Dalam memahami konteks kebangsaan, kita dihadapi dengan dua hal penting yaitu globalisasi pada berbagai bidang (ekonomi, politik, kebudayaan, keagamaan) dan revolusi industri berupa digitalisasi dalam bertransformasi digital. Hal tersebut menciptakan tantangan dan peluang bagi Pancasila di dunia nyata maupun di dunia digital. Tantangan yang hadir dalam menjadi masyarakat Pancasila dipengaruhi oleh warga negara, masyarakat, dan negara. Sebagai masyarakat digital tantangan yang muncul merupakan hilangnya fokus kebangsaan akibat desentralisasi serta diskriminasi sosial dan kewilayahan, hilangnya fokus kerakyatan akibat pemisahan rakyat dari negara dan kedaulatan ekonomi rakyat menjadi ekonomi pasar, serta hilangnya fokus kekeluargaan atas penguasaan ekonomi atau sumber daya alam oleh asing serta ketergantungan politik dan ekonomi kepada kapitalisme global.
Menyikapi hal itu, maka lembaga Kominfo bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital dalam menggelar webinar dengan tajuk “Menjadi Masyarakat Pancasila di Era Digital”. Webinar yang digelar pada Rabu, 3 November 2021, pukul 13.00-15.30 diikuti oleh sejumlah peserta secara daring.
Dalam forum tersebut hadir Muhammad Mustafied (Sekretaris Nur Iman Foundation Mlangi Yogyakarta), Mochamad Azis Nasution (Pemimpin Redaksi Channel9.id), Wulan Furrie, MIKom. (Praktisi dan Dosen Manajemen Komunikasi Institut Stiami), Diana Balienda (Founder DND Culinary), dan Sony Ismail (Musisi Band J-Rocks) selaku narasumber.
Dalam pemaparannya, Mochamad Azis Nasution menyampaikan informasi penting bahwa “Masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragam; terdiri dari berbagai macam suku, agama, adat istiadat dan bahasa yang disatukan utuh oleh Pancasila sehingga menjadi rujukan nilai etika dalam tata kehidupan di semua aspek. Saat ini, masalah yang sering ditemui adalah masih belum sepenuhnya penerapan nilai-nilai Pancasila dalam berkomunikasi di media sosial, dengan banyaknya informasi negatif dalam berbagai bentuk yang mengandung ujaran kebencian, kebohongan, bahkan saling menyindir dan melecehkan. Penggunaan bahasa-bahasa sarkasme, sinisme, kasar dan vulgar juga sering ditemui. Hal tersebut dikarenakan pemanfaatan ruang digital sebagai sarana kebebasan berekspresi dianggap tidak memiliki batasan sehingga membuat orang bersikap semaunya dan seenaknya sendiri. Sifat anonimitas internet membuat orang bersembunyi di balik identitas yang dibuat di ruang digital, membuat mereka merasa bebas atas segala konsekuensi dari apa yang dikomentari. Permasalahan tersebut terjadi karena kurangnya pemahaman etika digital yang tidak dibarengi oleh kecakapan digital. Implementasi etika paling krusial adalah bagaimana kita mengendalikan diri sendiri dalam mengontrol dan filter untuk menghindari dicap sebagai objek yang ikut arus atas banjirnya informasi dan dicap sebagai orang yang tak beretika. Sumber etika tersebut berasal dari Pancasila sebagai ideologi negara. Sumber etika tersebut didasari dengan ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, mengutamakan sikap demokratis, dan keadilan sosial.”
Sony Ismail selaku narasumber Key Opinion Leader juga menyampaikan bahwa sebagai orang tua, kita harus menanamkan pemahaman kepada anak-anak bahwa ruang digital sama halnya dengan ruang nyata, dan agar mereka selalu mengedepankan menghargai orang lain dan toleransi. Sebagai seniman, ia sampaikan bahwa kita dapat menyampaikan pesan atau kritik melalui karya tanpa menyinggung hal-hal negatif dan justru menyampaikan pesan-pesan ataupun kritik yang berisi hal-hal membangun. Selain itu, ia juga ingatkan kepada kita untuk jangan sungkan untuk memblokir atau mute akun-akun yang terlihat hanya mencibir.
Para partisipan yang hadir juga dipersilahkan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Soviana menyampaikan pertanyaan “Saat ini media sosial juga digunakan oleh kelompok radikal untuk menyebarkan ideologinya. Akibatnya menjadi semakin mudah bagi masyarakat menerima informasi secara mentah-mentah tanpa menyaring, dan bisa jadi informasi yang diterimanya adalah tentang ideologi radikalisme. Bagaimana cara meminimalisir dampak negatif media sosial yang berujung pada radikalisme, separatisme, bahkan terorisme?”
Pertanyaan tersebut pun dijawab dengan lugas oleh Muhammad Mustafied, bahwa “Sosial media pada dasarnya bersifat netral dan bisa berisi hal-hal positif maupun negatif. Salah satu aspek kecakapan digital adalah bagaimana memproduksi konten yang positif dan bermanfaat yang dapat membantu mengurangi penyebaran konten-konten negatif, seperti radikalisme. Ancaman radikalisme adalah untuk mengubah konstitusi negara menjadi dasar negara yang sesuai dengan kepentingan kelompok mereka sendiri. Narasi-narasi yang biasa dipakai dalam mengembangkan ide radikalisme adalah Indonesia merupakan negara yang sekuler dan anti-Islam. Kita harus membalas balik dengan menanamkan paham bahwa Indonesia sudah sejalan dengan kepercayaan Islam yang berdasarkan sila Ketuhanan dari Pancasila, misalnya. Sehingga hal yang harus dipahami adalah literasi digital dan paham substansi narasi-narasi tersebut apakah sejalan atau tidak dengan Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung di Pancasila dapat membendung dan mengurangi masuknya paham tersebut, karena salah satu akar radikalisme adalah kefaktaan ketidakadilan struktural yang ada di negara.”
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Jakarta Timur. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten. Juga, bagi yang ingin mengetahui tentang Gerakan Nasional Literasi Digital secara keseluruhan bisa ikuti akun Instagram @siberkreasi.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat.