Tetesan air hujan mulai membasahi Pulau Natuna yang sudah satu tahun ini belum pernah basah. Hujan bulan ini menciptakan genangan-genangan kecil pada banyak titik di dermaga Teluk Baruk.
Dermaga Teluk Baruk terletak di Kota Ranai, ibu kota provinsi Kepulauan Riau. Pagi hari, saya datang ke dermaga Teluk Baruk ingin menemui nelayan setempat untuk mengajak wawancara. Saya melihat beberapa nelayan sedang melepas ikatan tali tambang yang diikat di dermaga, mereka bersiap melaut.
Akhirnya, saya bertemu dengan Heriman (42) dan Erduan (42), nelayan setempat. Pagi itu, Erduan berencana menyeberang ke Pulau Senoa dengan kapalnya untuk menemani para wisatawan, tetapi dia mau menyempatkan mengobrol dengan saya untuk sebentar, katanya.
Yang pertama, saya perhatikan dari kapal milik mereka, yaitu di atas kapalnya terdapat lempengan panel surya. Saya menanyakan, untuk mengisi daya apa saja panel surya tersebut? Mendengar pertanyaan saya, Heri menengok ke kawan nelayan yang lain sambil tertawa kecil.
“Itu untuk mengisi aki kapal. Kalau tanpa panel surya, kapal kita tak mungkin kuat untuk berlayar selama seminggu di laut,” ujar Heriman. “Kami kalau sekali melaut, biasanya langsung 7 hari. Tanpa panel surya, kapal kami mungkin hanya kuat berlayar di laut untuk 2 hari.”
Heri menjadi nelayan saat berusia 25 hingga 32 tahun. Sekarang, Heri bukan lagi seorang nelayan, kini dia pengepul ikan. Kapal yang dulu Heri gunakan sewaktu menjadi nelayan, saat ini dipinjamkan ke nelayan lain. Penghasilan bersih yang Heri dapat dengan menjadi seorang pengepul ikan sekitar Rp juta sampai Rp 8 juta.
Pada siang hari itu, Heri berkesempatan untuk menelepon kawan nelayan yang berada di Sangihe, Sulawei Utara, untuk sekadar menanyai kabar dan hasil tangkapan akhir-akhir ini. “Internet ini membuat kita dapat mengenal wilayah yang belum bisa kita jangkau,” ujar Heri. “Saya juga ada keluarga di pulau lain. Anak saya kuliah di kota Tanjung Pinang, ada juga keluarga di kelurahan Sedanau; yang untuk ke sana, saya harus menyeberang.” Heri biasa menghubungi mereka lewat aplikasi obrolan.
Heri cukup sering menggunakan akses internet. Dia biasa menggunakannya untuk mengetahui prakiraan cuaca, arah angin, juga kecepatan angin. Heri juga menggunakan internet untuk mencari informasi tentang jalur pemasaran dan peyuplaian ikan. Dengan internet, Heri biasa mendapatkan informasi-informasi tersebut melalui situs pencarian, media sosial, dan aplikasi streaming.
“Dulu sebagai pengepul ikan, kalau ada ikan melimpah, saya bingung. Semenjak ada akses internet cepat, saya sudah bisa lebih memahami perihal jalur pemasaran dan penyuplaian ikan,” katanya.
Sementara itu, Erduan bekerja sebagai nelayan. Dia menangkap ikan dan melakukan budi daya ikan di dermaga Teluk Baruk. Erduan memperlihatkan kepada saya di mana dia melakukan budi daya tersebut. Dia menunjuk ke sebuah kolong dermaga yang dari pilar satu ke pilar lainnya terbentang jarring-jaring. DI situlah dia melakukan budi daya ikan tersebut.
Erduan menjadi seorang nelayan sejak berusia 23 tahun. Sekali melaut, dirinya bisa berada di luasnya lautan selama berhari-hari. Tidak pernah dalam sehari, dia berangkat laut hari itu dan pulang melaut juga di hari yang sama. Erduan biasa bersiap-siap melaut pukul 09.00 WIB pagi. Begitu berada di laut dia akan berada di perahunya selama empat sampai lima hari. Begitu tangkapan dirasa sudah cukup, barulah Erduan pulang. Tibanya di daratan pun dirinya tidak berlama-lama di rumah. Dua hari kemudian, Erduan akan kembali melaut.
