Salah satu tantangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada masa ini adalah menciptakan pelajar Indonesia berkarakter Pancasila dan berwawasan global. Untuk mencapai tujuan tersebut, Kemendikbud membentuk Pusat Penguatan Karakter (Puspeka).

Masih relevankah Pan­­casila dengan gaya hidup modern saat ini?” Pertanyaan ini muncul karena banyaknya perubahan gaya hidup remaja saat ini, yang dianggap tidak berkarakter Pancasila. Perubahan ini sekaligus menjadi tantangan.

Sebab, seperti diketahui, peru­bahan ini terjadi karena disrupsi di bidang teknologi, sosiokultural, dan lingkungan. Disrupsi pada teknologi membuat sektor lainnya juga terdampak. Sebut saja munculnya era otomatisasi, big data, percetakan 3D, hingga kecerdasan buatan. Dampaknya meluas hingga sosiokultural yang membuat peru­bahan demografi, sosio-eko­nomi, serta kesadaran akan etika, privasi, dan kesehatan.

Pentingnya pendidikan karakter menjadi penentu untuk sektor lingkungan. Seperti yang kita tahu, kebutuhan energi dan air berbanding terbalik dengan ketersediaan sumber daya alam. Perubahan itulah yang kini terjadi di Indonesia.

Hal ini ditanggapi Kepala Puspeka Kemendikbud Hendarman. Menurut Hendarman, nilai-nilai Pancasila masih sangat relevan dengan perkembangan zaman saat ini.

“Yang harus dipahami terlebih dulu, Pancasila adalah dasar negara dan menjadi pedoman bagi bangsa Indonesia. Pancasila menjadi penciri dari setiap insan individu Indonesia. Sila-sila yang terdapat di Pancasila menjadi ‘titik keberangkatan’ setiap orang Indonesia untuk menjadi sumber daya manusia yang unggul,” ujarnya.

Menciptakan generasi Pelajar Pancasila

Ada enam kriteria Pelajar Pancasila yang diinginkan Kemendikbud, yaitu beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia; mandiri; bernalar kritis; kebinekaan global; bergotong royong; dan kreatif.

Lalu bagaimana cara Puspeka untuk mencapai target menciptakan Pelajar Pancasila? Puspeka mengem­bang berbagai tema kampanye melalui komunikasi publik di berbagi media. Tujuannya, para anak muda ini bisa mengubah paradigma (pola pikir) dan perilaku atau sikapnya sesuai dengan Pancasila.

Strategi kampanye ini memiliki empat tahap untuk mencapai tujuan­nya. Pertama, sadar (aware), yakni membuat peserta didik lebih sadar atau peka akan lingkungan dan keadaan di sekitarnya.
Tahap kedua, peserta didik me­mahami (understand) apa yang disampaikan; kemudian masuk ke tahap ketiga, yaitu ikut serta (join). Anak mulai mau masuk pada sebuah proyek pendidikan. Tahap terakhir, yaitu mau melakukan (do). Tidak hanya mengemukakan wacana atau pendapat, tetapi juga mengimplementasikan.

Hendarman mencontohkan hal sederhana, seperti membuang sampah pada tempat sampah. Pertama, tentunya harus memberi tahu ada akibat kalau sampah dibuang sembarangan, misalnya menimbulkan penyakit atau bau tidak sedap.

Kemudian, guru atau siswa menunjukkan bagaimana seharusnya sampah itu dibuang di tempat sampah. Tentu saja, butuh waktu dan harus dilakukan berulang-ulang. Namun, setelah menjadi kebiasaan, hal ini bisa “menular” ke teman-temannya dan mengajak mereka untuk berbuat yang sama.

“Pendidikan karakter berlan­das­kan Pancasila ini akan dilakukan, baik dalam kurikulum, pedagogis, maupun penilaian. Saat ini, pendidikan ini dilakukan berbasis kelas, berbasis budaya sekolah, dan berbasis masya­rakat. Untuk berbasis kelas, dapat diin­tegrasikan dalam mata pelajaran atau dalam muatan lokal,” terang Hendarman.

Kerja sama berbagai pihak

Walau demikian, pendidikan karakter ini tidak bisa hanya dibebankan pada sekolah. Hendarman menjelaskan, semua pihak pemangku kepentingan pendidikan terlibat.

Siapakah itu? Keluarga dan masyarakat, termasuk peserta didik sendiri. Peserta didik pun harus diberikan peran, tidak hanya dituntut harus aktif mengambil peran. Kemudian masyarakat dan keluarga juga harus memberikan pengaruh dan dukungannya.

Untuk itu, Kemendikbud meng­gunakan beragam media untuk me­nye­barkan pengaruhnya. Termasuk dalam modul pembelajaran. Walaupun ber­bentuk modul pembelajaran, tidak bisa dijadikan satu-satunya rujukan. Sekolah melalui guru juga harus lebih kreatif.

