Our Ocean Conference (OOC) 2018 yang digelar di Nusa Dua, Bali, pada 29–30 Oktober, menghasilkan 295 komitmen dengan nilai lebih dari 10 miliar dollar AS. Jumlah ini meningkat dari hasil hitung cepat yang telah diumumkan pada 30 Oktober yang lalu, yakni sebelumnya hanya 287 komitmen.

Konferensi yang dihadiri 5 kepala negara, 45 perwakilan pemerintahan, dan lebih dari 3.000 delegasi dari 89 negara ini juga mendorong negara-negara di dunia agar menyediakan 14 juta kilometer persegi kawasan perlindungan laut (marine protected areas/MPA).

Presiden Joko Widodo dalam pidato pembukaan OOC 2018, Senin (29/10/2018), menyatakan, Indonesia telah membuat kebijakan kelautan Indonesia dan rencana aksinya. “Kebijakan terkait penetapan 20 juta hektar wilayah konservasi baru merupakan bentuk komitmen Pemerintah Indonesia dalam mendorong pelestarian laut.”

Presiden Joko Widodo berfoto bersama dengan perwakilan negara-negara peserta OOC 2018.(Foto: Iklan Kompas/Tyas Ing Kalbu)

Target 20 juta hektar area konservasi baru tersebut, lanjut Presiden, sebenarnya target yang harus diselesaikan pada 2020. Namun, pemerintah berhasil mencapainya dua tahun lebih cepat. Ini membuktikan keseriusan dan kepedulian Indonesia terhadap pelestarian laut demi generasi masa depan.

Presiden Jokowi menjelaskan, berawal dari kesepakatan OOC terkait pelestarian laut, hal ini akan mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Selain itu, ungkap Presiden, tidak hanya langkah besar berskala konferensi internasional, pemerintah juga melaksanakan langkah kecil guna melindungi lautan Indonesia.

“Pemerintah harus mulai berani membuat komitmen secara konkret terhadap pelestarian,” tegas Presiden.

Presiden Jokowi juga mengajak agar seluruh negara dan stakeholder dapat ikut berperan dari mulai tindakan skala kecil hingga yang cakupannya besar. “Harus bersinergi dalam mendorong pelestarian terhadap kelautan, agar segera terwujud.”

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pada kesempatan terpisah mengatakan, pemerintah juga menginginkan agar dalam isu-isu maritim, nama Indonesia bisa pop up.

dokumen Humas KKP

“Pop up, tidak hanya untuk mengenalkan pariwisata Indonesia, tetapi juga lebih dari itu bisa berbagi pengalaman bagaimana Indonesia mampu memperbaiki ekonomi perikanan. Kita memerangi illegal fishing (illegal, unreported, and unregulated fishing—IUU), membongkar dan menangkap pelaku peredaran obat-obatan terlarang di lautan, menggagalkan perdagangan manusia, mencegah perompakan, dan sebagainya. Ini membuat ekonomi perikanan kita menjadi yang nomor satu di Asia Tenggara,” kata Susi.

Sebagai tuan rumah OOC, imbuh Susi, Indonesia semakin menegaskan eksistensi dan kepemimpinan atas isu-isu kelautan di dunia. Bahkan, melalui penyelenggaraan OOC ini, pemerintah ingin agar nelayan dan warga pesisir di Indonesia mendapat manfaat positif secara berkelanjutan.

Menurut Susi, kondisi sampah di laut Indonesia jika tidak ditangani secara serius, maka dikhawatirkan akan berdampak pada perolehan tangkapan ikan oleh nelayan. “Laut itu masa depan kita. Indonesia adalah penyumbang sampah kedua terbesar di dunia setelah China. Pada tahun 2030, kalau kita tidak jaga laut, nelayan kita akan menangkap lebih banyak sampah daripada ikan.”

Apresiasi

Apresiasi terhadap kinerja Indonesia dalam penegakan hukum di lautan juga disampaikan oleh mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry. Ia mengatakan, Indonesia telah melaksanakan penegakan hukum di lautan dengan cukup baik.

“Saya berharap negara-negara lain turut mengikuti langkah yang diambil Indonesia. Indonesia telah melakukan tindakan yang luar biasa. Rekan saya, Susi, telah menunjukkan kepemimpinan yang luar biasa. Saya juga berterima kasih ke Presiden Jokowi yang telah memberikan statement yang sangat penting. Kebijakan Indonesia ini bisa dirasakan di seluruh dunia,” ujar Kerry.

Kerry melanjutkan, “Keamanan laut semakin meningkat, Indonesia diketahui bekerja bersama para nelayan, membuat kawasan perlindungan laut. Yang terpenting, Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang mengingatkan negara-negara lain yang lalai dan melanggar Zona Ekonomi Eksklusif, melakukan penangkapan ikan ilegal, dan negara-negara yang melakukan kegiatan perikanan ilegal. Kita membutuhkan penegakan hukum global, dan ini yang kita bahas di sini.”

Pada hari kedua pelaksanaan konferensi, Susi menegaskan Indonesia telah menenggelamkan 488 kapal ikan ilegal. Tindakan ini memberi dampak berupa meningkatnya 30 persen biomassa di perairan Indonesia, naiknya populasi ikan tuna sirip kuning hingga 98 persen, serta stok dan ekspor perikanan yang berlipat ganda selama 4 tahun terakhir.

Meski tindakan tegas terhadap praktik IUU fishing telah memberikan hasil, Indonesia tetap mendorong kemitraan di bidang kelautan dengan negara-negara di dunia. “Sebab, tanpa kemitraan, kebijakan Indonesia dalam melawan IUU fishing tidak akan berarti,” ujar Susi. [TYS]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 5 November 2018.