Belum lama ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tajuk “Literasi Digital untuk Generasi Anti Hoax”. Webinar yang digelar pada Jumat (2/7/2021) di Kabupaten Tangerang itu diikuti oleh puluhan peserta secara daring.

Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Teguh Setiawan (wartawan senior), Dr E Nugrahaeni Prananingrum MSi (dosen Universitas Negeri Jakarta), Yuli Setiyowati (Kaizen Room), dan Aina Masrurin (Media Planner Cerita Santri.id).

Teguh Setiawan membuka webinar dengan mengatakan, hoaks dibuat untuk menipu agar masyarakat percaya atau menerima sebagai sesuatu yang salah dan sering kali tidak masuk akal. “Kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat. Fake news atau berita bohong, berita palsu, berita yang tidak dibuat berlandaskan fakta dan kebenaran, berita mengada-ada, atau rumor,” katanya.

Ia menambahkan, hoaks dan fake news sebagai fenomena global. Media digital memungkinkan setiap orang bersuara dan mendistribusikan konten. Mis-informasi berarti salah informasi. Informasinya sendiri salah, tetapi orang yang menyebarkannya percaya bahwa informasi itu benar.

Dis-informasi, yakni informasi palsu dengan maksud untuk menipu opini publik. Mala-informasi informasinya sebetulnya benar. Sayangnya, informasi itu digunakan untuk mengancam keberadaan seseorang atau sekelompok orang dengan identitas tertentu.

“Pengaruh hoaks dan fake news bisa menempatkan generasi muda dalam posisi bahaya, memicu perpecahan, merugikan satu pihak, menguntungkan pihak lain, fakta tak lagi dipercaya,” papar Teguh.

Sementara itu, Dr E Nugrahaeni Prananingrum menambahkan, budaya yang dibentuk oleh digitalisasi berbeda dari pendahulunya, yaitu apa yang disebut budaya cetak dan budaya siaran, dalam sejumlah cara berbeda. Misalnya, teknologi digital telah memungkinkan bentuk budaya yang lebih berjejaring, kolaboratif, dan partisipatif.

Sejak internet ditemukan dan berkembang, terdapat banyak perubahan dalam interaksi yang berkembang. “Membuat segala sesuatu menjadi lebih efisien dan teratur. Internet membangun jaringan komunikasi yang tidak terbatas,” kata Nugrahaeni.

Ia menambahkan, literasi digital adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari.

“Tujuan literasi digital adalah memberi kita kontrol yang lebih besar atas interpretasi karena semua pesan media merupakan hasil konstruksi,” tuturnya. Salah satu tantangan masyarakat pada masa saat ini, adalah dengan kemampuannya untuk mencerna informasi yang masuk dari lingkungan yang ada di sekitarnya.

Kemampuan mencerna informasi positif yang masuk dalam diri seseorang dipengaruhi oleh pendidikan karakter. Pendidikan karakter turut memberikan andil yang kuat dalam penanaman nilai-nilai nasionalisme pada masyarakat digital Indonesia.

Yuli Setiyowati mengatakan, kemudahan internet yakni merupakan sumber ilmu dan pengetahuan, mempermudah proses akademik, hemat biaya dan waktu, mempermudah akses publik, efektif sukseskan bisnis dan usaha, memperluas pertemanan, dan media hiburan di semua kalangan.

Sayangnya, terdapat ancaman tindakan kejahatan di internet, seperti e-mail phising, injeksi virus, malware dan ransomware, peretasan (hacking), spamming, DDOS attack, piracy, cyber bullying, dan eksploitasi anak.

“Mencegah hal tersebut, kita harus aman berinternet. Adapun caranya, batasi penggunaan Wi-Fi publik, buat password yang kuat dan unik, aktifkan multi factor authentication, dan berani lapor seperti ke patrolisiber.id, aduankonten.id, dan www.lapor.go.id,” paparnya.

Sebagai pembicara terakhir, Aina Masrurin menjelaskan, jika suatu kabar bohong (hoaks) dikatakan berulang ulang, kebohongan itu bisa diyakini sebagai sebuah kebenaran.

“Mitigasi menyadarkan korban hoaks yakni menegur/mengingatkan dengan lembut, tetapi tegas di ruang privat. Menyajikan 2-3 bukti faktutorital dari sumber-sumber kredibel dan otoritatif,” tuturnya.

Ia menambahkan, perlu mengingatkan risiko dan bahayanya jika hoaks itu disebarluaskan, mengingatkan konsekuensi hukum bagi penyebar hoaks, dan mengajak untuk mengalihkan fokus pembicaraan ke topik lain yang lebih konstruktif.

“Perangi hoaks dengan menyampaikan dampak buruk persebarannya bagi pribadi dan keluarga. Merenungkan urgensitas/penting atau tidak menyebarkan sebuah informasi. Mengajak untuk membiasakan diri bersikap skeptis terhadap informasi,” pungkas Aina.

Dalam webinar ini, para partisipan yang hadir juga dipersilakan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Letisia Marshaferine memberi testimoni bahwa jika ada keluarga ataupun orang lain yang terbiasa mengirimkan berita tanpa mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu, hal apa yang sebaiknya dilakukan dalam menanggapi hal tersebut?

“Biasanya menyebarkan hoaks itu pertama di lingkungan terdekat yaitu keluarga. Bila ada orangtua yang menyebarkan hoaks, bisa dilakukan dengan cara private message kepada orang tersebut, lalu memberi tahu bahwa informasi yang dibagikan mengandung hoaks,” jawab Nugrahaeni.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Tangerang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui Instagram @siberkreasi.dkibanten.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak sehingga dapat berjalan dengan baik, terutama kepada Kominfo. Mengingat program literasi digital ini hanya akan berjalan dengan baik dan mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak.