Teknologi digital idealnya bersifat inklusif. Terkait itu, sudah banyak kasus tatkala difabel rungu dan tuli paling rentan masuk jebakan di media sosial. Selain itu, kita harus menyadari bahwa berinteraksi dengan penyandang disabilitas mental dan intelektual memiliki cara yang berbeda.
Misalnya, untuk disabilitas mental, sebaiknya kita berbicara secara langsung, tidak melalui pendamping, serta menggunakan kata-kata yang sederhana dan petunjuk-petunjuk yang dapat membantu seperti gambar. Sedangkan untuk disabilitas intelektual, percakapan harus dalam cara yang ramah, misalnya. Sayangnya, sepertinya sulit untuk menjalankan semua hal tersebut secara sempurna dalam dunia digital.
Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital menggelar webinar dengan tajuk “Kerahasiaan dan Fitur Sosial Media bagi Difabel”. Webinar yang digelar pada Kamis, 1 Juli 2021, diikuti oleh sejumlah peserta secara daring.
Dalam forum tersebut, hadir Pradipta Nugrahanto (Co-Founder Paberik Soeara Rakjat dan podcast producer), Hartono Tasir Irwanto SH MH (dosen tetap Institut Agama Islam Polman), Yanti Dwi Astuti MA (dosen Fishum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Japelidi), Delviero Nigel Matheus (Kaizen Room), dan Cinthia Karani (influencer) selaku narasumber.
Dalam pemaparannya, Hartono Tasir Irwanto menyampaikan informasi bahwa kini ada difabel mental akibat media sosial, antara lain FOMO atau fear of missing out, yaitu rasa takut akan tertinggal yang berdampak pada kecemasan berlebih hingga depresi. Ada juga FOBO atau fear of better option, yaitu rasa takut akan tidak memilih yang terbaik yang berdampak pada perilaku menunda-nunda hingga kesulitan untuk memutuskan pilihan.
“Kemudian yang terakhir adalah FODA atau fear of doing anything, yaitu rasa takut untuk bertindak yang berdampak pada paralysis by analysis. FODA akan terjadi jika FOMO dan FOBO bertemu, yang akan berdampak pada sikap kita sebagai pengguna media digital menjadi pasif dan cenderung negatif,” kata Hartono.
Salah satu peserta bernama Irfan Kamajaya menyampaikan pertanyaan mengenai dampak positif dari bermain media sosial? “Saya kalau bermain media sosial merasa bahagia. Selain itu, dengan bermedia sosial, saya punya banyak relasi kawan dari luar daerah. Menurut saya, sisi positif media sosial itu banyak dibanding negatifnya, tapi apakah rasa suka saya itu ke media sosial berarti saya sudah kecanduan?”
Pertanyaan tersebut dijawab Delviero Nigel Matheus. Dengan menggunakan media sosial, kita harus tahu bahwa selain dampak buruknya, ada juga dampak positifnya.
“Sepertinya Mas Irfan ini merupakan salah satu contoh yang sudah melek digital dengan menggunakan media sosial dengan baik, seperti menambah relasi pertemanannya, sampai lebih banyak merasakan efek positifnya. Kalau pada zaman sekarang, pasti banyak yang candu dengan teknologi apalagi pada masa pandemi seperti ini. Oleh karena itu, kita harus hati-hati dengan kasus kita secara pribadi. Hal yang penting adalah kita terus jadikan dunia maya ini untuk hal-hal yang positif dan tidak merugikan bagi pihak mana pun,” jawab Delviero.
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Jakarta Pusat. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.
Kegiatan webinar ini juga mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat.