Sektor energi memang selayaknya digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Menyambut Bulan Hari Jadi Pertambangan dan Energi, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) terus berupaya menjalankan target yang ditentukan pemerintah, sebagai amanat dari Undang­-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-­Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Direktur Jenderal Minerba Ridwan Djamaluddin mengatakan, semangat Ditjen Minerba dalam perumusan UU ini adalah untuk mengeksekusi perbaikan dari semua regulasi yang sudah ada. Paling tidak ada tiga hal yang menjadi fokus.

Pertama, penyeimbangan kewenangan pusat dan daerah yang harus ditata ulang. Kedua, memberikan kesempatan seimbang kepada pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan. Ketiga, aspek perlindungan jangka panjang, termasuk pembagian wilayah yang jelas agar tidak tumpang tindih.

“Sumber daya alam dan energi di Indonesia harus dijadikan modal dasar pembangunan, sehingga pemanfaatannya harus maksimal agar memberikan nilai bagi masyarakat luas. Semangat ini sudah tertuang di dalam UU Minerba yang tidak lagi berpandangan atas kepentingan sektor, tetapi juga kepentingan nasional,” ujarnya.

Dalam UU Minerba yang baru ini, ada empat substansi pokok. Perbaikan tata kelola pertambangan nasional, keberpihakan pada kepentingan nasional, kepastian hukum dan kemudahan berinvestasi, serta pengelolaan lingkungan hidup.

Perbaikan tata kelola pertambangan nasional

Perbaikan tata kelola ini dimaksudkan pemerintah untuk meningkatkan gairah eksplorasi minerba. Melalui UU ini, pemerintah menugaskan penyelidikan dan penelitian pertambangan kepada badan usaha untuk menyiapkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Perusahaan spesialis eksplorasi pun didorong untuk mengajukan permohonan wilayah penugasan atau mengikuti lelang WIUP.

UU ini menegaskan kontrol negara atas kegiatan eksplorasi. Setelah memenuhi syarat sesuai ketentuan UU, pemegang IUP/IUPK dijamin dapat melakukan kegiatan operasi produksi. Namun, negara mewajibkan perusahaan itu menyediakan Dana Ketahanan Cadangan (DKC). Dana ini akan digunakan pemegang IUP/ IUPK untuk melakukan eksplorasi lanjutan pada tahap kegiatan operasi produksi yang besarannya ditetapkan dalam RKAB.

UU Minerba baru mengatur perizinan batuan yang lebih jelas dan sederhana, yakni dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) batuan dan Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB). Kedua jenis perizinan tersebut hanya terbuka untuk pengusaha  lokal/nasional.

Untuk memperkuat tata kelola pertambangan nasional, pemerintah menghadirkan konsep wilayah hukum pertambangan (WHP) Indonesia yang meliputi, ruang darat, ruang laut –termasuk ruang dalam bumi, tanah di bawah perairan, dan landas kontinen.

Yang harus ditekankan, WHP bukan untuk kegiatan penambangan. WHP menjadi ruang penyelidikan dan penelitian untuk mengetahui potensi mineral dan batubara. Jika ingin diusahakan, wilayah itu harus ditetapkan menjadi wilayah pertambangan yang prosesnya harus melibatkan pemda dan masyarakat, serta harus sesuai rencana tata ruang.

Berpihak pada kepentingan nasional

Agar bisa berdaulat di negeri sendiri, UU Minerba ini mewajibkan pihak asing melakukan divestasi saham sebesar 51 persen. Dalam pelaksanan kebijakan divestasi tersebut pemerintah menentukan jangka waktu dimulainya kewajiban divestasi dengan mempertimbangkan tingkat pengembalian investasi perusahaan.

Demi kepentingan nasional yaitu meningkatkan nilai tambah minerba secara konsisten, perusahaan tambang wajib melakukan kegiatan pengolahan dan/atau pemurnian di dalam negeri.

Wewenang perizinan smelter pun diberikan kepada dua kementerian, yaitu Kementerian ESDM untuk smelter terintegrasi dengan penam  bangan dan Kementerian Perindustrian untuk smelter yang tidak terintegrasi.

