Memasuki era revolusi industri 4.0, kehadiran teknologi yang makin canggih tak terbantahkan. Salah satunya ditandai dengan kemunculan internet yang kemudian menciptakan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Dampak transformatif ini dapat masuk ke segala bidang, termasuk pendidikan. Jika tak dapat beradaptasi, diperkirakan banyak peran akan mudah tergantikan. Termasuk peran guru? Namun, apakah benar?

Bisa jadi ramalan tersebut benar jika tak dihadapi dengan cara bijak. Perlunya adaptasi yang tepat dan pengembangan diri menjadi kunci utama. Meski demikian, sebenarnya fungsi atau peran guru tak akan tergantikan. Hal ini karena dalam mendidik tidak hanya berbicara tentang konten pelajaran, tetapi juga cara agar konten tersebut dapat diterima dan dipahami dengan baik oleh siswa. Bagian ini membutuhkan kemampuan softskill yang disebut dengan pedagogi. Sering kali ini tak termasuk dalam kemampuan yang dimiliki teknologi.

HOTS dan MGMP

Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dirjen GTK Kemdikbud) Supriano dalam acara Panggung Publik dalam rangka Perayaan Hari Pendidikan Nasional 2019, Senin (29/4/2019), menyampaikan, “Pedagogi mengambil porsi terbesar dalam proses mengajar, yakni 70 persen, barulah 30 persen lainnya berbicara tentang konten pelajaran. Oleh sebab itu, dalam menghadapi era ini, kami menekankan pada unsur Berpikir Tingkat Tinggi (Higher Order Thinking Skill/HOTS).”

Unsur-unsur terkait HOTS, pertama adalah kemampuan berpikir kritis (critical thinking). Ini melalui proses konseptualisasi, menerapkan, menganalisis, dan menge­valuasi. Kedua, kreatif dan inovatif, seperti kemampuan dalam mengembangkan solusi, ide, konsep, teori, prosedur, dan produk.

Ketiga, kemampuan berkomunikasi (communication). Yang dimaksud dengan hal ini adalah kemampuan mengemukakan pikiran atau pandangan dan hasil lain dalam bentuk lisan, tulisan, menggunakan teknologi komunikasi (TI) dan kemampuan mendengar, kemampuan memahami pesan.

Supriano (Dirjen GTK Kemdikbud) dan Suyanto (Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta).

Keempat, kemampuan bekerja sama (collaboration), yaitu kerja sama dalam kelompok, baik tatap muka maupun melalui komunikasi dunia maya untuk memecahkan masalah, menyelesaikan konflik, membuat keputusan, dan negosiasi untuk mencapai tujuan tertentu.

Untuk mengasah HOTS ini, Dirjen GTK melakukan redesign kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Redesign kegiatan MGMP ini dilakukan dalam rangka penerapan sistem zonasi dalam pendidikan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) telah membagi seluruh wilayah Indonesia ke dalam 2.578 zona. Selain Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), sistem zonasi juga bakal diterapkan untuk para guru.

Supriano menjelaskan, sistem zonasi bagi guru akan dimanfaatkan untuk mendistribusikan guru di dalam zona dan peningkatan proses pembelajaran guru. Salah satu yang akan dioptimalkan yaitu peran MGMP yang ada di setiap zona.

“MGMP selama ini hanya aktif di daerah-daerah tertentu. Oleh karena itu, nanti, dana sebanyak Rp 900 miliar yang biasa dialokasikan untuk pelatihan guru di pusat, kita geser untuk MGMP.

Dengan konsep MGMP yang makin tepat guna, para guru di daerah pun tidak perlu lagi datang ke pusat untuk pelatihan. Pembahasan yang dimusyawarahkan pun akan lebih spesifik. Misalnya, di zonasi A ternyata mata pelajaran aritmatika yang mendominasi jadi permasalahan guru, maka dalam MGMP yang dilakukan di zona itu akan membahas lebih detail tentang aritmatika. Jadi, tidak perlu semua mata pelajaran dibahas secara detail,” jelas Supriano.

