Konsumen rumah tangga mempunyai peran yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia. Kontribusi pengeluaran konsumsi rumah tangga terhadap PDB Indonesia selama 5 tahun terakhir mencapai rata-rata 55,4 persen. Terjaganya kualitas barang dan jasa yang disediakan serta kepatuhan pelaku usaha terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan merupakan dalam rangka menciptakan iklim usaha yang kondusif dan meningkatkan kepercayaan konsumen sehingga menjadi daya dorong konsumen meningkatkan konsumsi.
Peran Kementerian Perdagangan yang memiliki tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan memiliki fungsi yang di antaranya adalah melaksanakan pengawasan kegiatan perdagangan, pengawasan barang beredar dan/atau jasa serta pengawasan metrologi legal. Fungsi tersebut dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, Kementerian Perdagangan.
Pengawasan yang dilakukan terhadap barang beredar meliputi pengawasan terhadap kesesuaian barang beredar terhadap ketentuan berlaku yang antara lain SNI yang berlaku secara wajib, label berbahasa Indonesia, kartu jaminan dan layanan purna jual, Pengawasan terhadap jasa yang antara lain terkait klasula baku, cara menjual dan pencantuman harga. Sedangkan pengawasan kegiatan perdagangan dilakukan antara lain untuk parameter yang perizinan di bidang perdagangan, perdagangan barang yang diawasi, dilarang, dan/atau diatur, distribusi barang dan/atau jasa, pendaftaran barang produk dalam negeri dan asal impor yang terkait dengan SNI yang telah diberlakukan secara wajib, barang dan yang terkait Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Lingkungan Hidup (K3L). Selain itu untuk menjamin konsumen mendapatkan barang yang sesuai dengan takaran atau ukuran maka dilaksanakan pengawasan metrologi legal yang dilakukan terhadap alat ukur takar dan timbang serta perlengkapannya (UTTP) dan Barang Dalam Keadaan Terbungkus (BDKT).
Dalam rentang waktu 2016 sampai dengan 2018 ditemukan dari keseluruhan barang yang diawasi untuk parameter SNI yang diberlakukan secara wajib terdapat tingkat kesesuaian sebesar 51,80 persen, sedangkan untuk parameter kewajiban label dalam barang tingkat kesesuaian sebesar 67,66 persen dan untuk parameter petunjuk penggunaan dan jaminan layanan purna jual sebesar 57,39 persen.
Di samping melakukan pengawasan barang, pengawasan juga dilakukan terhadap jasa yang diperdagangkan. Pengawasan mulai dilaksanakan pada 2018 yang diawali dengan pengawasan terhadap jasa perparkiran dan biro perjalanan terkait dengan pencantuman klausula baku, aspek sarana dan prasarana (pembebasan biaya parkir, pencantuman tarif dan parkir khusus) dan pencantuman harga. Pengawasan Jasa juga dilakukan pada retail modern terkait dengan cara menjual melalui promosi hadiah langsung, pencantuman harga, pengiklanan (katalog).
Pada 2018 telah dilakukan pengawasan untuk bidang jasa perdagangan yaitu jasa perparkiran, jasa pengiriman barang, jasa perhotelan, jasa apartemen, jasa perumahan, jasa maskapai, jasa perdagangan elektronik (e-commerce) dan jasa ritel. Hasil pemeriksaan bidang jasa perdagangan dilaksanakan terhadap 51 pelaku usaha dengan tingkat kepatuhan sebesar 70,59 persen.
Selain itu, pada 2018 Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga telah melakukan pengawasan kegiatan perdagangan terhadap 395 pelaku usaha dengan hasil 140 pelaku usaha telah taat terhadap ketentuan tertib niaga dan 255 pelaku usaha belum taat terhadap ketentuan tertib niaga. Dengan demikian, persentase ketaatan pelaku usaha dalam tertib niaga sebesar 35,44 persen.
Sedangkan dalam Pengawasan metrologi dilakukan terhadap UTTP dan BDKT. Dalam rentang waktu 2016 sampai dengan 2018 Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga telah melaksanakan pengawasan terhadap 55.991 UTTP dan BDKT atau sebesar 294,11 persen atau melebihi target capaian yaitu sebesar 19010 UTTP dan BDKT.
Terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga telah banyak melakukan penindakan. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, terhadap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran dapat dikenakan sanksi administratif dan sanksi pidana. Sanksi administratif yang dapat dikenakan berupa sanksi teguran tertulis, pembekuan dan pencabutan perizinan di bidang perdagangan, sedangkan pengenaan sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku usaha adalah pidana penjara yang terbesar selama 5 tahun dan/atau pidana denda yang terbesar adalah Rp 5 miliar. Ketegasan dari Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga dimaksudkan untuk memberikan efek jera kepada pelaku usaha.
Pelaksanaan tugas dari Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga dapat mendorong konsumen untuk meningkatkan konsumsi dan pada akhirnya tentunya meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. [*/ADV]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 16 September 2019.