Robert Dahl, pakar politik dari Amerika, mengatakan bahwa demokrasi minimal mengandung dua unsur, yaitu kontestasi dan partisipasi. Oleh sebab itu, kualitas kandidat dan kualitas pemilih sangat menentukan kualitas hasil pemilihan. Tahun ini, jumlah pemilih didominasi pemilih pemula. Seperti apa peran mereka di pesta demokrasi mendatang?

Salah satu indikator kualitas demokrasi adalah adanya kesukarelaan pemilih dalam mengikuti pemilihan. Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri mencatat, jumlah pemilih pemula atau warga yang berusia 17 tahun pada 1 Januari 2019 hingga 17 April 2019 ada sebanyak 5.035.887 orang.

Sebagian dari mereka bisa jadi belum memiliki KTP elektronik. Namun, pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum mengupayakan agar para pemilih pemula yang belum punya e-KTP tetap bisa menyalurkan hak pilihnya pada Pemilu Serentak 2019.

Sebagai informasi, pemilih pemula yaitu mereka yang memasuki usia memilih dan yang akan menggunakan hak pilihnya untuk pertama kali dalam Pemilu. Dengan siklus pemilihan di Indonesia yang digelar setiap lima tahun sekali, maka kisaran usia pemilih pemula adalah 17-21 tahun. Rata-rata kelompok pemilih ini adalah mereka yang sedang menempuh pendidikan tinggi dan pekerja muda.

Syarat pemilih pemula

UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu memberikan jaminan bagi pemilih pemula yang pada 17 April 2019 genap berusia 17 tahun guna menyalurkan hak pilihnya pada Pemilu Serentak 2019. Secara kuantitatif, jumlah pemilih pemula cukup besar dan akan berkontribusi signifikan di Pemilihan Presiden/Wakil Presiden maupun Pemilihan anggota Legislatif (Pileg).

Namun, ada sejumlah kendala dan problem yang melingkupi pemilih pemula dewasa ini. Salah satunya pemilih pemula yang pada 17 April 2019 berumur 17 tahun dan ingin mengikuti Pemilu masih banyak yang belum memiliki e-KTP. Kedua, syarat perekaman, penerbitan, dan pemberian e-KTP baru bisa dilakukan ketika di hari ketika penduduk berusia 17 tahun. Namun, Kementerian Dalam Negeri mengusulkan, para pemilih pemula tetap bisa memilih dengan syarat mengantongi surat keterangan sebagai pemilih pemula.

Peran

Jumlah pemilih pemula yang diperkirakan cukup besar tersebut, tentu sangat berperan besar pada Pemilu Serentak mendatang. Selain itu, ada beberapa alasan yang membuat pemilih pemula memiliki peran strategis di perayaan politik 2019 nanti.

Pertama yaitu, pemilih pemula memiliki jumlah yang besar dan signifikan. Kedua, mereka merupakan warga negara Indonesia (WNI) yang baru pertama kali memberikan suara di Pemilu sehingga harus diarahkan dan diberi pemahaman terhadap demokrasi. Ketiga, para pemilih pemula adalah calon pemimpin masa depan. Keempat, pemilih pemula rentan dijadikan komoditas politik untuk mendongkrak popularitas.

Golput

 Besarnya jumlah pemilih pemula menyisakan sedikit kekhawatiran. Salah satunya yaitu kekhawatiran gelombang golongan putih (golput) atau tak datang ke TPS pada hari pemungutan suara pada Pemilu Serentak mendatang.

Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum, angka golput menunjukkan tren yang meningkat. Tingkat golput awalnya hanya sebesar 8,60 persen pada 1955, lalu turun 5,2 persen menjadi 3,4 persen pada 1971. Kemudian, pada Pemilu 1977 hingga 1997, tingkat golput perlahan mengalami kenaikan.

Peningkatan jumlah golput ini sebenarnya disebabkan beberapa faktor. Pertama yaitu golput yang terkait dengan ketidakpuasan terhadap parpol yang dianggap hanya berorientasi kekuasaan. Kedua, golput yang terkait dengan persoalan administratif atau teknis, misalnya nama pemilih tak terdaftar.

Namun, pada Pemilu Serentak 2019 diharapkan akan semakin banyak pemilih pemula yang tidak golput. Indikasinya sudah terlihat beberapa generasi muda mulai peduli dengan kondisi politik di Indonesia.

Zifana (18 tahun) seorang mahasiswa di perguruan tinggi swasta menuturkan, beberapa tahun lalu dia sempat golput karena belum memiliki hak pilih. Namun, untuk tahun ini dia ingin ikut serta memberikan suaranya demi kemajuan Indonesia.

“Saya rasa, Pemilu Serentak 2019 merupakan tahun politiknya anak muda. Beberapa anak muda mulai terjun di dunia politik, mulai dari menjadi pengamat, politisi, hingga pejabat publik. Beberapa di antaranya saya suka karena mereka menunjukkan kinerja yang baik. Oleh sebab itu, saya sebagai pemilih pemula bertekad ingin #IkutPemilu2019 nanti,” ujar Zifana.

Upaya

Per September 2019 lalu, KPU telah menetapkan daftar pemilih tetap (DPT) nasional untuk Pemilu Serentak 2019. Ada sebanyak 185.732.093 pemilih dalam negeri serta 2.049.791 pemilih luar negeri. Berdasarkan hasil penetapan DPT KPU, tercatat jumlah DPT sebanyak 185.732.093 pemilih dan 805.075 TPS. Jumlah pemilih laki-laki 92.802.671 dan pemilih perempuan 92.929.422.

Mengingat jumlah pemilih muda yang cukup dominan, KPU dan Bawaslu terus berupaya merangkul mereka. Setidaknya ada 5 strategi yang digunakan. Pertama melalui pemanfaatan teknologi informasi. Pendidikan pemilih dengan memanfaatkan teknologi akan berkontribusi dan memberikan umpan balik atas topik yang sedang menjadi pembahasan bersama.

Kedua melalui media massa. Media massa berperan penting dalam melaksanakan pendidikan pemilih guna mencerdaskan warga negara dan menyebarkan nilai-nilai demokrasi. Ketiga melalui lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan bisa menjadi awal yang baik untuk membentuk sikap dan perilaku pemilih.

Keempat melalui aktivitas sosial budaya. Kegiatan-kegiatan sosial selalu diikuti oleh banyak orang dan mendapat perhatian dari publik. Kelima, melalui komunitas hobi. Dengan pendekatan yang tepat, komunitas hobi bisa menjadi wadah yang tepat karena memiliki karakteristik ikatan kelompok yang kuat antaranggotanya.

Selain 5 strategi tersebut, pendekatan juga dilakukan melalui Rumah Pintar Pemilu, Relawan Demokrasi, dan Kreasi Lain. Melihat pentingnya peran pemilih pemula, sudah saatnya generasi ini ikut berperan terhadap laju demokasi Indonesia di masa depan. Karena apa yang kita pilih akan menentukan nasib kita dan bangsa di tahun-tahun mendatang. Jadi, yuk kita #IkutPemilu 2019 agar #PemilihBerdaulatNegaraKuat. [INO]