Menurut Neil Semuel Rupidara, Rektor Universitas Kristen Satya Wacana, membaca istilah kampus merdeka dalam Kebijakan Kampus Merdeka, terlintas konsep otonomi kampus. Kedua istilah itu sangat dekat, tetapi tidak sama maknanya.
Bersama-sama dengan konsep kebebasan akademis (academic freedom), otonomi kampus dipahami oleh insan pendidikan tinggi sebagai bagian dari nilai-nilai utama dan ideal dalam operasi dunia pendidikan tinggi. Konsep-konsep itu membentuk ciri kelembagaan dunia pendidikan tinggi. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga universal.
Namun, apakah Kebijakan Kampus Merdeka bermakna pengembangan otonomi kampus sebagai karakteristik pendidikan tinggi Indonesia? Ekspektasinya tentu demikian. Namun, itu harus dipertanyakan. Konsistensi maksud Kampus Merdeka terhadap makna konsep otonomi kampus perlu diuji. Tulisan ini bermaksud mengujinya.
Memaknai otonomi kampus
Konsep otonomi kampus atau otonomi universitas cukup sering digunakan oleh ragam pengguna. Namun, tidak selalu maksud penggunaannya sama antar-penggunanya. Untuk itu, makna konsep otonomi kampus perlu diklarifikasi terlebih dahulu agar ada kesepahaman, paling tidak dalam konteks tulisan ini.
Turcan, Reilly, dan Bugaian (2016) dalam buku (Re)Discovering University Autonomy menjelaskan, otonomi universitas memiliki empat pilar. Keempat pilar itu adalah otonomi organisasi, otonomi finansial, otonomi ketenagaan, dan otonomi akademis. Itu adalah bentuk-bentuk otonomi kampus.
Otonomi akademis adalah konsep dasar pembentuk otonomi kampus. Di sinilah kebebasan akademis diletakkan. Dengan dan di dalam kebebasan akademik, akademisi dan mahasiswa dimungkinkan melakukan produksi, transmisi, dan interaksi ilmu pengetahuan pada level tertinggi (advanced).
Pemahaman yang demikian sudah sangat tua, semenjak tradisi intelektual dibangun pada era Yunani kuno. Ciri ini karenanya menjadi fondasi moral dan legal beroperasinya universitas sebagai sebuah komunitas ilmiah. Ia menjadi bedrock atau jantungnya otonomi kampus (Kayrooz, Akerlind, Tight, 2007, Autonomy in Social Science Research).
Jika demikian, kampus yang beroperasi otonom harus dimengerti sebagai sebuah tuntutan kondisi ideal. Mengapa tuntutannya menjadi demikian?
Itu berangkat dari konsep universitas sebagai sebuah komunitas pembelajar yang konstan melakukan dan mengejar pengembangan ilmu pengetahuan demi ilmu pengetahuan itu sendiri (the pursuit of knowledge for its own sake) (Reilly, Turcan, Bugaian, 2016, dalam Turcan dkk). Ada motif yang murni dan luhur di sana. Dalam pemahaman itu, pengembangan ilmu pengetahuan tidak dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan pihak-pihak lain di luar universitas.
Untuk menjamin niat luhur itu, pemberian hak otonomi kepada universitas harus terjadi. Di sinilah bentuk otonomi organisasi bagi universitas dimulai. Secara historis, itu dimulai sejak Paus Gregory IX memberikan status kelembagaan yang legal kepada Universitas Paris. Dengan hak itu, Universitas Paris berada dalam lindungan Kepausan dan dibebaskan dari campur tangan gereja dan pemerintah dalam menjalankan tugasnya sebagai universitas (Kayrooz dkk).
