Tak dapat dipungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi. Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.

Menyikapi hal itu, maka baru-baru ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tajuk “Peran Komunitas Akademik dalam Pendidikan di Era Digital”. Webinar yang digelar pada Jumat (16/7) di Kabupaten Tangerang, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.

Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Sabinus Bora Hangawuwali, MSc – Peneliti UGM, Ridwan Muzir – Peneliti & Pengasuh tarbiyahislamiyah.id, Denisa N Salsabila – Kaizen Room, dan Dr Lina Miftahul Jannah, MSi, – Dosen Universitas Indonesia Pengurus DPP.

Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety. Sabinus Bora membuka webinar dengan mengatakan, adap beberapa skill digital yang harus dimiliki, di antaranya mengenal perangkat yang kita punya, kemampuan mengoperasikan perangkat sesuai kebutuhan dan kemampuan mengakses dan memverifikasi informasi.

“Penggunaan teknologi digital paling banyak adalah memanfaatkan internet untuk medsos,” tuturnya. Agar kegiatan tersebut berjalan dengan positif, diperlukan peran akademisi.

Tujuannya, agar teknologi digital bisa menunjang pendidikan, penelitian dan juga sebagai bentuk pengabdian masyarakat. “Pekerjaan dan pendidikan di era digital yakni Work From Home (WFH) merupakan bagian dari konsep telecommuting (bekerja jarak jauh), lalu kuliah daring/luring,” paparnya.

Ridwan Muzir menambahkan, dunia akademis adalah dunia pendidikan dan riset. Ciri-cirinya adalah kritis, berintegritas, disiplin, dan inovatif. Menurutnya, saat ini masyarakat sedang mengalami transformasi digital.

“Penggunaan teknologi digital untuk menciptakan hal baru atau untuk memodifikasi hal lama, sehingga berdampak pada berbagai aspek kehidupan seperti budaya, politik, ekonomi, pendidikan, dan seni, katanya.

Menurutnya, literasi informasi merupakan kecakapan mengumpulkan informasi dan mengolahnya jadi pengetahuan. Sementara literasi digital yakni kecakapan memanfaatkan teknologi digital untuk memproduksi pengetahuan dan menyebarkannya.

“Mengapa dunia akademis berperan penting dalam pendidikan di era digital? Sebab, teknologi informasi dan komunikasi makin mendekatkan akademisi dan masyarakat awam.

Di sisi lain, semua orang bisa jadi ahli (expert) lewat media. Maka, harus ada kolaborasi keduanya agar masyarakat tidak kacau karena batas antara ilmiah dan pseudo ilmiah jadi blur,” tuturnya.

Denisa N Salsabila menambahkan, etika digital (digital ethics) adalah kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan dan mengembangkan tata kelola etika digital (netiquet) dalam kehidupan sehari-hari.

“Bahwa menggunakan media digital mestinya diarahkan pada suatu niat, sikap, dan perilaku yang etis demi kebaikan bersama. Demi meningkatkan kualitas kemanusiaan,” tuturnya.

Adapun ruang lingkup etika, yakni kesadaran, kebajikan, dan tanggung jawab. Saat ini, masyarakat dihadapkan dengan tantangan maraknya penyebaran berita bohong dan menyesatkan sehingga mengakibatkan kerugian pengguna.

Berita bohong atau hoaks adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya. Bertujuan membuat masyarakat merasa tidak aman, tidak nyaman, dan kebingungan.

Dalam kebingungan, masyarakat akan mengambil keputusan yang lemah, tidak meyakinkan, dan bahkan salah. Selain itu, terdapat juga konten bernada ujaran kebencian atau hate speech, yang merupakan tindakan komunikasi oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain.

“Etika dalam komunikasi di ruang digital yakni menggunakan kata-kata yang layak dan sopan. Waspada dalam menyebarkan informasi yang berkaitan dengan SARA (Suku, Agama & Ras), pornogafi dan kekerasan. Menghargai karya orang lain dengan mencantumkan sumber. Sampaikan dengan bijak, sopan, dan santun serta mengikuti etika sekaligus peraturan yang berlaku,” jelasnya.

Sebagai pembicara terakhir, Dr Lina Miftahul memaparkan disrupsi merupakan sebuah era peralihan, di mana informasi yang menyebar di media sosial sudah semakin cepat dan efisien, sehingga menimbulkan efek pembaruan informasi secara cepat dan berpengaruh tanpa disadari.

“Indonesia menjadi negara nomor tiga terbawah yang memiliki growth mindset, maka itu kita harus siap menghadapi perubahan dengan keterampilan yang mumpuni. Teknologi adalah alat bantu, manusia yang mengendalikannya. IPTEK yang berlandaskan kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan,” ujarnya.

Ia menambahkan, perlunya sinergi dengan semua komunitas akademik, sebab masing-masing punya peran yang signifikan. “Learning is sharing, saring sebelum sharing. Maka kita perlu menciptakan suasana yang mendorong menjadi lebih baik,” paparnya.

Menurutnya, siapapun boleh berpendapat, tapi bertanggung jawab, tidak boleh fitnah, punya itikad baik dan pahami aturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam aktivitas digitalm juga dikenal dengan jejak digital.

Jejak digital merupakan rekam atau bukti yang ditinggalkan setelah beraktivitas di dunia maya yang berpotensi untuk dicari, dilihat, disalin, dicuri, dipublikasikan, atau diikuti oleh orang lain.

“Jejak digital dapat membentuk citra diri atau opini terhadap seseorang yang dapat menguntungkan atau merugikan. Saat ini rekam jejak ini akan dipakai untuk studi lanjut, mencari pekerjaan, dan untuk mapping perilaku,” pungkasnya.

Dalam webinar ini, para partisipan yang hadir juga dipersilahkan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Nana menanyakan, saat ini banyak yang menyebarkan berita tidak benar ataupun hoaks di media sosial.

Lantas, bagaimana cara untuk memberi pemahaman mengenai bahwa kabar yang dikirim orang tersebut ialah hoaks, bagaimana cara memberitahunya tetapi tidak terlihat menggurui?

“Itu tergantung dari cara penyampaiannya, dan langsung to the poin kalau ada orang menyebarkan hoaks. Lalu tanya si penyebar berita itu tentang apa saja yang disebarkan infomasi tersebut dan meyakinkan si penyebar tersebut informasinya benar atau salah,” jawab Denisa.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Tangerang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui Instagram @siberkreasi.dkibanten.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, terutama kepada Kominfo. Mengingat program literasi digital ini hanya akan berjalan dengan baik dan mencapai target 12,5 juta partisipan, jika turut didukung oleh semua pihak.