UU ini juga menguatkan peran BUMN. Peran itu antara lain, BUMN bisa memiliki lebih dari satu IUP/ IUPK, luas WIUPK BUMN dapat melebihi luas maksimal WIUP normal, mendapatkan prioritas dalam pemberian wilayah penugasan penyelidikan dan penelitian, serta bisa diberikan perpanjangan IUP/IUPK sampai umur cadangan.

Demi kepentingan nasional, pemerintah akan mengontrol ketat produksi dan penjualan minerba. Karena pemda tidak lagi berwenang penuh, pemerintah pusat berwenang menetapkan jumlah produksi, penjualan (domestik dan ekspor), dan harga mineral/batubara.

Walaupun sudah dipegang pusat, bukan berarti pemda dilupakan. Pemda akan mendapatkan 6 persen keuntungan bersih dari pemegang IUPK, dengan komposisi 1,5 persen untuk Pemprov, 2,5 persen untuk pemkab/kota, dan 2 persen untuk pemkab/kota lain dalam provinsi yang sama. Sementara itu, pemerintah pusat mendapatkan 4 persen.

Iuran pertambangan rakyat menjadi bagian dari struktur pendapatan daerah berupa pajak dan/ atau retribusi daerah. Hal itu akan dikembalikan lagi untuk pengelolaan tambang rakyat.

Kepastian hukum

UU sebagai payung hukum harus dapat memberikan jamiman kepastian hukum dan investasi. Untuk itu, pemerintah menjamin tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUP, WIUPK, atau WPR yang telah ditetapkan. Pemerintah juga me nyederhanakan perizinan dengan menggabungkan IUP tahap eksplorasi dan operasi produksi. Tentu saja dengan ketentuan, yaitu masa berlaku tiap tahapan kegiatan harus rinci waktunya dan kegiatan produksi bisa dilakukan setelah memenuhi kewajiban teknis dan lingkungan.

Pemegang IUP/IUPK juga mendapatkan insentif nonfiskal jika melakukan peningkatan nilai tambah (PNT) secara terintegrasi. Bentuk insentif itu seperti jangka waktu IUP/ IUPK 30 tahun, perpanjangan 10 tahun setiap kali perpanjangan, dan jangka waktu dimulainya pelaksanaan divestasi lebih lama.

Pemerintah juga menaruh per hatian khusus pada upaya penyelesaian hak atas tanah untuk kegiatan usaha pertambangan, salah satunya  pemerintah dapat menjadi mediator penyelesaian hak atas tanah dalam hal penyelesaian secara musyawarah mufakat diantara para pihak tidak mencapai titik temu. Dalam penyelesaian tersebut tentunya tetap melibatkan pemerintah daerah.

Partisipasi publik akan menjadi poin utama untuk penetapan wilayah pertambangan. Sebelum melakukan lelang WIUP, pemerintah wajib mengumumkan wilayah tersebut kepada publik. Ini menjadi bentuk transparansi kepada masyarakat.

Pengelolaan lingkungan hidup

Melalui UU Minerba, pemerintah memperhatikan dampak lingkungan atas kegiatan usaha pertambangan. Pemegang izin diwajibkan melakukan reklamasi dan pascatambang hingga tingkat keberhasilan 100 persen. Kewajiban ini dikecualikan jika lahan pascatambang diminta pemerintah pusat atau daerah untuk kepentingan pembangunan atau umum.

Ketentuan UU ini juga memiliki sanksi. Pihak yang tidak melaksanakan reklamasi dan/atau pascatambang dan/atau tidak melaksanakan penempatan dana jaminan reklamasi dan/ atau jaminan pasca tambang akan dikenakan pidana hingga 5 tahun penjara dan denda hingga Rp 100 miliar. IUP/IUPK pun bisa dicabut sebagai dampaknya.

Dengan adanya UU Minerba baru ini, diharapkan negara bisa berdaulat di negeri sendiri, sekaligus menjadi semangat dalam memperingati hari jadi pertambangan dan energi ke­75.