Dalam hal itu dapat dipahami bahwa untuk mendukung otonomi akademik, tiga wujud otonomi yang lain dihadirkan, sekalipun tidak selalu mutlak demikian. Ketiga pilar awal itu dapat dikelompokkan menjadi satu menjadi otonomi kelembagaan (institutional autonomy), sebagaimana istilah itu dipakai oleh Neave (2012, The Evaluative State, Institutional Autonomy and Higher Education in Western Europe). Namun, pengertian otonomi kelembagaan yang dipakai Turcan dkk berbeda karena bersifat holistis menyangkut semua dimensi otonomi.
Dalam hal kerangka otonomi yang holistis itu, di samping keempat pilar di atas, otonomi kampus beroperasi dalam lima konteks interaksi, antarmuka (interfaces), yakni antara pemerintah dan universitas, universitas dan dosen, dosen dan mahasiswa, universitas dan bisnis, serta universitas dan konteks internasionalisasi. Kerangka tambahan ini diajukan Turcan dan kolega agar otonomi universitas dipahami secara lebih komprehensif. Namun, tulisan ini tidak akan menggunakan secara detail semua elemen otonomi kampus yang telah diperkaya ini.
Menempatkan di dalam sejarah dan konteksnya, konsep dan peran universitas berubah dari masa ke masa. Perubahan dan dinamika lingkungan misalnya melalui munculnya tuntutan modernitas yang makin pragmatis membawa dampak-dampak yang melampaui maksud keberadaan universitas sebagaimana dimaksudkan di atas.
Universitas, misalnya, kian dituntut untuk menghasilkan lulusan dengan keahlian-keahlian yang diperlukan oleh dunia kerja. Memang dalam hal ini, dipahami bahwa komunitas-komunitas pendidikan tinggi pada awalnya ada di dalam misi mendukung profesi-profesi seperti. Namun, bagaimanapun dapat dilihat bahwa kepentingan-kepentingan pemerintah dan masyarakat profesi telah masuk dan “mengintervensi” universitas.
Pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan melalui riset universitas pun, misalnya, kian dituntut untuk lebih berdampak luas kepada masyarakat misalnya untuk mendukung kepentingan industri. Dunia pendidikan tinggi itu sendiri bahkan berubah menjadi sebuah “industri” berskala dunia karena melibatkan mahasiswa dan dosen lintas negara (Turcan dkk.). Dalam realitas yang lebih dinamis seperti itulah pemahaman otonomi kampus kini harus didudukkan.
Di luar itu, karakteristik otonomi kampus juga harus dipahami berbeda antar-konteks kenegaraan. Negara-negara yang berkarakteristik demokratis cenderung memberikan otonomi yang tinggi, sekalipun ada pula negara demokratis yang belum dapat membangun institusi pendidikan tingginya dengan otonomi yang cukup. Sebaliknya, negara-negara totaliter cenderung memandang otonomi kampus sebagai suatu bentuk ancaman sehingga harus dibatasi melalui berbagai cara.
Di atas semua itu, secara mendasar harus didudukkan pemahaman bahwa universitas hanya dapat menjalankan peran idealnya di tengah masyarakat dengan (lebih) baik apabila ia otonom. Dalam rangka mengupayakan terjadi otonomi universitas yang demikian itu, relasi universitas dengan pemerintah adalah relasi yang paling menentukan, dibanding relasinya dengan stakeholders lain.
Lebih tepatnya, Neave (2012) menggambarkan itu sebagai suatu bentuk kontrak antara negara atau pemerintah, yang dijulukinya sebagai Sang Pangeran, dengan universitas. Dengan demikian, derajat otonomi universitas menjadi sangat bergantung pada ke(tidak)sukaan Sang Pangeran.
Akankah Kampus Merdeka merdekakan kampus?
Lalu, apakah kebijakan Kemendikbud yang dinamakan Kampus Merdeka merupakan upaya lebih mengotonomikan kampus-kampus? Atau, jangan sampai penamaan itu sebaliknya dan sebetulnya tidak punya kaitan dengan otonomi kampus.
