Awan-awan di Kepulauan Natuna sedang mengerubungi kami. Siang hari di Natuna akhir-akhir ini memang sering berawan. Sambil menyantap makan siang, saya dan tim merencanakan akan ke lokawisata manakah setelah ini.

Saya coba tanyakan kepada Dian, sopir pribadi kami selama di Natuna, lokawisata mana yang merupakan ciri khas di Kepulauan Natuna? Dian menyebutkan dua loka wisata: Batu Sindu dan Batu Datar, keduanya berdekatan.

Usai makan siang, saya dan tim langsung meluncur ke lokawisata Batu Sindu di bukit Senubing, Kepulauan Natuna. Lokawisata Batu Sindu berupa batu-batu besar yang terhampar dari atas bukit hingga ke permukaan laut. Kami semua menuruni bukit hingga tiba di menginjakkan kaki di permukaan pasir pantainya.

Saya dan dan seorang anggota tim, Azis (41), mulai melepas pakaian dan mencoba berenang di sana. Lokawisata di sini sangat alami. Dan, tentunya, sampah di sini memang ada, tetapi jumlahnya lebih sedikit dibanding lokawisata populer di Indonesia, seperti Kepulauan Seribu dan Karimun Jawa. Saya mencoba berenang ke dalamnya dan membuka mata di dalam air; airnya amat jernih.

Menikmati wisata Batu Sindu pun tidak dikenakan biaya masuk alias gratis. Selain masih bersih dan biaya masuknya gratis, salah satu ciri wisata yang masih alami lainnya yaitu di sana tidak ada kamar kecil untuk buang air.

Lokawisata favorit lainnya selain lokawisata Batu Sindu yaitu lokawisata Batu Datar. Posisinya berdekatan dan bentuknya pun tidak jauh berbeda. Lokawisata Batu Datar berupa batu lonjong yang amat besar di atas bukit. Ukuran batunya lebih besar daripada batu-batu yang saya lihat di Batu Sindu, bisa jadi sekitar 10 meter.

Batu besar tersebut posisinya merebah sehingga bisa banyak orang sekaligus berdiri di atasnya. Di lokawisata Batu Datar, saya bertemu dengan salah seorang pegiat pariwisata di Kepulauan Natuna. Namanya Arief Naen, berusia 30 tahun. Kami berencana menyaksikan penampilan budaya tradisional Alu yang sore ini akan ditampilkan di atas Batu Datar.

Saya dan Naen membicarakan tentang penggunaan internet untuk kebutuhan pariwisata di kepulauan Natuna. Untuk mempromosikan semua pariwisata yang ada di Kepulauan Natuna, Naen biasanya menggunakan media sosial.

Pada tahun 2019 ini mulai dari bulan Januari hingga Oktober, Naen sudah membawa para wisatawan berkeliling Kepulauan Natuna sebanyak 80 wisatawan. Rata-rata berasal dari pulau Jawa, ada juga yang dari luar negeri, seperti dari Malaysia dan Singapura.

Kebanyakan para wisatawan mengenal pariwisata Kepulauan Natuna lewat media sosial. Namun, belum semua lokawisata di Kepulauan Natuna bisa mendapatkan sinyal internet. Sebagian lokawisata seperti Tanjung Datuk masih belum mendapat jaringan internet.

“Tiga tahun ke belakang sebelum ada Palapa Ring Barat, kami kesulitan menemukan titik untuk menemukan jaringan internet,” ujar Naen. “Padahal, dengan adanya internet di lokawisata, masyarakat maupun wisatawan dapat dengan mudah memuat foto atau video kegiatan mereka selama berwisata di Kepulauan Natuna.”

Masyarakat merasa terbantu dengan adanya akses internet cepat di Kepulauan Natuna seperti sekarang ini. Naen juga berharap agar jaringan internet di Kepulauan Natuna diperluas sehingga bisa mencakup wilayah terpencil.

Naen menjelaskan bahwa Natuna merupakan salah satu kawasan geopark nasional. Dia juga bercerita pada tahun 2015 dan 2016, Naen bersama para anggota karang taruna Desa Sepempang mengadakan sebuah aksi nyata di Pulau Senoa. Kegiatan yang dilakukan yaitu bergotong-royong membersihkan Pulau Senoa, penanaman 120 bibit cemara pantai, juga pelepasan tukik atau penyu untuk menjaga kelestariannya agar tidak punah.

Usai banyak berbincang dengan Naen, kini, tiba para anggota sanggar Seni Melayu Anak Negeri mempersiapkan penampilan mereka. Para masyarakat turut hadir menyaksikan penampilan tersebut. Sebagian dari mereka menyalakan gawainya untuk memotret dan merekam. Sebagian yang lain hanya duduk dan fokus menikmati.

(FOTO-FOTO: NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA).

Saya bergabung dengan masyarakat yang sedang duduk dan bersiap menyaksikan penampilan tradisional Alu. Para penampil yang menggunakan pakaian adat mulai berkumpul. Masing-masing dari mereka memakai pakaian tradisional Melayu, yaitu tape gendong dan mengikatnya di pinggang mereka.

Kini, tujuh orang berseragam telah melingkar dan masing-masing orang memegang alu di tangannya. Di tengah lingkaran yang dibuat, terdapat lesung yang bentuknya seperti kaki pilar dan di permukaan atasnya melengkung seperti mangkuk besar.

Saya berbincang dengan Syafi’i (43) sekretaris sanggar, yang saat itu sedang bersama-sama menonton budaya tradisional Alu dengan saya. Syafi’i bercerita bahwa lesung dan alu merupakan sebuah alat dari kayu dan digunakan untuk menumbuk padi. Bahan kayunya pun merupakan kayu khusus, disebut kayu besi, yang didapat secara langka di wilayah utara yaitu Gunung Pupuk, Kepulauan Natuna.

Para penampil mulai bermain dengan memukul-mukulkan alu yang mereka pegang ke bagian dalam dan bibir lesung. Masing-masing alu, begitu dipukulkan ke Lesung akan menghasilkan suara yang berbeda. Suara-suara yang dihasilkan oleh ketujuh alu tersebut berkolaborasi dan menciptakan irama yang harmonis.

Pada lain kesempatan, saya sempat menemui Hadisun (43), Kepala Bidang Budaya Dinas Pariwisata dan kebudayaan Kepulauan Natuna. Hadisun bercerita bahwa budaya tradisional Alu terinspirasi dari suara kicauan burung-burung yang biasa didengar saat berada di hutan. Kicauan tersebut mengiringi masyarakat yang sedang berladang dan beraktivitas di hutan.

Hadisun berharap dengan adanya akses internet cepat di Kepulauan Natuna, informasi tentang budaya-budaya yang ada di Natuna bisa diketahui oleh seluruh nusantara dan dikenal hingga mancanegara. [NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA]