Setiap pagi, gerai sederhana Baby Cafe di Desa Pandes, Kabupaten Klaten, dipadati para ibu yang ingin membeli makanan bergizi untuk anak-anak mereka. Sebagai terobosan untuk mengoptimalkan gizi anak dan mencegah stunting, Baby Cafe menjual makanan sehat untuk bayi dan anak serta menyediakan konsultasi gratis soal pembuatan makanan bagi anak di rumah.
Baby Cafe yang digagas tim penggerak PKK Desa Pandes menjadi salah satu inisiatif yang bagus untuk membantu menurunkan prevalensi stunting. Idenya berawal dari kegiatan posyandu dan pelatihan pembuatan makanan tambahan yang diikuti kader desa. Seperti yang tampak dari terobosan ini, gerakan untuk mencegah stunting harus dimulai dari bawah, dari level desa dan keluarga. Hanya dengan begitu, gerakan pencegahan stunting menjadi benar-benar konkret.
Stunting atau kondisi gagal tumbuh pada anak menjadi persoalan serius di Indonesia karena terkait dengan kualitas dan pembangunan sumber daya manusia (SDM) dalam jangka panjang. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi stunting balita di Indonesia sebesar 30,8 persen. Kita masih perlu bekerja keras untuk setidaknya menjadikan stunting di bawah 20 persen sesuai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi kronis, kurangnya stimulasi psikososial, dan paparan infeksi berulang, terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Penyebab langsung masalah stunting pada anak adalah kurangnya asupan gizi yang diterima oleh bayi atau janin.
Namun, sebenarnya faktor pemicu stunting sangat kompleks dan multidimensi. Selain kurangnya akses ke makanan bergizi seimbang pada keluarga, praktik pengasuhan yang tidak baik bisa memicu stunting pada anak. Misalnya, kurangnya pengetahuan tentang kesehatan dan gizi seimbang, kurangnya pengetahuan pemberian makan yang baik untuk bayi atau anak, dan kurangnya stimulasi perkembangan anak.
Hal lain yang memperbesar risiko stunting adalah terbatasnya akses ke pelayanan kesehatan pada 1.000 HPK. Di samping itu, kurangnya akses air bersih dan persoalan dalam hal sanitasi juga memperbesar risiko terjadinya stunting. Contohnya, perilaku buang air besar sembarang, terbatasnya akses air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, dan tidak mencuci tangan dengan sabun pada waktu-waktu penting.
Balita atau baduta (bayi di bawah usia dua tahun) yang mengalami stunting akan berpotensi mengalami gangguan kognitif, lebih rentan terhadap penyakit, dan pada masa depan berisiko memiliki produktivitas yang rendah. Hal-hal tersebut pada akhirnya secara umum akan menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar ketimpangan.
Komitmen nasional
Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan prevalensi stunting. Pada 2017, rapat koordinasi tingkat menteri yang dipimpin Wakil Presiden memutuskan bahwa pencegahan stunting penting dilakukan dengan pendekatan multisektor melalui konvergensi program di semua tingkatan. Sebanyak 23 kementerian dan lembaga pun berkolaborasi untuk percepatan pencegahan stunting.
Dalam rapat tersebut, diputuskan pula lima pilar pencegahan stunting, yaitu komitmen dan visi kepemimpinan; kampanye nasional dan komunikasi perubahan perilaku; konvergensi, koordinasi, dan konsolidasi program pusat, daerah, dan desa; ketahanan pangan dan gizi; serta pemantauan dan evaluasi.
Saat ini, intervensi pencegahan stunting dilakukan di kabupaten atau kota lokus stunting sesuai yang ditetapkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Pada 2019 terdapat 160 kabupaten/kota lokus. Pada 2020 akan terdapat 260 kabupaten/kota prioritas. Pada 2024, kelak 514 kabupaten/kota yang ada di seluruh Indonesia melaksanakan upaya pencegahan stunting dengan target prevalensi stunting turun menjadi 19 persen.
