Tak dapat dipungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi. Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.

Menyikapi hal itu, maka baru-baru ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tema “Menjaga Privasi Bersama di Dunia Digital”. Webinar yang digelar pada Senin, 6 September 2021 di Kota Tangerang Selatan, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.

Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Anang Masduki, MA, Ph.D (Cand) – Dosen Ilmu Komunikasi UAD, Novita Sari – Aktivis Kepemudaan Lintas Iman, Ismita Saputri – Kaizen Room, Andrea Abdul Rahman Azzqy, S. Kom, MSi, MSi (Han) – Dosen Universitas Budi Luhur Jakarta.

Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety. Anang Masduki membuka webinar dengan mengatakan, dalam menggunakan media digital, diperlukan kecakapan digital (digital skills).

Digital skill adalah kemampuan individu dalam mengetahui, memahami, dan menggunakan perangkat keras dan piranti lunak TIK serta sistem operasi digital dalam kehidupan sehari-hari,” tuturnya. Sementara privasi adalah hal individu untuk menentukan apakah data pribadi akan dikomunikasikan atau tidak kepada pihak lain.

Menurut Anang, data pribadi yang harus dilindungi adalah data pribadi bersifat umum dan data pribadi bersifat spesifik. Skills menjaga privasi, yakni pastikan password aman, cek akses data personal sebelum mengunduh aplikasi dan periksa pengaturan pribadi jejaring media sosial.

Novita Sari menambahkan, etika merupakan sistem dan moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan etiket, merupakan tata cara individu berinteraksi dengan individu lain atau didalam masyarakat.

“Pentingnya beretika, karena harus dipahami bahwa kita semua manusia walaupun berada dalam dunia digital, jadi ikutilah aturan seperti dalam kehidupan nyata, pengguna internet bersalah dari bermacam negara yang memiliki perbedaan bahasa, budaya dan adat istiadat,” ungkapnya.

Ismita Saputri menambahkan, karakteristik masyarakat digital atau digital society yakni cenderung tidak menyukai aturan yang mengikat, senang mengekspresikan diri, terbiasa untuk belajar bukan dari instruksi melainkan dengan mencari, tidak ragu untuk men-download dan upload, berinteraksi di media sosial.

“Teknologi hadir untuk memudahkan kehidupan kita. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan-kemajuan teknologi yang ada menciptakan tantangan baru bagi masyarakat digital,” katanya.

Ia berpesan, agar jadilah milenial yang bijak dalam menggunakan sosial media seperti pasang identitas asli tapi jaga privacy, pilih-pilih teman dulu jangan asal, statusmu adalah harimaumu, jangan cantumkan nomor kontak pribadi, proteksi akun anda jangan sampai di-hack, jangan kepancing debat di sosmed.

Digital culture atau budaya digital, merupakan prasyarat dalam melakukan transformasi digital. Sebab, penerapan budaya digital lebih kepada mengubah pola pikir agar dapat beradaptasi dengan perkembangan digital.

“Dampak rendahnya pemahaman nilai pancasila dan bhineka tunggal ika adalah tidak mampu memahami batasan kebebasan berekspresi dengan perundungan siber, tidak mampu membedakan keterbukaan informasi publik dengan pelanggaran privasi di ruang digital, tidak mampu membedakan misinformasi, disinformasi, dan malinformasi,” ujarnya.

Sebagai pembicara terakhir, Andrea Abdul mengatakan, privasi digital adalah perlindungan informasi individu yang digunakan atau dibuat saat menggunakan internet di komputer atau perangkat pribadi.

“Sayangnya, tingkat literasi privasi digital masyarakat indonesia masih kurang dan sangat minim,” tuturnya. Contohnya adalah kurangnya pemahaman perlindungan data pribadi, kemudahan kebocoran data pribadi, cepat percaya dengan situs dan aplikasi, kebutuhan akan material dan popularitas.

“Wilayah digital sangat kaya akan informasi dan data yang dibutuhkan, baik yang bernilai positif ataupun negatif. Kecenderungan anti sosial, bahkan dapat menyalahgunakan adanya informasi dari internet. Kemunculan identitas alternatif karena mudahnya menjadi tokoh rekan di ruang siber,” pungkasnya.

Dalam sesi KOL, Audrey Chandra menjelaskan, bahwa kita harus memaksimalkan penggunaan sosial media untuk lebih produktif di masa pandemi ini. “Masalah pribadi tidak usah di share di akun sosial media kita karena itu bersifat privasi untuk kita. Jangan menurunkan kualitas diri kita, jangan tinggi hati, usahakan semua akun sosial media mempunyai password yang kuat,” pesannya.

Dalam webinar ini, para partisipan yang hadir juga dipersilahkan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Anabel menanyakan, apakah Indonesia sudah memiliki aplikasi canggih dari pemerintah untuk mencegah hoax atau menghindari pembongkaran suatu privasi?

“Untuk saat ini di indonesia belum ada, tetapi sudah ada website-website yang bisa kita gunakan untuk mencari tahu berita-berita atau informasi-informasi yang hoax atau yang bukan. Tetapi untuk aplikasi penyebaran data pribadi belum ada untuk saat ini tetapi pemerintah sudah mencari solusi yang terbaik untuk hal ini,” jawab Novita.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Tangerang Selatan. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui Instagram @siberkreasi.dkibanten dan @siberkreasi.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, terutama kepada Kominfo. Mengingat program literasi digital ini hanya akan berjalan dengan baik dan mencapai target 12,5 juta partisipan, jika turut didukung oleh semua pihak.