Literasi adalah jembatan untuk mencapai keberdayaan. Literasi memampukan manusia berdiri di atas kakinya sendiri (berdikari), bahkan menyebarkan dampak positif bagi sekitar. Perpustakaan Nasional RI (Perpusnas) terus mengupayakan literasi bagi masyarakat dan mendorong transformasi, lebih-lebih pada era pandemi Covid-19.

Jangan bayangkan perpustakaan sekadar ruang berisi rak-rak dengan tumpukan buku. Makna dan fungsinya saat ini jauh lebih besar daripada itu.

Kepala Perpustakaan Nasional Muhammad Syarif Bando mengatakan dalam paradigma baru, fungsi perpustakaan adalah transfer pengetahuan (transfer knowledge). Oleh sebab itu, perpustakaan harus inklusif. Inilah yang menjadi dasar penetapan program transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial yang dijalankan sejak 2018.

“Kami mengupayakan agar ilmu-ilmu di perpustakaan dapat dinikmati masyarakat akar rumput dan bermanfaat secara nyata,” ujar Syarif.

Pandemi Covid-19 tidak lantas membuat fungsi dan layanan perpustakaan mengalami penurunan. Perpusnas telah melakukan beberapa penyesuaian agar layanan kepada masyarakat tetap optimal.

Di fasilitas fisik atau layanan onsite, protokol kesehatan dijalankan dengan ketat. Perpustakaan menyediakan bilik disinfektan, tempat cuci tangan, serta hand sanitizer. Diterapkan pula aturan untuk menjaga jarak aman dan kewajiban mengenakan masker.

Layanan berbasis teknologi informasi dan komunikasi pun dioptimalkan. Perpusnas mempunyai aplikasi iPusnas, Indonesia One Search (IOS), dan e-Khastara. Aplikasi iPusnas adalah layanan perpustakaan digital yang saat ini memiliki koleksi buku 79.431 judul dan 819.206 eksemplar.

E-Khastara berisikan manuskrip atau naskah kuno warisan kekayaan budaya Indonesia. Sementara itu,Indonesia One Search adalah pintu pencarian tunggal untuk semua koleksi publik dari perpustakaan, museum, dan arsip di seluruh Indonesia. Pengguna layanan digital ini terus bertambah.

 

Berdayakan Masyarakat

Peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat literasi juga menjadi fokus Perpusnas. Perpustakaan menjadi agen aktif untuk memberdayakan masyarakat, terutama dalam konteks demografi Indonesia. Seperti dituturkan Syarif Bando, berdasarkan data Survei Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik, hanya sekitar 10 persen penduduk Indonesia yang berijazah perguruan tinggi.

“Inilah yang harus menjadi dasar pengambilan kebijakan untuk masyarakat. Sebagian besar masyarakat yang tidak mencapai jenjang pendidikan tinggi bisa berubah dan menjadi lebih sejahtera dengan buku-buku ilmu terapan dan tutorial,” tutur Syarif Bando.

Dalam konteks inilah, semangat transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial menjadi sangat relevan. Perpusnas memungkinkan masyarakat untuk dapat memperoleh pengetahuan yang dibutuhkannya, baik dengan cara membuka akses perpustakaan seluas-luasnya secara luring (luar jaringan) dan daring (dalam jaringan) maupun dengan memberikan pendampingan maupun pelatihan yang dibutuhkan masyarakat.

“Perpustakaan betul-betul ingin menunjukkan demokrasinya, keadilannya, dan eksistensinya. Menjadi fondasi bagi siapa saja yang mau berubah,” ungkap Syarif Bando.

Program Literasi PerpusnasSelain menjangkau sebanyak-banyaknya masyarakat lewat layanan digitalnya, Perpusnas juga secara konkret memberikan berbagai pelatihan secara luring maupun daring, misalnya tentang kewirausahaan, pemasaran, berkebun, merajut, membuat beragam produk makanan, dan sebagainya. Hal ini telah membantu masyarakat bertahan menghadapi krisis selama pandemi.

Kita bisa menilik kisah Arsita (43 tahun), mantan TKI dari daerah Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat. Ia kembali ke Tanah Air lantaran kekerasan fisik dan psikis yang diterimanya di tempatnya bekerja. Bercerai dengan suaminya, ia pun mesti menanggung anak semata wayangnya yang masih bersekolah. Bersama ibu-ibu lainnya, Arsita lantas belajar membuat sabun cuci piring di perpustakaan.

Singkat cerita, mereka berhasil mendirikan kelompok usaha Pariri Jaya, tempat Arsita menjadi ketua kelompoknya. Kini, kelompok usaha tersebut telah mampu menjual produk sabun cuci piring dengan keuntungan Rp 375 ribu sekali produksi. Kisah Arsita hanyalah salah satu dari begitu banyak cerita transformasi lainnya, yang membuat masyarakat kian berdaya.

Program transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial telah meningkatkan kapabilitas, kualitas hidup, dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini terjadi karena setiap orang diberikan akses yang adil dan setara terhadap informasi dan pengetahuan, serta mendapatkan penguatan literasi sesuai kebutuhan.

Peran strategis institusi perpustakaan pun semakin disadari banyak pemangku kepentingan. Momentum yang baik untuk mengajak lebih banyak pihak terlibat bergerilya menguatkan literasi. [NOV]

Baca juga:

Meneruskan Literasi Digital dari Generasi ke Generasi

Produktif yang Positif di Masa Pandemi dengan Dukungan Literasi Digital

Dukung Literasi Digital untuk Masyarakat Pedalaman Indonesia