Secara umum, upaya pencegahan stunting dibagi ke dalam intervensi gizi langsung (spesifik) dan intervensi gizi tidak langsung (sensitif). Intervensi gizi spesifik adalah yang dilakukan sektor kesehatan. Misalnya pemberian makanan bagi ibu hamil dari kelompok miskin, promosi dan konseling menyusui, pemantauan pertumbuhan, tata laksana gizi buruk akut, dan suplementasi tablet tambah darah.
Sementara itu, intervensi sensitif dilakukan oleh sektor non-kesehatan yang berdasarkan Peraturan Presiden saat ini dilakukan oleh 23 kementerian/lembaga, antara lain, Kementerian PUPR, Kementerian Sosial, Kementerian Pertanian. Bentuknya antara lain peningkatan penyediaan air minum dan sanitasi, peningkatan akses pelayanan gizi dan kesehatan, peningkatan kesadaran dan praktik pengasuhan serta gizi ibu dan anak, serta peningkatan akses pangan bergizi. Masing-masing sektor melakukan intervensi sesuai dengan bidang dan kewenangannya.
“Untuk sektor kesehatan, kami banyak bertanggung jawab di pilar kedua yaitu komunikasi perubahan perilaku dan pilar keempat untuk ketahanan pangan dan gizi. Untuk perubahan perilaku, kami membuat program-program yang bisa mendorong perubahan sampai ke tingkat keluarga. Kami minta puskesmas yang turun langsung dengan penyuluhan atau konseling. Yang penting, geraknya harus di bawah,” ujar Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Kirana Pritasari.
Dalam mendorong perubahan perilaku, strategi komunikasi menjadi salah satu kuncinya. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menyusun pedoman strategi komunikasi perubahan perilaku dalam percepatan pencegahan stunting di Indonesia. Seperti dituturkan Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan Riskiyana Sukandhi Putra, Kemenkes menempuh empat pendekatan dalam strategi komunikasi, yaitu advokasi, kampanye publik, mobilisasi masyarakat, dan komunikasi antarpribadi.
Advokasi adalah pendekatan kepada pengambil kebijakan untuk mendukung upaya pencegahan stunting. Bersama dengan Kemenkominfo, Kemenkes juga melakukan kampanye pencegahan stunting melalui berbagai media. Lewat mobilisasi masyarakat, Kemenkes melibatkan unsur-unsur masyarakat yang berpengaruh untuk menjadi role model dalam menerapkan perilaku sehat dan pencegahan stunting.
Sementara itu, informasi diberikan secara tatap muka kepada keluarga lewat komunikasi antarpribadi. Hal ini dilaksanakan di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan dalam Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM), misalnya pemberian informasi kesehatan melalui kelas ibu hamil atau kelas ibu balita, pelaksanaan posyandu untuk memantau tumbuh kembang anak, pendidikan gizi keluarga, serta pemberian informasi pada balita dan ibu melalui PAUD.
Terkait hal itu, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto melakukan kunjungan kerja ke Desa Kuripan Kabupaten Lombok Barat Nusa Tenggara Barat pada 5 Desember 2019 untuk mengetahui aktivitas masyarakat dalam pemantauan pertumbuham perkembangan di posyandu dan pembangunan sarana sanitasi berupa jamban untuk rumah tangga.
Untuk pemantauan, data juga dikumpulkan lewat aplikasi e-PPGBM (Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat secara elektronik). “Dari sini bisa diidentifikasi persoalan atau hambatan di masing-masing keluarga, lalu dilihat mana yang bisa diintervensi dan dicarikan jalan keluarnya. Data ini akan kami advokasikan, dari tingkat kecamatan sampai ke pusat,” ujar Kirana.
Upaya-upaya tersebut diharapkan dapat mempercepat perbaikan kualitas kesehatan bayi dan anak, sehingga kejadian stunting dapat dicegah. Dengan begitu, mutu manusia Indonesia pun semakin baik.
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 19 Desember 2019.