Memasuki musim kemarau, sejumlah daerah di Jawa Tengah (Jateng) dibayangi bencana kekeringan. Anggota Komisi D DPRD Jateng Ngainirrichadl mengatakan, setidaknya ada 267 kecamatan di Jawa Tengah yang terdampak kekeringan.

Richad, sapaan Ngainirrichadl, mengatakan, jumlah wilayah yang terdampak kekeringan melonjak hingga 2 kali lipat dibandingkan tahun lalu yang hanya 112 kecamatan.

Menyoroti hal ini, Richad meminta agar Pemerintah Provinsi Jawa Tengah membuat solusi jangka panjang seperti membuat tempat penampungan hujan di tiap rumah penduduk. Ini mengingat wilayah Jawa Tengah mendapat pasokan air hujan yang cukup tinggi setiap musim hujan.

“Setiap musim hujan, ada pasokan air hingga 65 miliar liter kubik, tetapi yang dapat dimanfaatkan hanya 12 miliar liter kubik. Sisanya terbuang sia-sia ke laut. Padahal, air hujan itu bisa disimpan dalam sumur resapan dalam tanah tiap rumah penduduk dan dipanen ketika musim kering,” ujar Richad dalam diskusi bertajuk Ayo Panen Air, di Hotel Noormans, Semarang, Rabu (17/7/2019).

Kepala Pusdataru Prov Jateng SR Eko Yunanto dan Anggota Komisi D DPRD Jateng Ngainirrichadl berdiskusi tentang pengelolaan sumber daya air untuk mengatasi kekeringan di Jawa Tengah. (Dok. Warta Legislatif – Setwan DPRD Jateng.)

Richad menambahkan, Jateng juga dilalui 10 daerah aliran sungai (DAS) yang dapat direkayasa teknis untuk mengairi daerah rawan kekeringan.

“Pemprov jangan hanya mengandalkan pengiriman bantuan air bersih saat kekeringan. Itu hanya solusi jangka pendek dan tidak menyelesaikan masalah. Terlebih Jateng adalah salah satu daerah prioritas ketahanan pangan sehingga harus ada solusi jangka panjang yang tepat untuk mengatasi persoalan kekeringan,” tandas Richad.

“Rain Harvesting”

Ketua Program Doktor Teknik Sipil sekaligus Kepala Puslit Delta Center on Climate Change Universitas Sultan Agung (Unissula) Semarang Imam Wahyudi mengatakan beberapa daerah di Jawa Tengah memiliki kawasan yang kaya akan sumber daya air (blue area). Hanya saja, kelestarian blue area harus ditunjang dengan lahan hijau (green area) yang berfungsi sebagai penampung air.

Rain harvesting atau panen air hujan sebagaimana yang diusulkan Richad sangat mungkin dilakukan mulai dari skala rumah tangga, yakni dengan membuat lubang resapan atau biopori yang akan menyerap air hujan dan menyimpannya dalam sumur resapan.

“Langkah ini pernah dilakukan oleh Pemprov Jateng tetapi masyarakat juga harus berinisiatif untuk membuat sumur resapan dan menjaga kelestarian sumber air,” imbuh Imam.

Anggota Komisi D DPRD Provinsi Jateng Ngainirrichadl, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air dan Penataan Ruang (Pusdataru) Jateng SR Eko Yunanto, dan Ketua Program Doktor Teknik Sipil sekaligus Kepala Puslit Delta Center on Climate Change Universitas Sultan Agung (Unissula) Semarang Imam Wahyudi dalam diskusi bertajuk Ayo Panen Air di Hotel Noormans Semarang, Rabu (17/7).(Dok by LAU).

Kepala Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air dan Penataan Ruang (Pusdataru) Jateng SR Eko Yunanto mengatakan, kekeringan yang terjadi di banyak daerah di Jawa Tengah tidak bisa dilepaskan dari perubahan alam secara global yang berpengaruh pada siklus hidrologi. Pertumbuhan penduduk dan pesatnya pembangunan pun tidak dimungkiri membuat daerah resapan air pun makin berkurang.

Eko mengatakan, sumber air yang sebenarnya bukan waduk maupun embung, melainkan berada di dalam tanah, di bawah hutan, dan lahan hijau. Untuk itu, perlu ada kolaborasi bersama antara pemerintah, swasta, akademisi, komunitas masyarakat juga media untuk melakukan konservasi sumber daya air, baik berupa kegiatan penghijauan, gerakan peduli pada sumber daya air, maupun penggunaan paving block untuk memperbanyak daerah resapan air.

Biopori memang menjadi solusi untuk memanen air, tetapi perlu ada pemilahan lokasi pembuatan biopori terutama terkait ketinggian muka air tanah dan potensi kebencanaannya. Di kawasan Pantura, misalnya, biopori tidak bisa dibuat lantaran muka air tanah sudah cukup tinggi. Selain itu, pada beberapa daerah yang berpotensi longsor, keberadaan biopori justru bisa makin membahayakan penduduk.

“Namun, yang terutama adalah bagaimana cara kita memperlakukan lingkungan. Sudahkah kita peduli terhadap lingkungan dari hal-hal terkecil seperti membuang sampah pada tempat sampah dan menanam pohon? Kepedulian pada lingkungan ini yang perlu ditumbuhkan untuk menjaga kelestarian hutan dan lahan hijau sebagai penyimpan air,” tutur Eko. [ADV/LAU]

Foto Utama: Dok by LAU.