Dalam masa Covid-19 ini, Kemendikbud pun telah melakukan penyederhanaan kurikulum. Sesuai dengan surat keputusan bersama 4 menteri, target pencapaian kurikulum tidak lagi menjadi harga mati.

“Dengan pola yang sama, pena­naman nilai karakter dapat dilakukan dengan memilih nilai-nilai apa yang secara realistis dan konkret dapat dilakukan di rumah, karena orangtualah yang mengambil alih peran guru. Hal sederhana saja, misalnya disiplin melakukan shalat, menyelesaikan tugas sekolah sesuai jadwal, berbagai penggunaan gawai, hingga membantu orangtua di rumah,” jelasnya.

Inovasi program

Puspeka tidak hanya mengan­dalkan kampanye dengan gaya lama. Agar bisa sesuai dengan zaman, Puspeka ber­inovasi dengan menyelenggarakan program Belajar Dari Rumah melalui TVRI. Tentu saja, kontennya dibuat lebih kekinian dan materinya pun diseleksi serta dipilih atas dasar karakter tertentu.

Misalnya, pada Hari Pendidikan Nasional, Kemendikbud mengadakan acara Belajar dari Covid-19. Acara ini diisi tidak hanya belajar seperti di kelas. Dalam acara ini ditampilkan para pelaku seni, kelompok musik berprestasi, dan video-video lainnya. Acara ini dimeriahkan oleh Najwa Shihab, Tulus, Sabyan, Rizky Febian, Vidi Aldiano, Lyodra, Rini Wulandari, Gitabumi Voices, dan Bina Vokalia Pranadjaja.

Namun, selain menampilkan figur publik, ada acara Inspirasi Tokoh Pendidikan pada Masa Pandemi yang menampilkan cerita dari siswa, guru, dan relawan tentang pembelajaran yang telah mereka lakukan. Nauval Faris Damas, mahasiswa fakultas kedokteran di Surabaya, salah satunya.

Nauval yang tergabung sebagai salah satu relawan Covid-19 membantu untuk memberikan pengetahuan ke­pada masyarakat tentang Covid-19. Sebab menurutnya, masyarakat masih bingung tentang gejala Covid-19. “Saya mengajak kaum muda, para mahasiswa, intelektual muda, agen perubahan untuk mengambil peran di situasi pandemi saat ini. Bukan lagi berpikir apa yang diberikan negara untuk kita, melainkan apa yang bisa kita perbuat untuk negara kita,” ujarnya.

Selain Nauval, ada Basra Ahmad Amru, mahasiswa Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta. Sebagai relawan selain memberitahu tentang Covid-19, para relawan juga mendampingi masyarakat yang melakukan isolasi di rumah selama 14 hari dan mengolah data yang datang dari sistem atau Dinas Kesehatan.

“Hikmah yang kami dapat di sini adalah ketegaran dan keteguhan serta konsistensi tindakan yang dilakukan para relawan mahasiswa selama berko­la­borasi menjadi wujud nyata kami dalam menerapkan konsep gotong royong,” ujarnya.

Basra berpesan agar masyarakat tetap berdoa, mengikuti anjuran pemerintah, kritis menyaring info, dan menjaga kesehatan fisik juga mental. Sebab, ternyata Covid-19 ini tidak hanya menyerang fisik atau klinis, tetapi juga mental hingga cara bersikap. “Inilah yang membuat kami harus melakukan pendekatan dengan cara yang lebih humanis kepada masyarakat,” ungkapnya.

Kemendikbud juga mengadakan lomba dalam rangka memperingati Hari Raya Pancasila, mulai dari membuat komik, animasi, sampai membaca puisi untuk seluruh jenjang pendidikan, termasuk SLB. Selain itu, ada juga webinar dengan berbagai tema yang menghadirkan beragam pembicara. Menariknya, webinar ini tidak hanya diadakan di perangkat lunak Zoom dan Youtube, tetapi juga di RRI, bahkan TikTok resmi Kemendikbud.

Inovasi lainnya yang tak kalah menarik adalah Kemah Karakter virtual Anak Indonesia dalam rangka memperingati Hari Keluarga Nasional dan Hari Anak Nasional 2020. Guru dan siswa yang mengirimkan cerita atau karya paling inspiratif mendapat kesempatan berdiskusi langsung secara daring bersama Mendikbud Nadiem Anwar Makarim.

Yang tak kalah seru, ada acara Nonton Bareng Virtual film Battle of Surabaya dalam rangka memperingati Hari Pramuka dan HUT ke-75 Kemer­dekaan Republik Indonesia. Nobar ini juga makin meriah dengan kehadiran berbagai narasumber. Ter­catat, dari total 3.000 pelajar yang ditargetkan, kapasitas peserta harus ditambah hingga 4.000 karena antusiasme pendaftar sangat besar.