Penguatan karakter dan literasi digital

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta Suyanto menyampaikan bahwa profesionalisme guru semakin penting di revolusi industri 4.0. Pembangunan karakter (character building) menjadi kuncinya. Guru juga harus dapat mengembangkan kemampuan dirinya semakin baik, beradaptasi dengan kemajuan zaman.

Guru profesional pada abad ini membuat proses belajar mengajar dengan pola to describe, to explain, to illustrate, to demonstrate yang pada ujungnya akan menginspirasi. “Inilah pendidikan era global yang kompetitif,” terang Suyanto.

Menurut Suyanto, guru adalah faktor utama dalam menentukan keberhasilan proses belajar-mengajar, yaitu learning to learn. Era revolusi industri memang harus bersikap inovatif karena hari esok harus lebih baik dari hari ini, oleh karena itu segala sesuatu harus diperbaiki terus menerus tanpa henti. Untuk itu, perlu keterampilan berpikir dengan cara berpikir kritis dan kreatif, problem solving, dan pembuatan keputusan.

Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi memaparkan hal-hal yang diperlukan saat ini dalam membantu guru untuk mengembangkan kemampuannya, baik dalam menguasai mata pelajaran maupun kemampuan mendidik. Guru harus dapat mengasah kemampuan literasi digital.

Dalam rangka membantu guru dalam mengembangkan kemampuan literasi digital, PGRI membuat gebrakan dalam meningkatkan kompetensi profesional guru lewat program perencanaan dan pengembangan PGRI Smart Learning Center (PSLC).

PSLC merupakan pusat pengembangan dan peningkatan kompetensi profesional guru dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0 yang dicirikan dengan pemanfaatan teknologi informasi dalam berbagai kegiatan pembelajaran secara kreatif dan inovatif. Tujuannya agar guru melek teknologi sehingga berdaya saing serta mempermudahkan proses pembelajaran.

“PGRI sebagai wadah organisasi guru di Tanah Air merasa perlu dan terpanggil dalam mengembangkan PSLC ini agar kualitas pendidikan di Indonesia tidak tertinggal dari negara- negara lain terutama ASEAN dan Asia Pasifik, yang pemerintah dan masyarakatnya sedemikian serius mentransformasikan sistem pendidikannya sesuai dengan situasi, kondisi dan dinamika perkembangan zaman. Maka, sudah saatnya pembelajaran di kelas menggunakan teknologi. Ini harus dimulai dari guru. Jangan minta siswa kuasai teknologi, tapi gurunya malah gagap teknologi,” tegas Unifah.

Foto-foto: Iklan Kompas & dokumen Kemdikbud.

Unifah menambahkan, transformasi guru sebagai penggerak perubahan harus mengikuti perkembangan teknologi. Pasalnya, letak geografis Indonesia yang sangat luas membutuhkan smart learning, yakni pembelajaran memanfaatkan teknologi. Untuk itu, sebagai organisasi yang menaungi guru, PGRI terus bergerak memperbaiki kualitas pembelajaran dengan memanfaatkan PSLC agar Indonesia tidak sulit mengejar ketertinggalan.

Dalam hal ini, guru harus jadi penggerak perubahan agar menjadi lokomotif, maka guru wajib menguasai teknologi. Pasalnya, masih banyak guru yang kompetensinya rendah. Itu sebabnya perlu dibuat kluster dan dilatih sesuai pemetaan lewat PSLC.

Dijelaskan Unifah, PSLC akan menjadi pusat yang terhubung dengan seluruh satuan pendidikan dan pengembangan kompetensi guru milik PGRI. Mulai dari PAUD hingga perguruan tinggi sehingga guru bisa belajar meningkatkan proses pembelajaran di tempatnya masing-masing.

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 2 Mei 2019.