Dalam 20 tahun terakhir kita mengalami perubahan, terutama dalam hal teknologi. Salah satu efek perubahan tersebut membuat kita cenderung semakin menjauh dari nilai Pancasila.
Padahal Pancasila adalah ideologi pemersatu yang diandalkan untuk menjaga keberagaman di Indonesia. Misalnya, terkait media digital, maraknya hoaks di website ataupun akun penyebar hoaks, sebenarnya orang yang membuatnya mendapat keuntungan, yaitu meninggikan pengunjung website dan memperbanyak pengikut media sosial. Hal ini karena si penyebar hoaks merasa menang karena memiliki berita yang membenarkan langkahnya dan ingin terlihat lebih mengerti dari yang lain. Ini adalah contoh perbuatan konten negatif yang sering terjadi di ranah digital, dan perlu dilawan dengan cerita-cerita yang lebih positif.
Menyikapi hal itu, Kominfo bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital menggelar webinar dengan tajuk “Memahami Literasi Digital melalui Cerita Digital”. Webinar yang digelar pada Rabu, 7 Juli 2021, itu diikuti oleh sejumlah peserta secara daring.
Dalam forum tersebut hadir Ilham Faris (Kaizen Room), Hayuning Sumbadra (Kaizen Room), Dr Frida Kusumastuti (Dosen Universitas Muhammadiyah Malang dan Japelidi), Dr Lisa Adhrianti SSos MSi (Dosen UNIB dan Japelidi), dan Jevin Julian (influencer) selaku narasumber.
Dalam penjelasannya, Hayuning Sumbadra menyampaikan bahwa kebebasan berpendapat saat ini banyak yang disalahgunakan menjadi suatu ujaran kebencian, karena rendahnya pemahaman atas nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Agar kita tidak terjebak dalam membagikan konten yang bersifat negatif dan menyesatkan, kita harus mampu membedakan berbagai macam konten negatif tersebut.
“Misinformasi adalah informasi salah tapi tidak sengaja dibuat untuk menyebabkan kekacauan. Disinfomasi adalah informasi salah dan sengaja dibuat untuk menyebabkan kekacauan. Malinformasi adalah informasi mengenai peristiwa yang benar terjadi tapi digunakan untuk menimbulkan kekacauan. Bila kita membagikan konten-konten tersebut, akan berpengaruh pada jejak digital kita. Jejak digital sulit dihilangkan dan dapat digunakan sebagai penilaian kita sebagai pribadi dan pengguna media digital. Maka dari itu, kita harus memahami nilai Pancasila sebelum kita mengemukakan pendapat ataupun sebelum share informasi kepada semua orang,” terang Hayuning.
Salah satu peserta bernama Gatot bertanya, “Jika kita membaca adanya hate speech di salah satu media sosial, siapakah yang bertanggung jawab akan hate speech tersebut? Apakah platform media sosial yang menampilkan informasi itu atau oknum yang memasukkan hate speech ke media sosial tersebut?”
Ilham Faris menjawab, pertanyaannya perlu diganti menjadi apakah kita sebagai pengguna media digital dapat bertanggung jawab? Pihak media sosial selalu mempersiapkan fitur untuk melakukan pelaporan, sehingga kita juga bisa menghubungi pihak dari orang tersebut untuk memberi tahu bahwa informasinya kurang tepat dan salah.
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Jakarta Barat. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]