Kampus merdeka bagaimanapun adalah bagian dari paket reformasi pendidikan yang diusung oleh Mendikbud Nadiem Makarim. Jika kebijakan Merdeka Belajar diperuntukkannya bagi pendidikan dasar dan menengah, Kampus Merdeka adalah padanannya untuk konteks pendidikan tinggi.
Sebagaimana dipahami, ada empat pokok kebijakan mewarnai kebijakan Kampus Merdeka. Pertama, kemudahan pembukaan program studi baru, sejauh memenuhi kriteria tertentu. Kedua, reakreditasi program studi dan institusi secara otomatis bilamana memenuhi syarat yang ditetapkan. Ketiga, kemudahan peningkatan status badan hukum bagi PTN. Keempat, kemerdekaan pilihan belajar bagi mahasiswa di luar batas program studi dan universitasnya.
Memerhatikan penjelasan lisan maupun tulisan dalam sosialisasi Kebijakan Kampus Merdeka, tampaknya masih sulit mengasosiasikan Kebijakan Kampus Merdeka sebagai upaya yang menukik maksudnya dalam membentuk otonomi kampus sebagai ciri pendidikan tinggi Indonesia.
Contohnya pada kebijakan keempat, tampak terbuka asa pembentukan kemerdekaan belajar sebagai bagian dari otonomi akademik. Jika dicermati, langkah pemberlakuan kebijakan itu melalui cara mewajibkan universitas menunjukkan bagaimana pemerintah justru masuk dan “mengatur” pola belajar di universitas.
Dalam hal itu, pemerintah mungkin berpikir dan mengatakan, “Kami sama sekali tidak mencampuri konten dan proses akademik dalam universitas,” sebagai basis beroperasinya otonomi akademik di kampus. Pertanyaannya, benarkah demikian?
Dari program Kampus Merdeka itu, dengan mengarahkan agar 60 SKS konten belajar pengalaman belajar di luar prodi dan di luar universitas, tidakkah itu suatu bentuk campur tangan dalam hal konten (tambahan materi belajar nonprodi) dan proses (misalnya belajar di industri)?
Oleh karena itu, alih-alih memerdekakan, kebijakan seperti itu justru bisa menjadi celah bagi bekerjanya bentuk pengekangan pilihan. Kampus-kampus di Indonesia seolah dipandang tidak atau kurang paham sehingga harus diarahkan untuk melakukan demikian. Ini akan menjadi makin complicated bilamana pemerintah lalu menjadikan program belajar di luar prodi dan di luar universitas itu sebagai indikator penilaian kinerja perguruan tinggi.
Jika universitas jalankan dan semakin banyak mahasiswanya terlibat, nilainya makin baik. Sebaliknya, tidak jalankan atau kurang partisipasi, nilainya jelek. Jika ini terjadi, ini mengarah kepada suatu bentuk pemaksaan, sekalipun halus.
Dan, ketika untuk mengoperasionalkan maksud pengambilan mata kuliah melampaui batas prodi dan universitas itu, Pemerintah lalu merasa perlu untuk menyeragamkan seluruh pola penyelenggaraan perkuliahan (semester, trimester, atau bentuk lainnya) di atas pertimbangan keselarasan operasional (inter-operability) antar-sistem perkuliahan antar-universitas, pemerintah kini masuk dan menabrak otonomi organisasi yang ada pada universitas.
Apalagi, untuk “mengunci” maksud itu Pemerintah lalu “memaksa” lebih jauh lagi melalui penetapan kebijakan Penomoran Ijazah Nasional (PIN). PIN hanya akan diberikan kepada lulusan universitas yang universitasnya menjalankan sistem (2) semester atau kalaupun menyelenggarakan semester ketiga (Semester Antara), maksimal pengambilan kredit mata kuliah oleh mahasiswa adalah maksimum sembilan (9) sks.
