Berbagai pencapaian di sektor syariah telah dicapai Indonesia. Mulai dari peringkat pertama untuk Global Muslim Travel Index 2019 versi Crescent Rating-Mastercard dan Global Islamic Finance Report (GIFR) 2019 dari Cambridge Institute of Islamic Finance (IIF), hingga peringkat keempat dunia produk halal di negara Organisasi Kerja sama Islam (OKI).

Tak heran, pemerintah sangat optimistis bahwa Indonesia dapat menjadi salah satu pemain utama di perekonomian syariah dunia, bahkan menjadi global hub untuk ekonomi syariah dunia. Keyakinan ini didasari banyak potensi syariah di Indonesia yang bisa dikembangkan.

Demi mencapai tujuan itu, pemerintah menegaskan komit­mennya dengan menerbitkan Per­aturan Presiden (PERPRES) No. 28 Tahun 2020 Tentang Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS). Perpres ini memperluas dan memperkuat fungsi lembaga yang sebelumnya bernama Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS).

Dengan penambahan kata “ekonomi” pada nama lembaga ini, KNEKS tidak lagi hanya menangani keuangan syariah, tetapi juga ekosistem yang membentuk ekonomi syariah secara menyeluruh. Selama ini, perhatian masih tertuju kepada lembaga keuangan syariah, utamanya perbankan syariah.

Hal ini disampaikan oleh Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin, yang ditunjuk langsung oleh Presiden RI Joko Widodo sebagai Wakil Ketua KNEKS merangkap sebagai Ketua Harian KNEKS, saat ditemui di Istana Wakil Presiden RI di Jakarta, Kamis (12/3/2020).

“Salah satu maksud dari diter­bitkannya PERPRES ini, adalah agar lingkup tugas lembaga ini tidak hanya mencakup keuangan syariah, tetapi mencakup bidang perekonomian syariah yang lebih luas. Untuk itu, dalam kelembagaan KNEKS, tidak hanya melibatkan kementerian yang mengurusi soal keuangan, tetapi juga meliputi bidang Industri, Per­dagangan, Koperasi dan UMKM, Pariwisata, dan lainnya.

Adapun ruang lingkup KNEKS seperti yang diamanatkan dalam PERPRES No. 28 tahun 2020 adalah: (1) Pengembangan Industri Produk Halal; (2) Pengembangan Industri Keuangan Syariah; (3) Pengembangan Dana Sosial Syariah; (4) Pengembangan dan Perluasan Kegiatan Usaha Syariah.

Penguatan kelembagaan

Banyak pengamat juga melihat perubahan KNKS menjadi KNEKS merupakan langkah awal untuk men­jadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah dunia. Ma’ruf mengatakan, sekarang kita memiliki landasan hukum yang kuat untuk mewujudkan tujuan tersebut.

“Penguatan kelembagaan di pe­­me­rintah dapat dilakukan dengan membentuk struktur yang mengurusi pengembangan perekonomian sya­riah. Jadi, tidak hanya di Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, atau Kementerian Keuangan, tetapi juga di Kementerian Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UMKM, dan lainnya sebaiknya ada yang mengurusi soal syariah,” ujarnya.

Penguatan sektor keuangan syariah

Selain penguatan kelembagaan, sektor keuangan syariah harus terus dikembangkan dan ditingkatkan daya saingnya. Pengembangan sektor keuangan ini menjadi keharusan untuk mendukung penguatan sektor riil.

Ma’ruf mengatakan, pemerintah ingin mendorong lebih banyak bank konvensional yang berminat untuk mengonversi dirinya menjadi bank syariah.

Saat ini, menurut Ma’ruf, sudah ada berbagai bank yang menyatakan minatnya untuk hal itu, yaitu antara lain BPD Riau, BPD Sulselbar, dan Bank Nagari (PT Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat). Sebelumnya BPD Aceh dan BPD NTB sudah lebih dulu mengonversi diri.

Penguatan sektor keuangan syariah ini perlu didukung dengan pendirian pusat-pusat kajian ekonomi syariah. Terkait hal ini, Ma’ruf mengatakan, sudah ada beberapa universitas yang menyatakan diri sebagai pusat kajian ekonomi syariah selain Universitas Islam Negeri (UIN). Beberapa universitas itu antara lain Universitas Sebelas Maret, Universitas Airlangga, Universitas Brawijaya, dan beberapa universitas lainnya.

