Telah tiga tahun belakangan, Desa Sumbermujur di Lumajang, Jawa Timur, mengembangkan wisata hutan bambu. Dari usaha itu, kini, ekonomi warga membaik dan pertanian kian subur lantaran pengairan lancar. Barangkali memang benar, bambu adalah sumber kemujuran desa ini.

Desa Sumbermujur punya sejarah panjang dengan tanaman bambu. Pada tahun 1930, sumber air di desa ini melimpah. Belanda saat itu menginstruksikan warga untuk merawatnya dengan menanami bibit-bibit bambu di sekitar mata air. Pada tahun 1942, hutan bambu mengalami kerusakan ketika Jepang masuk dan membawa pengetahuan soal anyaman dan rumah-rumah dari bambu. Bambu-bambu ditebang tanpa ditanam kembali. Rebungnya pun banyak dikonsumsi. Ini berlangsung sampai awal tahun 1960-an, hingga warga sadar sumber air semakin berkurang, sementara kebutuhan air kian tinggi.

Pada tahun 1963, warga membuat kelompok untuk mengembalikan hutan bambu untuk meningkatkan debit air. Kelompok ini lalu diresmikan pada tahun 1972 sebagai Kelompok Pelestari Sumberdaya Alam (KPSA). Bambu-bambu terus ditanam sehingga cadangan air pelan-pelan meningkat. Selanjutnya pada tahun 2002, dengan upaya pelestarian lingkungan lewat hutan bambu ini, Desa Sumbermujur mendapatkan penghargaan Kalpataru.

Hingga tahun 2015, pelestarian hutan bambu bisa dikatakan murni kegiatan konservasi. Baru pada tahun 2016 hutan bambu ini digagas menjadi hutan wisata, yang kelak akan bisa juga memberikan keuntungan kepada warganya dari sisi ekonomi. Hutan Bambu Sumber Dhelling di Desa Sumbermujur dikelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Mitra Semeru dan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Sabuk Semeru.

Hutan bambu dengan luas 14 hektar ini terbagi atas beberapa zona; 3 hektar zona pengembangan, 3 hektar zona semi-pengembangan, dan sisanya zona inti. Zona inti diperuntukkan khusus untuk area bertumbuhnya bambu tanpa bisa diintervensi dengan pengembangan-pengembangan wahana atau infrastruktur. Tujuannya, memastikan ruang yang cukup untuk konservasi bambu, yang dampak lanjutannya adalah memastikan ketersediaan air.

“Di dalam hutan bambu ini ada mata air yang debit airnya 800 liter per detik. Ini dimanfaatkan untuk mengairi 1.000 hektar sawah di 4 desa, pemandian di area wisata, dan penyaluran air bagi warga-warga di setiap dusun untuk minum dan kebutuhan rumah tangga,” ujar Ketua BUMDes Mitra Semeru, Agus Wijaya.

Pada area pengembangan, dibangun infrastruktur dan wahana sebagai daya tarik, misalnya kolam pemandian, tempat berswafoto, gerai-gerai untuk berjualan, dan lain-lain. Masyarakat memanfaatkan ruang-ruang ini sebagai salah satu sumber mata pencaharian.

Bagi desa, hutan bambu telah membawa banyak perubahan. Dari sisi lingkungan, debit air tetap terjaga. Dari sisi ekonomi, wisata ini juga membawa peningkatan yang signifikan. Dengan jumlah pengunjung, rata-rata 6 ribu orang per bulan, omzet hutan bambu ini mencapai Rp 30 juta per bulan.

Keterlibatan warga

Warga menjadi motor berjalannya Hutan Bambu Sumber Dhelling. Keterlibatan warga sangat nyata, dari menjadi anggota Pokdarwis sampai menyemarakkan wisata dengan berjualan dan memenuhi kebutuhan wisatawan.

“Lewat hutan bambu ini, warga juga bisa menambah penghasilan. Dari sisi ekonomi, wisata ini sudah membuka akses perdagangan. Keterlibatan warga juga sangat tinggi dalam operasional hutan bambu ini,” ujar Kepala Desa Sumbermujur, Safi’i.

Warga memang merasakan betul manfaatnya. Muliyono, misalnya. Pria yang menjadi anggota Pokdarwis ini juga bersama istrinya berjualan makanan tradisional di hutan bambu. Diakuinya, penghasilan dari berjualan dan kegiatan di Pokdarwis mampu menunjang kebutuhan hidupnya. Muliyono yang juga bertani juga sangat menyadari manfaat bambu dalam menjaga debit air. Sawah-sawah yang diairi sumber air dari hutan bambu ini tidak pernah mengalami kekeringan, bahkan di musim kemarau seperti tahun ini.

Selain itu, batang-batang bambu, terutama yang sudah tua, dimanfaatkan untuk membuat kerajinan yang dapat menjadi sumber ekonomi lain bagi warga. Desa Sumbermujur memiliki Bengkel Bambu Sabuk Semeru yang mengolah bambu menjadi beragam produk, seperti gelas, mangkuk, atau sedotan.

Safi’i menambahkan, Desa Sumbermujur saat ini juga mengembangkan pondok-pondok wisata atau homestay di rumah warga. “Ada 21 homestay yang dikelola langsung oleh masyarakat,” katanya. Tamu-tamu desa pun bisa bermalam di sini, beberapa bahkan dari luar negeri, seperti dari Jerman, Australia, dan Mesir.

Pentingnya kemitraan

Dalam mengembangkan wisata hutan bambu, selama ini, Desa Sumbermujur bekerja sama dengan berbagai pihak, salah satunya adalah BANK BRI.

“Peran BANK BRI dalam pengembangan wisata sangat banyak. Ketika ada infrastruktur yang harus dibangun pengelola atau Pokdarwis, kita bisa bekerja sama dengan BANK BRI. BANK BRI juga memberikan CSR-nya berupa 10 los warung di kawasan hutan bambu dan pembangunan gapura masuk ke kawasan wisata hutan bambu. Selain itu lewat KUR BRI, pendanaan untuk UMKM yang dirintis warga dapat didukung,” tutur Agus.

Desa Sumbermujur juga bekerja sama dengan BANK BRI untuk menyelenggarakan berbagai pelatihan untuk warga. Pelatihan itu antara lain pelatihan meracik kopi, membuat kerajinan bambu, atau mengembangkan bisnis kuliner.

Kehadiran BANK BRI juga memberikan kontribusi terhadap peningkatan literasi keuangan warga lewat Agen BRILink yang merupakan salah satu unit usaha BUMDes Mitra Semeru. Agen BRILink menjadi sarana bagi warga untuk melakukan berbagai transaksi keuangan. Dalam satu bulan, ada lebih dari 300 transaksi yang dilakukan warga lewat Agen BRILink yang dapat menambah pendapatan bagi BUMDes melalui sharing fee yg diterima dari transaksi tersebut.

BANK BRI berkomitmen untuk turut serta dalam mewujudkan ekonomi kerakyatan dengan pem­berdayaan ekonomi desa melalui BUMDes Binaan BRI. BRI Bisa! Untuk Indonesia BRILian.

 

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 29 November 2019.