Baru-baru ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tajuk “Budaya Belanja di Era Digital”. Webinar yang digelar pada Jumat (2/7/2021) di Kabupaten Lebak itu diikuti oleh puluhan peserta secara daring.

Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Isharsono SP (praktisi digital marketing), Dr Rahmawati SE MM, Yusuf Mars (Pemred PadasukaTV), dan Dr Lina Miftahul Jannah MSi (Dosen UI dan pengurus DPP).

Isharsono membuka webinar dengan mengatakan, model dan metode pembayaran dalam transaksi daring, yakni cash on delivery (COD), transfer bank, rekening bersama (rekber), credit card (kartu kredit), e-currency (mata uang elektronik), voucer atau gift card atau kupon.

“Menjadi pembeli online adalah Anda melakukan transaksi pembelian barang atau jasa yang informasi ketersediaan barang atau jasa tersebut didapatkan dari internet dengan cara yang sudah ditentukan atau disepakati,” katanya.

Menjadi penjual online adalah artinya Anda mempunyai produk atau jasa yang ditawarkan kepada orang lain dengan menggunakan tools internet sebagai sarana promosi, beriklan, dan men-display produk atau jasa, dengan tujuan orang lain mau melalukan transaksi pembelian dari apa yang ditawarkan.

Sementara itu, Dr Rahmawati mengatakan, faktor pendorong belanja online di Indonesia adalah kemampuan daya beli masyarakat yang semakin meningkat, terutama di kelas menengah. Lalu, penggunaan akses internet yang juga terus bertumbuh beberapa tahun terakhir.

“Saat ini, akses internet sudah meng-cover sekitar 70 persen di seluruh wilayah Indonesia. Penetrasi belanja online tak hanya menyasar di kota-kota besar, tetapi juga di kota kecil,” ujar Rahmawati.

Selain itu, penggunaan pembayaran digital dinilai ikut mempermudah masyarakat dalam berbelanja online. Semakin maraknya aktivitas belanja online, tidak terlepas dari eksistensi teknologi melahirkan medium baru, yang disadari atau tidak menggeser kebudayaan manusia untuk berubah atau berganti, mengikuti perkembangan teknologi, khususnya teknologi komunikasi dan informasi.

“Teknologi telah mengubah cara interaksi manusia, yang awalnya dari interaksi antara manusia dan manusia, menjadi interaksi antara manusia dan teknologi. Perubahan ini membawa perubahan pada cara berbelanja, yaitu mengubah dari kebiasaan berbelanja secara face to face, bergeser menjadi belanja melalui aplikasi atau belanja online,” paparnya.

Yusuf Mars menambahkan, di dunia digital, kita juga mengenal etiket berinternet atau yang lebih dikenal dengan netiket (network etiquette) yaitu tata krama dalam menggunakan internet.

Hal paling mendasar dari netiket adalah kita harus selalu menyadari bahwa kita berinteraksi dengan manusia nyata di jaringan yang lain, bukan sekedar dengan deretan karakter huruf di layar monitor, tetapi dengan karakter manusia sesungguhnya.

“Apabila terjadi pelanggaran netiket, sanksi yang akan diterima bisa dikucilkan dari kehidupan komunitas masyarakat digital,” tutur Yusuf. Jika pelanggaran etika tersebut berkembang menjadi pelanggaran hukum, perangkat-perangkat hukumlah yang akan berbicara (UU ITE).

“Transformasi digital sebelumnya merupakan tujuan jangka panjang bagi banyak bisnis karena biaya dan kompleksitas, tetapi pandemi Covid-19 telah mempercepat urgensi untuk mengadopsi transformasi digital ketika dunia mengalami lockdown,” ucapnya.

Sementara itu, Dr Lina Miftahul sebagai pembicara terakhir mengatakan, ada beberapa jenis transaksi digital, contohnya adalah membeli pulsa, membayar tagihan listrik, telepon, internet, cicilan, top up ojek online, membeli tiket transportasi, membayar iuran BPJS, serta belanja online di marketplace.

“Untuk itu, diperlukan digital safety, yakni kemampuan individu dalam mengenali, memolakan, menerapkan, menganalisis, dan meningkatkan kesadaran keamanan digital dalam kehidupan sehari-hari,” tuturnya.

Agar aman bertransaksi, Lina menyebut agar masyarakat mengenali istilah-istilah yang ada. Misalkan COD, CVV, dan two-step verification. “Lalu, tidak mentransfer ke rekening pribadi, gunakan rekening marketplace dan jangan simpan terlalu banyak uang di e-wallet. Insting dan cermat, Ketika ragu, tinggalkan,” pungkasnya.

Dalam webinar ini, para partisipan yang hadir juga dipersilakan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Retno menanyakan, bagaimana cara menanggapi konsumen yang darurat membaca, enggan membaca keterangan barang dengan detail, sehingga saat menerima barang merasa tidak sesuai keinginannya sampai marah-marah dan memberi rate bintang 1?

“Tipe customer yang bertele-tele dan permintaannya banyak, bisa mengganggu konsentrasi kita dalam berbisnis acap kali ditemukan. Untuk itu, apabila kita sudah menjelaskan dengan sebaiknya, tetapi mereka masih belum bisa paham dan mengerti, itu bisa di-skip aja,” kata Isharsono.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Lebak. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui Instagram @siberkreasi.dkibanten.

Kegiatan webinar ini juga mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak sehingga dapat berjalan dengan baik, terutama kepada Kominfo. Mengingat program literasi digital ini hanya akan berjalan dengan baik dan mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak.