Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (LPDB-KUMKM) tengah merancang Core Micro Financing System (CMFS), sebuah sistem untuk memantau penggunaan dan pemanfaatan dana bergulir oleh pelaku UMKM di Indonesia.
Direktur Utama LPDB-KUMKM Braman Setyo mengatakan, CMFS saat ini dalam tahap penyempurnaan dengan target implementasi pada kuartal I 2019 mendatang.
“Sistemnya masih terus dibangun, dan hampir jadi. Kuartal I 2019 kita terapkan,” kata Braman usai diskusi kegiatan strategis pengembangan koperasi dan UKM di Bogor, Jawa Barat, Senin (3/12/2018).
Braman mengungkapkan, sejak 2006 hingga 2017 total dana bergulir yang disalurkan mencapai Rp 8,5 triliun. Ia menyayangkan dana sebesar itu selama ini tidak secara detail diketahui dampak pemanfaatannya bagi pengembangan koperasi dan UMKM.
“Dengan adanya CMFS ini, nanti diketahui siapa end user (pengguna akhir) dan pemanfaatannya. Misalnya, kita berikan kepada BPR (Bank Perkreditan Rakyat) atau koperasi kepada anggotanya, nanti diketahui ke mana saja uang itu, apakah digunakan untuk kegiatan produktif, dan lain sebagainya,” ujar Braman.
Seluruh aktivitas pembiayaan LPDB-KUMKM, lanjut Braman, juga bisa diakses secara daring untuk mempermudah koperasi dan UMKM mengakses pembiayaan. “Bahkan, nanti kita bisa lihat bagaimana perkembangan pelaku UKM yang memanfaatkan dana bergulir ini.”
Bentuk tekfin
CMFS juga menjadi langkah awal LPDB-KUMKM dalam membentuk teknologi finansial (tekfin) pembiayaan sendiri, sesuai dengan arahan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Harapan OJK 2019 kita punya fintech mandiri. Menyongsong itu, bisnis model terus kita kembangkan berbasis teknologi informasi,” kata Braman.
Sejalan dengan hal tersebut, LPDB-KUMKM juga telah bekerja sama dengan 6 vendor tekfin untuk menyalurkan permodalan kepada pelaku usaha. Dana yang diberikan LPDB-KUMKM kepada 6 tekfin itu mencapai Rp 100 miliar.
“Bunganya juga kita kunci, tidak boleh semaunya vendor fintech, kita syaratkan bunga yang dibebankan harus di bawah 10 persen. Dengan bunga rendah, tentu bisnis yang berjalan harus bagus atau memiliki profit besar,” pungkas Braman. [ADV/*]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 8 Desember 2018.