Tak dapat dipungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi. Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.
Menyikapi hal itu, maka baru-baru ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tajuk “Think Before Posting!”. Webinar yang digelar pada Jumat (16/7) di Kabupaten Tangerang, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.
Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Aina Masrurin – Media Planner ceritasantri.id, Dr Delly Maulana, MPA – Dosen Universitas Serang Raya, Yanti Dwi Astuti, MA – Dosen Fishum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan Erista Septianingsih – Kaizen Room.
Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety. Aina Masrurin membuka webinar dengan mengatakan, hoaks bermuatan isu agama menjadi salah satu hoaks terpopuler di Indonesia.
“Hoaks adalah berita yang tidak benar yang disebarkan baik secara sengaja maupun tidak disengaja. Prevalensi masyarakat Indonesia yang percaya hoaks masih cukup tinggi. Status sosial ekonomi kerap kali tidak menjadi penentu sikap seseorang terhadap hoaks,” tuturnya.
Ia menjelaskan, hoaks dibedakan menjadi tiga, yakni Misinformasi, Disinformasi, Malinformasi. Misinformasi adalah Informasi tidak benar yang tidak sengaja disebarkan, atau bisa dikatakan yang menyebarkan pun tidak tahu kalau informasi tersebut tidak benar.
Sementara disinformasi, adalah informasi tidak benar yang sengaja dibuat dan disebarkan untuk menggiring atau menyesatkan pikiran pembacanya. Malinformasi, merupakan informasi yang memiliki unsur kebenaran, namun dikemas sedemikian rupa dengan tujuan untuk merugikan pihak tertentu, menggiring, atau menyesatkan pikiran pembacanya.
Masyarakat menjadi mudah percaya hoaks karena kurangnya literasi. Sebagian masyarakat indonesia memiliki tingkat minat baca yang rendah sehingga mudah termakan hokas karena informasi ditelan mentah-mentah tanpa dicerna.
“Secara alamiah kita sering mudah tertarik pada berita, dengan judul yang mencengangkan sehingga dapat membuat kita bereaksi. Sebuah hoaks yang terus disebar akan dianggap sebagai sebuah kebenaran karena merasa banyak pihak yang mempercayainya,” tuturnya
Selain itu, hoaks juga bisa menyebabkan adanya bias konfirmasi, di mana otak manusia cenderung menyukai berita yang mendukung pendapatnya terlepas dari benar atau tidak berita tersebut.
Dr Delly Maulana menambahkan, total penduduk Indonesia adalah 274,9 juta jiwa. Pengguna internet Indonesia awal 2021 mencapai lebih dari 202 juta jiwa, meningkat 15.5 persen atau 27 juta jiwa.
Pengguna internet Indonesia menghabiskan waktu 8 jam 52 menit, dengan aktivitas yang paling digemari adalah media sosial, tidak heran jika jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia mencapai 170 juta jiwa, di mana menghabiskan waktu 3 jam 14 menit untuk berselancar di jejaring sosial.
Adapun sisi positif internet yakni membantu manusia untuk berinteraksi, bekerja sama, efesiensi, menyebar pengetahuan dan belajar pengetahuan, berbisnis, membuka cakrawala, tidak terbatas ruang dan waktu.
“Sementara sisi negatifnya, internet dijadikan alat untuk kejahatan (kriminal), seperti penipuan, transaksi narkoba, terorisme, ajakan provokasi, pornografi, perdagangan manusia, cyberbullying, dan lain-lain,” ujarnya.
Ia menyebut, setidaknya ada lima jenis posting-an yang bisa berujung pidana. Pertama adalah mem-posting sesuatu yang mengarah pada body shaming dan pencemaran nama baik, lalu informasi hoaks, mengarah pada ancaman, mengarah kepada kesusilaan, dan mem-posting sesuatu yang mengandung SARA.
“Cara menghindarinya yakni tanamkan sikap saling menghargai, selalu berpikir positif, bijak gunakan media sosial, berpikir sebelum mem-posting, menyaring sebelum membagikan dan membuat serta ikut membanjiri dengan konten-konten positif,” ungkapnya.
Yanti Dwi Astuti turut menjelaskan bahwa konten negatif termasuk provokasi dan cyberbullying, banyak beredar karena mayoritas masyarakat memiliki waktu terlalu banyak bersosial media.
“Mengkonsumsi dan mempercayai hoaks karena rendahnya kesadaran etis, moralitas dan kurang memahami sanksi pelanggaran etika bermedia digital. Padahal, soal etika tidak hanya soal kepantasan, melainkan juga menyangkut pertanggung jawaban,” ucapnya.
Ia mengatakan, untuk itu diperlukan literasi digital yang menekankan pada kecakapan pengguna media digital dalam melakukan proses mediasi media digital yang dilakukan secara produktif dan bertanggung jawab.
“Ada jejak digital, berhati-hati dengan kata-kata, photo dan video yang dikirim, karena dapat diakses dan disimpan. Jangan menyebar capture percakapan privat ke area publik atau kepada orang lain. Cermat dan bijak dalam memilih sticker dan emoji. Jangan pernah memberikan informasi pribadi apapun pada orang yang belum kenal,” katanya.
Sebagai pembicara terakhir, Erista Septianingsih menjelaskan bahwa karakteristik masyarakat digital (Digital Society) yakni senang mengekspresikan diri, berinteraksi di media sosial dan cenderung tidak menyukai aturan yang mengikat atau tidak suka diatur-atur.
Maraknya aktivitas digital yang dilakukan mengharuskan kita untuk peduli pentingnya memproteksi perangkat digital dan data pribadi kita. Selain membantu memudahkan pekerjaan di dunia kerja, belajar, mencari hiburan, transaksi secara daring mulai menjadi kebiasaan baru.
“Karena kebiasaan baru tersebut menimbulkan banyaknya kejahatan di dunia digital, maka diperlukan digital safety atau keamanan berdigital. Yakni kemampuan individu dalam mengenali, mempolakan, menerapkan, menganalisis, dan meningkatkan tingkat keamanan digital dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
Adapun aturan-aturan dalam digital safety, yaitu jaga informasi pribadi, menyalakan pengaturan privasi, melakukan penjelajahan internet dengan aman, memastikan koneksi internet aman, waspada dan cermati sebelum mengakses dan mengunduh.
Jangan lupa untuk memakai kata sandi yang kuat dan aman dan cermat dalam berjejaring dan melakukan posting. Posting yang penting saja, bukan yang penting posting,” pungkasnya.
Dalam webinar ini, para partisipan yang hadir juga dipersilahkan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Yohanes menanyakan, perkembangan teknologi semakin berkembang akan tetapi masih banyak broadcast dari Whatsapp mengenai informasi palsu.
Apalagi, informasi tersebut berkedok agama dan donasi kebaikan. Lantas bagaimana cara kita menghimbau orang sekitar kita yang mudah percaya hal demikian?
“Buat aturan di grup Whatsapp, ketika mengundang anggota ke grup lalu sosialisasi aturan grup untuk tidak men-share link-link yang bersifat hoaks dan juga informasi-informasi provokasi. Bila ada anggota yang melanggar aturan grup admin mengkunci grup tersebut hanya admin saja yang bisa membagikan infomasi di grup tersebut,” jawab Aina.
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Tangerang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui Instagram @siberkreasi.dkibanten.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, terutama kepada Kominfo. Mengingat program literasi digital ini hanya akan berjalan dengan baik dan mencapai target 12,5 juta partisipan, jika turut didukung oleh semua pihak.