Jika tidak demikian, ijazah yang diterima tidak akan diakui. Kebijakan seperti ini akan menjadi aneh. Mengapa? Karena mahasiswa yang studi dan lulus dari sebuah program studi yang resmi (dengan izin operasional dan status terakreditrasi) dan yang diselenggarakan oleh universitas yang juga beroperasi secara legal bisa tidak diakui hanya karena perguruan tingginya memilih sistem penyelenggaraan perkuliahan di luar suatu model dominan yang berlaku di Indonesia.
Satu hal terkait yang juga mengindikasikan Pemerintah masih mencampuri urusan universitas adalah dipakainya indikator jumlah dosen tetap yang bekerja di industri selama 6 bulan dalam penilaian kinerja untuk klusterisasi perguruan tinggi di 2020 ini. Universitas tampak diminta untuk mengirim sebanyak-banyaknya dosen-dosennya untuk berkiprah di dunia industri. Ini menunjukkan ketidakpahaman dunia dan domain profesi-profesi.
Oleh Pemerintah, akademisi seolah harus menjadi praktisi industri, sebaliknya juga demikian. Tidakkah Pemerintah harusnya memahami bahwa akademisi adalah praktisi pendidikan tinggi? Jikapun ada, akademisi yang karena pilihan pribadinya ia juga menjadi praktisi di dunia industri, itulah kemerdekaan pilihannya. Namun, janganlah Pemerintah mengatur apalagi menilainya lebih baik jika pilihan itu diambil. Itu sebuah kekacauan dalam memahami domain profesi. Ini contoh ditabraknya otonomi ketenagaan.
Dalam konteks otonomi ketenagaan, salah satu masalah klasik tetapi mungkin paling serius adalah intervensi jauh oleh Pemerintah dalam mengatur beban kerja dosen (BKD). Masalah ketenagaan seperti ini adalah suatu bentuk kontrak atau kesepakatan antara universitas dan dosennya. Bagi universitas, itu adalah “urusan rumah tangganya.” Lalu, mengapa urusan rumah tangga seperti itu bahkan diatur sangat detail (sampai angka-angka kreditnya) oleh Pemerintah?
Sebuah aspek lain dan terakhir, kebijakan ketiga dari Kampus Merdeka dapat dibaca sebagai bermaksud untuk memberikan keleluasaan finansial, khususnya kepada perguruan tinggi negeri. Upaya ini sangat baik. Namun, apalah arti ruang gerak finansial yang lebih tinggi jika jiwa otonomi kampus pada otonomi akademiknya justru mengalami pengekangan? Langkah baik ini tidak berujung otonomi akademik.
Memahami kaitan kelembagaan dan historis untuk reformasi ke depan
Mungkin pemerintah tidak menyadari “kesalahan langkah” seperti di atas. Namun, ini mungkin bersifat kelembagaan, historis. Jika sejarah pendidikan tinggi di Indonesia digelar, rasanya akan mudah menemukan bentuk-bentuk peristiwa yang mencirikan bahwa pendidikan tinggi Indonesia adalah sebuah bentuk tayangan sentralisasi peran di tangan pemerintah, daripada di tangan perguruan tinggi. Kemerdekaan Indonesia sudah akan berusia 75 tahun, tetapi hak otonomi di tangan perguruan tingginya masih harus dipertanyakan.
Regulasi masih merupakan instrumen pemerintah untuk mengatur universitas dan karenanya membatasi otonominya. Kebijakan Kampus Merdeka yang memuat asa ke arah otonomi yang lebih baik karenanya belum akan memberi otonomi yang signifikan dan sesungguhnya kepada perguruan tinggi. Harus diingat bahwa di dalam sejarah pendidikan tinggi otonomi yang diberikan kepada universitas adalah untuk maksud mulia, yakni pengembangan ilmu pengetahuan. Otonomi bukan untuk disalahgunakan oleh universitas atau warga universitas. Universitas atau warga akademisnya yang menyalahgunakan otonominya adalah ibarat melakukan tindakan kriminal dan harusnya dikenakan sanksi sebagai bentuk akuntabilitas. Oleh karena itu, regulasi harusnya berposisi melindungi otonomi, bukan sebaliknya masih mengekang.
