Tak dapat dipungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi. Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.
Menyikapi hal itu, maka baru-baru ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tajuk “Demokrasi dan Toleransi di Dunia Digital”. Webinar yang digelar pada Jumat (16/7) di Kabupaten Serang, diikuti oleh ratusan peserta secara daring.
Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Luqman Hakim – Content Writer, Amni Zarkasyi Rahman, SAP, MSi – Dosen Pengajar Undip, Dr Rusdiyanta, SIP, SE, MSi – Dekan FISIP UBL, dan Delviero Nigel Matheus – Kaizen Room.
Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety. Amni Zarkasyi Rahman membuka webinar dengan mengatakan, digital skill merupakan hal yang sangat penting.
“Sebab, masyarakat tidak cukup hanya mampu mengoperasikan berbagai perangkat TIK dalam kehidupannya sehari-hari, tetapi juga harus bisa mengoptimalkan penggunaannya untuk sebesar-besar manfaat bagi dirinya dan orang lain,” kata Amni.
Ia menambahkan, seorang pengguna yang memiliki kecakapan literasi digital yang bagus tidak hanya mampu mengoperasikan alat, melainkan juga mampu bermedia digital dengan penuh tanggung jawab.
Laporan Reuters Institute dan University of Oxford menunjukkan bahwa berita bohong (hoaks) dan misinformasi mengenai Covid-19 tersebar di berbagai negara. Dari sejumlah media sosial terpopuler, Facebook merupakan platform dengan temuan hoaks terbanyak.
Dr Rusdiyanta menambahkan, kemajuan teknologi yang berkembang saat ini tetap harus berpegang teguh pada ajaran- ajaran yang diperintahkan oleh Tuhan YME sesuai dengan kepercayaan dan ajaran masing- masing disertai dengan sentuhan moral dan nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi dari para penggunanya.
“Demokrasi adalah keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat,” katanya.
Partisipasi, kebebasan, dan kesetaraan diperlukan untuk membuat pemungutan suara, mekanisme sentral demokrasi, bekerja. Ketiga elemen ini (seperti demokrasi itu sendiri) adalah cita-cita dan metode—mereka adalah nilai-nilai publik inti dan merupakan prosedur operasional.
Ia melanjutkan, secara terminologi, toleransi adalah sikap saling menghargai, menghormati, menyampaikan pendapat, pandangan, kepercayaan kepada antarsesama manusia yang bertentangan dengan diri sendiri dengan tujuan menciptakan perdamaian.
“Sedangakan ruang lingkup etika adalah kesadaran kebajikan,integritas dan tanggung jawab. Pelanggaran dari etika akan mendapatkan sanksi berupa teguran (sosial) maupun hukum (UU No.11/2008 diubah mjd UUNo.19/2016 ITE),” jelas Rusdiyanta.
Luqman Hakim memaparkan mengenai falsafah Bhinneka Tunggal Ika, yang berasal dari khazanah pengetahuan Nusantara abad XIV di dalam kitam Sutasoma karya Mpu Tantular, artinya berbeda itu, satu itu atau yang berbeda-beda itu asalnya satu.
“Para founding parents kita yang mayoritas muslim memilih Bhinneka Tunggal Ika yang notabene berasal dari kitab agama Budha-Siwa/ Hal ini menandakan bahwa toleransi menjadi basis negara Indonesia,” ungkapnya.
Saat ini, perkembangan teknologi digital yang sangat pesat mempengaruhi tatanan perilaku masyarakat. Pola lama dalam interaksi sosial kini turut terdisrupsi, mengaburkan beragam batasan dan norma-norma sosial.
Adapun disrupsi informasi di dunia digital yakni kesempatan akses informasi meluas, otoritas keilmuan meluas sehingga muncul fenomena matinya kepakaran, sistem yang telah mapan dipertanyakan ulang, dan di ranah konten, viral adalah tujuan utama.
“Persoalan fakta atau hoaks ditimbang belakangan. Untuk itu, marilah kita mewujudkan warganet Indonesia yang berkebudayaan dengan menjunjung sikap terbuka dan positif, perteguh komitmen kebangsaan, pahami cara kerja dunia digital berikut tantangannya, dan kendalikan ruang digital untuk hal-hal positif,” paparnya.
Sebagai pembicara terakhir, Delviero Nigel Matheus karakteristik masyrarakat digital (Digital Society) yakni cenderung tidak menyukai aturan yang mengikat atau tidak suka diatur-atur, dikarenakan tersedianya beberapa opsi.
“Lalu, mereka senang mengekspresikan diri, khususnya melalui platform media sosial. Terbiasa untuk belajar bukan dari instruksi melainkan dengan mencari. Sebab, masyarakat digital lebih senang untuk mencari sendiri konten/informasi yang diinginkan, dan tidak ragu untuk men-download dan upload, karena merasa tidak eksis bila tidak meng-upload,” jelasnya.
Ia menambahkan, masyarakat digital rentan terhadap serangan cyberbullying, yang merupakan penyalahgunaan internet untuk melecehkan, mengancam, mempermalukan dan mengejek orang lain melalui media digital.
Facebook, Instagram, dan Twitter adalah tiga platform media sosial terpopuler. Namun, platform ini menggunakan beberapa metode pencegahan untuk mencegah cyberbullying. Mereka juga menawarkan opsi ketika cyberbullying terjadi, seperti memblokir dan melaporkan pengguna tertentu atau menandai postingan tertentu sebagai agresif.
Menurutnya, ada ciri tertentu yang menandakan bahwa suatu informasi merupakan hoaks atau berita bohong. Pertama adalah sumber informasi atau medianya tidak jelas identitasnya, dan mengeksploitasi fanatisme SARA.
“Selain itu, pesan tidak mengandung unsur 5w+1h lengkap. Pihak yang menyebarkan informasi meminta informasi tersebut disebarluaskkan semasif mungkin. Mereka yang menjadi target antara lain, masyarakat mayoritas dan orang perkotaan. Dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di desa, orang kota lebih mudah diserang hoaks karena akrab dengan penggunaan media sosial,” pungkasnya.
Dalam webinar ini, para partisipan yang hadir juga dipersilahkan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Satya Sidha menanyakan, dalam dunia digital, membuat banyak ragam opini yang timbul di masyarakat dalam menanggapi suatu hal.
Lantas, bagaimana cara membedakan opini yang timbul sebagai bentuk demokrasi atau malah sebagai bentuk provokasi? “Masyarakat mempunyai kebebasan untuk berpendapat tetapi juga ada batasan-batasannya, jangan sampai kita melanggar aturan bermedia digital yang sudah termaktub dalam UU ITE,” jawab Rusdiyanta.
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Serang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui Instagram @siberkreasi.dkibanten.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, terutama kepada Kominfo. Mengingat program literasi digital ini hanya akan berjalan dengan baik dan mencapai target 12,5 juta partisipan, jika turut didukung oleh semua pihak.