Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.

Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.

Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tajuk “Literasi Digital untuk Generasi Muda Indonesia”. Webinar yang digelar pada Selasa, 7 Juli 2021 di Tangerang Selatan, itu diikuti oleh puluhan peserta secara daring.

Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Dr Bevaola Kusumasari MSi (Dosen Fisipol UGM), I Komang Sumerta SE MM (Dosen FEB Universitas Ngurah Rai), Abdul Rohim (Redaktur Langgar.co), dan Btari Kinayungan (Kaizen Room).

Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety. Bevaola Kusumasari membuka webinar dengan mengatakan bahwa perkembangan teknologi membawa perubahan di berbagai lapisan kehidupan, termasuk cara kita berinteraksi dan berpendapat.

Era ini ditandai dengan media–media baru yang sudah tidak memiliki kendala jarak dan waktu. Untuk itu, Bevaola mengatakan bahwa dalam mengakses teknologi diperlukan literasi digital.

“Literasi digital adalah kemampuan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk menemukan, mengevaluasi, memanfaatkan, membuat, dan mengomunikasikan konten atau informasi dengan kecakapan kognitif maupun teknikal,” paparnya.

Sementara tujuan literasi media adalah memberi kita kontrol yang lebih besar atas interpretasi, karena semua pesan media merupakan hasil konstruksi. Dalam pandangan kelompok prepasionis, warga masyarakat secara umum perlu diberi bekal kompetensi melek media untuk bisa mengambil manfaat dari kehadiran media massa.

Di portal internet, terdapat jenis konten positif seperti konten inspiratif. Ini biasanya berisi tentang pengalaman pribadi atau perjalanan orang lain dalam menuju kesuksesan. Ada juga kata-kata mutiara atau quote dan juga gambar atau foto yang menginspirasi, terutama hasil karya sendiri.

Namun, di internet juga terdapat konten negatif. Konten negatif adalah substansi yang mengarah pada penyebaran kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA. Konten negatif ini seperti ujaran kebencian, hoaks, dan perundungan di dunia maya.

“Tindakan yang dapat kita lakukan untuk melawan banjirnya konten negatif dapat dengan cara membedakan motivasi dalam mencari informasi, mengendalikan keinginan dalam mengakses informasi, menjala informasi yang bermanfaat, jangan mengakses informasi yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain,” ujarnya.

I Komang Sumerta menambahkan, perkembangan TIK modern Indonesia sangat terpengaruh oleh penemuan-penemuan baru yang ada di Eropa dan Amerika. Dalam menggunakan TIK antarnegara, maka diperlukan etika digital. Menurut KBBI etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).

“Sementara etika digital adalah suatu konsep normal perilaku yang tepat dan bertanggung jawab terkait dengan cara menggunakan teknologi untuk memberikan keamanan terhadap diri sendiri maupun orang lain,” katanya.

Komang menambahkan, kita harus bijak dalam menggunakan dalam menggunakan media sosial. “Melansir laman San Diego Virtual School, lakukan think sebelum kamu membagikan cerita di media sosial. Yang kedua, jauhi drama medsos, jangan oversharing, ingat jejak digital itu nyata, dan selalu follow akun yang tepat,” paparnya.

Sedangkan, Abdul Rohim menjelaskan, teknologi digital menjadi realitas baru bagi masyarakat, sekaligus menciptakan kebiasaan baru bagi masyarakat. Seluruh pola komunikasi, relasi, dan interaksi telah berubah.

“Kini, pola komunikasi dan relasi kita akan sangat tergantung perangkat media digital. Pergaulan akan semakin terhubung dengan wilayah yang lebih luas. Pola interaksi yang lebih impersonal lintas batas umur, budaya, strata sosial, wilayah, bahasa, dan sebagainya,” ungkapnya.

Selain itu, pola lintas batas pergaulan yang impersonal dan lebih setara. Pola penghidupan ekonomi, pekerjan, aktivitas harian, pola konsumsi (barang, jasa, maupun informasi) juga berubah.

“Masyarakat tidak lagi menyukai kerja-kerja formal yang kaku, statis, monoton. Tuntutan ruang kerja yang lebih memberi kreasi individual, creative. Pola persepsi tentang pekerjaan ideal yang bergeser ke luar kantor, jenis usaha ekonomi yang semakin terintegrasi di pasar digital,” jelas Abdul.

Ia menambahkan, kita juga harus menyikapi perubahan masyarakat dengan sikap yang solutif, tanpa sikap “anti-anti”, wawasan lebih terbuka, banyak belajar, beradaptasi, dan mengikuti perkembangan. Mempersiapkan anak, siswa, bimbingan, yang memberi dan melatih sikap bertanggung jawab dalam berintregasi dengan kehidupan digital.

Pola pengasuhan pendidikan yang tidak asal larang, rasional, menekankan aspek kreatif dengan pola pengajaran yang bersifat lebih setara, dan tidak menggurui. Pengajaran moral dan keagamaan yang tidak lagi doktriner, melainkan pemahaman argumen rasional, memberi kebebasan yg menekankan tanggung jawab rasional.

“Mengembangkan praktik pendidikan yang bisa mencetak individu kreatif, berwawasan terbuka dan bertanggungjawab, rasional, yang punya sikap kepribadian kokoh yang berwawasan yang tidak terombang-ambing dan hanyut dalam pusaran arus banjir digital,” ucap Abdul.

Sebagai pembicara terakhir, Btari Kinayungan menjelaskan bahwa ketika kita sudah menyerahkan diri pada kehidupan digital, maka sesungguhnya privasi sudah tidak ada lagi. “Maka diperlukan digital safety, yakni kemampuan individu dalam mengenali, mempolakan, menerapkan, menganalisis, dan meningkatkan kesadaran keamanan digital dalam kehidupan sehari-hari.”

Tindakan pengamanan digital paling dasar adalah perlindungan identitas yang merupakan identitas/karakter seseorang sebagai pengguna platform media digital. Perlindungan identitas digital juga untuk identitas terlihat seperti nama, foto, dan deskripsi diri.

“Dan ada juga identitas tidak terlihat seperti pin, metode authentification lainnya. Sedangkan perlindungan data pribadi data identitas berupa kode, simbol, huruf atau angka yang jadi penanda personal yang bersifat pribadi,” paparnya.

Ia menambahkan, untuk melindungi data pribadi kita bisa dengan password yang beerbeda pada setiap perangkat maupun platform, gunakan password yang sulit, rutin mengganti password, dan gunakan setting privasi di sosmed.

Salah satu peserta bernama Dita menanyakan, bagaimana dengan generasi muda zaman sekarang yang masih kurang memahami pentingnya kita tentang literasi digital?

“Bisa dilakukan dengan cara membuat konten-konten positif, jangan terlalu gampang termakan berita hoaks. Jika ada berita dicek terlebih dulu apakah benar atau tidak, dan selalu lakukan hal-hal produktivitas, dan bisa saja melakukan hobi,” jelas Bevaola.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Tangerang Selatan. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]