Secara harfiah, wabah merupakan masalah kesehatan masyarakat sebagai hasil kumulatif dari perilaku individu. Saat ini, kita sering kali disuguhi angka-angka fantastis dari wabah Covid-19 yang sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti di Indonesia, lalu apakah perilaku individu memiliki pengaruh terhadap laju wabah?
Sebagai bahan bakar dari perilaku manusia, motivasi membuat kita bangun tidur pagi ini untuk menunaikan tugas yang kemarin belum beres atau mencari kesempatan lain demi hari yang lebih baik dari kemarin. Sayangnya, wabah kali ini memodifikasi motivasi keseharian kita, membuat motivasi tidak sakit atau tertular penyakit Covid-19 sebagai motivasi utama agar selamat pada masa ini.
Wabah kali ini berhubungan dengan penyakit yang ditularkan lewat droplet (ukuran terbesar) sampai aerosol (ukuran terkecil) yang masuk melalui mukosa mulut, hidung, atau mata. Penderita Covid-19 maupun silent carrier dapat memindahkan virus SARS CoV-2 lewat bicara, bersin, batuk, atau bernapas berat ke orang terdekat dengan jarak kurang dari satu meter atau kontak erat dalam waktu lebih dari 15 menit di dalam sebuah ruangan dengan ventilasi yang buruk. Meskipun mode transmisi utamanya melalui udara, penyakit ini dapat ditularkan melalui tangan yang terkontaminasi. Dengan perkembangan teknologi, semua orang mendapatkan informasi (pengetahuan) ini, tetapi tidak semua mau menghindari risiko tersebut.
Tenaga kesehatan sebagai profesi yang paling berisiko untuk terkena Covid-19 memiliki motivasi yang kuat untuk tidak tertular. Karena bersentuhan langsung setiap hari dengan orang sakit, golongan ini mungkin menjadi kelompok yang paling sering cuci tangan, paling anti-melepas masker atau faceshield, menghindari rokok maupun makanan yang tidak diketahui higienitasnya, tidak mengunjungi orangtuanya sampai tidak keluar rumah kecuali untuk bekerja. Tindakan-tindakan tersebut merupakan wujud dari pengendalian diri terhadap kodrat manusia yang cinta dengan kenikmatan, mulai dari nikmat makan menggunakan tangan sampai nikmat silaturahim.
Perilaku kolektif yang bertujuan sama (yaitu menghentikan wabah) dibutuhkan saat ini mulai dari hulu oleh pemerintah dan masyarakat sampai garda terakhir yang dijaga oleh tenaga kesehatan. Masyarakat yang jatuh sakit akan mengisi tempat-tempat layanan kesehatan, tetapi harus diingat bahwa layanan kesehatan memiliki kapasitas. Kapasitas tersebut suatu saat akan penuh, terlihat dengan tingkat okupansi rumah sakit di Pulau Jawa saat ini, belum ditambah tutupnya puskesmas maupun klinik karena stafnya yang terkena Covid-19. Usaha pencegahan yang kuat di hulu akan mempertahankan sistem kesehatan yang ada saat ini.
Abu Hurairah RA meriwayatkan pengendalian diri sebagai ciri dari orang kuat. Semua pihak di negara ini harus kuat untuk mengendalikan keinginan. Masyarakat harus melakukan pengendalian diri terhadap banyak hal yang biasa dilakukan saat wabah belum terjadi seperti menahan diri dari pelesir keluar kota, mengunjungi keluarga yang berbeda tempat tinggal, menikmati makanan masakan restoran di tempatnya, touring menjelajahi tempat baru, selfie bersama membuka masker, dan hal-hal non-esensial lain yang berhubungan dengan kontak dengan manusia dan meningkatkan kemungkinan untuk sakit.
Pemerintah sebagai regulator yang mengatur seluruh komponen masyarakat juga harus menjadi pemerintah yang kuat, mampu mengendalikan diri berdasarkan evaluasi hasil intervensi yang selama ini dilakukan. Kebijakan gas rem bergantian dalam penanganan wabah ini jangan seperti menginjak pedal gas dan rem secara bersamaan yang akhirnya membuat mesin rusak dan rem jebol secara bersamaan. Bukankah inti dari pengendalian adalah menahan laju? (Fajar Awalia Yulianto dr MEpid, Dosen Fakultas Kedokteran Unisba dan Kepala UPT Pelayanan Kesehatan Unisba).
Unisba menjadi perguruan tinggi Islam yang mandiri, maju, dan terkemuka di Asia pada tahun 2025. Situs web: https://www.unisba.ac.id.