Taman Wisata Alam (TWA) menjadi bagian dalam wisata alam yang saat ini tengah dibenahi dan dikembangkan oleh pemerintah dengan mengutamakan konsep ekowisata. Tim Percepatan Pengembangan Ekowisata Kementerian Pariwisata mencanangkan tiga TWA sebagai destinasi prioritas tim percepatan. TWA tersebut adalah TWA Tangkuban Perahu di Jawa Barat, TWA Kawah Ijen di Jawa Timur, dan Tunak di Nusa Tenggara Barat.

Ketua Tim Percepatan Pengembangan Ekowisata Kementerian Pariwisata David Makes memaparkan ketujuh pertimbangan yang memutuskan tiga TWA ini menjadi prioritas: terkait dengan kebijakan sepuluh lokasi strategis kebijakan nasional; sesuai MoU antara Kementerian Pariwisata dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; terkait jumlah kunjung wisatawan mancanegara (wisman); terkait kepastian dengan pengelola atau pemangku kawasan; adanya keterlibatan swasta; adanya dukungan pemerintah daerah (pemda) setempat; dan terpenting adalah bebas konflik.

Konsep ekowisata memadukan tiga komponen penting, yaitu konservasi alam, memberdayakan masyarakat lokal, dan meningkatkan kesadaran lingkungan hidup.

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Wiratno menegaskan, konservasi tidak hanya menjadi tugas pemerintah, tetapi juga mengharuskan keterlibatan pihak-pihak lain sebagai mitra. Keterlibatan masyarakat dalam promosi dan publikasi dapat menjadi langkah strategis membantu pemerintah menjadikan kawasan konservasi sebagai salah satu sumber devisa dari sektor pemanfaatan jasa lingkungan.

Dalam mengembangkan ekowisata berbasis TWA saat ini Kementerian Pariwisata sebagai fasilitator mengajak pemerintah, pengelola wisata alam setempat, masyarakat lokal, dan stakeholder terkait lainnya untuk melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) dalam tema “Kebijakan dalam Pengembangan Pariwisata Alam”. Pertemuan pertama telah dilaksanakan di Jakarta pada 23 Oktober 2018. Selanjutnya, berlangsung di Banyuwangi pada 2 November 2018.

“Tujuan FGD ini untuk menyelaraskan konsep tentang ekowisata. Muaranya adalah kesepakatan atau kesepahaman serta rekomendasi yang dapat dilakukan untuk mengembangkan ekowisata Indonesia. Proyeksinya semoga dapat sesuai dengan target pemerintah dalam meningkatkan kunjungan wisman dan wisnus dalam ekowisata,” terang Kepala Bidang Pemasaran Area I (Jawa) Asdep Pemasaran I, Regional II Kementerian Pariwisata Wawan Gunawan.

TWA Kawah Ijen

Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas menyampaikan bahwa dalam tujuh tahun terakhir ini, Banyuwangi mengadaptasi konsep pariwisata berkelanjutan berbasis budaya dan alam. Hal ini akan secara konsisten terus dibangun.

“Kami mengutamakan konsep wisata berbasis budaya dan alam. Paralel dengan ini maka image orang berkunjung ke Banyuwangi adalah untuk menikmati budaya dan alamnya. Banyuwangi setiap tahun memiliki 77 event dengan 60 persennya merupakan budaya lokal, beberapa di antaranya Festival Gandrung Sewu, Banyuwangi Etno Carnival, dan Jazz Ijen. Sport tourism juga digelar seperti Ijen Green Run, dan International Tour de Ijen,” terang Anas.

Dengan konsep ini terbukti jumlah kunjungan wisman dalam lima tahun terakhir meningkat dari 5.000 orang menjadi 99.000. Dan, yang berkunjung ke Ijen per tahunnya kurang lebih mampu mencapai 30.000 wisman.

Kawasan hutan Pegunungan Ijen ditunjuk sebagai cagar alam (CA) berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No 46 tanggal 9 Oktober 1920 Stbl No 736 dengan luas 2.560 hektar. Pada perkembangan selanjutnya, pada 10 Desember 1981 melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No 1017/Kpts-II/Um/12/1981 menetapkan sebagian dari kawasan CA Kawah Ijen seluas 92 hektar menjadi Taman Wisata Alam (TWA) Kawah Ijen, sedangkan sisanya seluas 2.468 hektar tetap sebagai CA. Secara administratif pemerintahan, kawasan TWA Kawah Ijen terletak di dua wilayah, yaitu Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Bondowoso.

TWA Kawah Ijen menjadi ternama di dunia internasional, salah satunya karena memiliki fenomena blue fire (api biru). Di dunia, fenomena alam api biru ini hanya dapat disaksikan di dua tempat, yaitu di Eslandia dan Ijen di Indonesia.

Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur (BBKSDA Jatim) Nandang Prihadi memaparkan terobosan dalam pengelolaan ekowisata TWA Kawah Ijen yaitu dengan berbasis masyarakat. Nandang menggabungkan berbagai faktor dan unsur kebaruan (role model) guna terwujudnya ekowisata TWA Kawah Ijen yang dapat memberikan manfaat signifikan dari segi finansial untuk masyarakat di sekitar sekaligus terjaganya kelestarian dan ekosistem di TWA Kawah Ijen.

BBKSDA Jawa Timur berkomitmen bersama masyarakat dan mitra/stakeholder bahwa dibu­tuhkan pemenuhan sarana prasarana, peningkatan kompetensi petugas di setiap sektor (pemandu dan penyedia jasa lainnya), adanya manajemen pengunjung (on-line ticket, SOP pendakian, Ijen Rijik, promosi yang optimal via digital salah satunya dengan memanfaatkan media sosial), serta usulan perubahan peraturan/kebijakan.

Sejalan dengan hal tersebut, Tim Percepatan Pengembangan Ekowisata mendorong pem­bangunan sarana, salah satunya akan menghadir­kan fasilitas cable car. Sesuai dengan ketentuan pengelolaan TWA, Kawah Ijen terbagi atas beberapa blok, yaitu lindung, rehabilitasi, dan pemanfaatan. Kegiatan wisata dilakukan di blok pemanfaatan yang salah satunya adalah di wilayah Paltuding.  Blok pemanfaatan terbagi menjadi ruang publik yang digunakan untuk sarana dan prasarana umum dan ruang usaha yang dapat dikelola untuk izin usaha pengelolaan jasa sarana wisata alam oleh swasta. Cable car ini sudah sejak awal dikomunikasikan akan berada di ruang usaha.

Pemanfaatan teknologi digital juga diharapkan dapat menjadi alat yang sangat membantu dalam mempromosikan pariwisata alam Indonesia, selain via media sosial yang dimiliki oleh masing-masing destinasi wisata alam, Direktorat  Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi (PJLHK) misalnya telah menghadirkan aplikasi Android “Wisata Alam Indonesia”. [ACH]

Foto: dokumen Kementerian Pariwisata

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 3 November 2018.