Selama di laut, Erduan melakukan semua kegiatan sehari-harinya di kapal. Menginap di kapal, makan di kapal; mandi pun di kapal. Hambatan yang berarti bagi seorang nelayan, menurut Erduan yaitu cuaca dan angin yang buruk. Bagi Erduan, untuk menjadi nelayan, kita harus siap untuk menghadapi segala hambatan yang ada. Dan tentu butuh pengorbanan dan keberanian untuk melewati itu semua. Kalau belum bisa menghadapi itu semua, tandanya belum bisa jadi nelayan.
Setelah berada di laut, para nelayan sangat sulit mendapatkan jaringan untuk berkomunikasi. Biasanya mereka menggunakan handie talkie untuk berbicara kepada satu sama lain. Dari hasil ikan-ikan yang Erduan tangkap, dia menjualnya ke pengepul dengan kisaran harga Rp 2 juta sampai Rp 3 juta per 100 kilogram. Namun, untuk pendapatan bersihnya, dia hanya mendapat sejumlah Rp 1,5 juta per bulannya.
“Alhamdulillah dengan jumlah segitu, kehidupan saya dan keluarga dapat tercukupi,” ujar Erduan.
Selain untuk mengetahui prakiraan cuaca, Erduan dan keluarga juga biasa menggunakan akses internet untuk mempelajari ilmu pengetahuan alam, juga ilmu agama. Dan, tentu anak-anaknya menggunakan akses internet dalam pengawasan Erduan. Baginya, internet memiliki dampak positif dan negatif sehingga dirinya sebagai kepala keluarga merasa perlu untuk melakukan pengawasan tersebut.
Usai berbincang dengan Heri dan Erduan, saya mendapat informasi dari seorang kawan di Natuna bahwa ada seorang penjual ikan yang memasarkan ikan dagangannya secara daring, namanya Sanedi (30). Saya menghubungi kontak tersebut dan mencoba untuk membuat janji pertemuan. Sanedi menjawab bahwa dirinya baru dapat ditemui sore hari karena siang itu dia masih berada di kantor Pengadilan Agama Natuna.
Akhirnya, sore itu, saya bertemu dengan Sanedi, dia masih menggunakan pakaian kantor-kantor berwarna cokelat-cokelat sewaktu saya temui. Pekerjaan utama Sanedi adalah petugas administrasi di Pengadilan Agama Natuna. Menjual ikan merupakan pekerjaan sampingannya yang dia lakukan bersama istrinya. Sebelum menjual ikan, Sanedi sempat berjualan es krim. Dia baru menjual ikan sejak tahun 2015, dan menjualnya secara daring baru pada 2017.
Ikan-ikan yang Sanedi jual paling banyak yaitu ikan tongkol. Dia mulai melakukan persiapan berjualan dari pukul 06.00 WIB; Sanedi membuat arang dari batok kelapa untuk membuat ikan tongkol asap. Kemudian, dia mempromosikan ikan dagangannya di media sosial. Selama Sanedi bekerja, penjualan ikan dilakukan oleh istrinya dan dilaksanakan secara luring. Sewaktu berjualan secara biasa, belum daring, Sanedi pernah mendapati ikan dagangannya sepi pembeli. Mulai saat itu, Sanedi mencoba untuk berjualan secara daring.
Semua pesanan yang masuk lewat media sosial akan Sanedi kirimkan pada siang hari di sela-sela jam dia bekerja. Istrinya menjemput anak di sekolah, dan pekerjaan dilanjutkan kembali oleh Sanedi. Usai mengantarkan seluruh pesanan, Sanedi kembali berangkat kerja ke Pengadilan Agama dan pekerjaan menjual ikan dilakukan oleh istrinya hingga Sanedi kembali pulang pada sorenya. Selama dia melakukan pengiriman, paling jauh yaitu ke daerah Bandar Sah dan memakan waktu pergi-pulang selama 30 menit. Untuk semua pesanan yang Sanedi kirimkan, dia tidak memberlakukan ongkos kirim, semuanya gratis.
Penghasilan bersih yang Sanedi dan keluarganya dapat per bulannya yaitu sekitar Rp 5 juta. Sanedi bersyukur dengan jumlah tersebut, dia dapat menghidupi keluarga. “Internet di daerah Natuna ini sekarang sudah bagus. Dulu belum ada 4G, kini sudah ada,” tutur Sanedi. “Hambatan-hambatan (dalam berjualan) kini berkurang dengan adanya internet.”(Fadhil Ramadhan)