Dalam hal itu, masih ada kesenjangan antara maksud dan tindakan Pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud. Tidak seperti tindakan Paus Gregory IX yang memberikan status kelembagaan kepada Universitas Paris agar ia terlindungi dari campur tangan gereja dan negara. Harusnya Kemendikbud lebih berani bertindak seperti itu.
Karena itu, yang harus didobrak atau diurai adalah belitan-belitan kelembagaan lama yang masih melekat di lingkungan pendidikan tinggi Indonesia yang masih ingin menempatkan pemerintah sebagai aktor sentral sehingga belum mau memberi ruang gerak yang lebih besar kepada universitas dengan lebih mengotonomikan kampus-kampus. Pemerintah harus belajar untuk menjaga jarak, tetapi memantau.
Jika tidak, Mendikbud dan Kemendikbud sebagai agen perubahan akan terus terjebak menempatkan pemerintah sebagai aktor raksasa (leviathan) yang harus menentukan hampir segala sesuatu hal dan standards dan cenderung ingin menyeragamkan semua perilaku. Perilaku demikian tampak lupa bahwa di sekeliling sektor pendidikan tinggi Indonesia ada ragam model dan contoh sistem pendidikan tinggi yang kita bisa belajar dengan relatif merdeka darinya untuk membuat pilihan-pilihan yang lebih bebas di tingkat perguruan tinggi.
Jikapun pemerintah ingin menstimulasi agar dunia pendidikan tinggi Indonesia mengembangkan sebuah atau lebih ciri atau praktik baik (good practices), di atas dasar otonomi kampus sebagai bedrock dunia pendidikan tinggi yang solid, yang dapat dilakukan pemerintah adalah mengembangkan dan memberi stimulasi melalui program-program dan dukungan anggaran, bukan dengan membuat kebijakan yang langsung mengarahkan atau membatasi universitas harus begini atau begitu.
Di atas otonominya, universitas pasti akan merespons, apakah menerima dan mengikuti, atau menolak stimulan itu. Dalam era pendidikan tinggi Indonesia yang makin kompetitif, praktik-praktik beruniversitas yang lebih baik akan lebih berdaya saing.
Bagaimanapun, harus dipahami juga bahwa dunia pendidikan tinggi itu kompleks dan memiliki tradisi yang panjang. Upaya-upaya menginstitusikan sebuah maksud atau kebijakan baru ke dalam mekanisme bekerjanya lembaga pendidikan tinggi itu karenanya adalah proses panjang, bolak-balik, tumpang-tindih, yang membutuhkan interaksi-interaksi kritis di antara pelaku-pelaku di dalamnya, termasuk negosiasi-negosiasi yang membuka ruang untuk terjadinya perubahan yang lebih baik. Tulisan ini karenanya adalah bagian dari interaksi kritis terhadap Kebijakan Kampus Merdeka agar proses reiteratif-nya bergerak ke arah yang lebih baik.
Di atas pemahaman seperti itu, kebijakan Kampus Merdeka harus dipertanyakan secara kritis. Mau diarahkan ke mana sesungguhnya dunia pendidikan tinggi Indonesia dengan kebijakan itu? Mungkin, Mendikbud bermaksud memberikan otonomi yang lebih tinggi kepada universitas. Dalam sebuah kegiatan Kemristek/BRIN, Mendikbud menuturkan maksud dan langkah reformasi pendidikan tinggi Indonesia. Jika itu harapan Mendikbud, maka sejalanlah kita dengan pandangan Reilly dkk bahwa pemerintah-pemerintah di mana pun kini makin mendorong terjadinya otonomi kampus yang holistis. Ini harus didukung, tetapi sekaligus tetap harus dikritisi.