NOV]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 22 Maret 2019