“Kami juga akan coba mengem­bangkan produk keuangan lainnya, misalnya Kredit Usaha Rakyat (KUR) syariah. Kami juga ingin mendorong Kredit Pemilikan Rumah (KPR) berbasis syariah lebih luas lagi. Kami inginnya semua portofolio keuangan ada produk syariahnya. Ini akan dilakukan secara bertahap karena sudah jadi komitmen pemerintah untuk mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah ke depannya,” ujar Ma’ruf.

Pemerintah ingin juga mendo­rong pengembangan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS), Bank Wakaf Mikro (BWM), BMT, dan koperasi syariah sebagai bagian dari pengembangan keuangan mikro. Untuk BWM, selama ini, sumber keuangannya hanya berasal dari donasi. Ke depannya, dapat didukung oleh APBN dan berbagai dana CSR BUMN.

Ma’ruf juga ingin mendorong wakaf menjadi dana abadi umat yang murah. Salah satunya dengan membuat sukuk wakaf. Ini menurut Ma’ruf, punya manfaat ganda, selain untuk APBN, juga bisa memperbesar dana umat yang imbal hasilnya bisa dimiliki umat. Ma’ruf akan melibatkan BUMN untuk memperbesar dana wakaf ini.

Pemerintah sendiri sebenarnya sudah menerbitkan Cash Waqaf Link Sukuk (CWLS) yang pertama dengan seri SW001 pada awal Maret 2020. Penjualannya pun dengan cara private placement dan berhasil mengumpulkan Rp50,849 miliar. Dana CWLS ini digunakan untuk pengembangan investasi sosial dan pemanfaatan wakaf produktif di Indonesia. Kupon atau imbal hasil investasi yang ditawarkan fixed 5,0 persen per tahun dengan tenor 5 tahun.

SW001 ini akan membagi skema pendayagunaan manfaat menjadi beberapa kategori. Yakni, diskonto dibayarkan sekali pada awal transaksi penerbitan SW001 dan akan digunakan oleh Badan Wakaf Indonesia untuk pengembangan aset wakaf baru. Salah satunya adalah untuk keperluan renovasi dan pembelian alat kesehatan guna mendukung pembangunan retina center pada Rumah Sakit Wakaf Achmad Wardi yang berlokasi di Serang, Banten.

Sementara itu, kupon dibayarkan setiap bulan dan akan digunakan untuk pelayanan operasi katarak gratis bagi kaum duafa di rumah sakit yang sama. Adapun target jumlah duafa yang dilayani selama 5 tahun adalah 2.513 pasien. Selain itu, dana itu akan digunakan untuk pengadaan mobil ambulans untuk menjangkau pasien-pasien yang jauh dari rumah sakit tersebut.

Pemberdayaan UMKM

Penciptaan KUR syariah me­mang direncanakan agar UMKM juga menjadi bagian dari usaha pengembangan ekonomi syariah. Namun, tidak hanya itu, opsi lain yang dimiliki oleh pemerintah adalah melalui Lembaga Pembiayaan Dana Bergulir (LPDB) dari Kementerian Koperasi dan UKM.

Pinjaman dari LPDB ini diperuntukkan hanya untuk koperasi dan UKM dengan plafon rata-rata mencapai Rp5 miliar. Selain LPDB, pemerintah juga akan menggerakkan pembiayaan untuk level mikro melalui Unit Layanan Modal Mikro (Ulamm) dan Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera (Mekaar) dari PT Permodalan Nasional Madani atau bantuan modal wirausaha pemula dari Kemenkop dan UKM.

Tidak hanya dari sisi keuangan, Ma’ruf akan mendorong agar para UKM ini bisa mendapatkan sertifikasi halal. Selama ini, proses sertifikasi ini dianggap kurang cepat. Oleh karena itu, prosesnya akan coba disederhanakan agar lebih cepat.

“Untuk proses sertifikasi halal ini, UKM tidak akan dikenakan biaya. Kemudian, prosesnya akan disederhanakan. Saya merasa ini bisa dilakukan karena umumnya proses pembuatan produk di level UMKM tidak terlalu ruwet karena tidak banyak bahan yang dipakai,” ujar Ma’ruf.

Dalam rangka penyederhanaan, jelas Ma’ruf lebih lanjut, proses penetapan sertifikasi akan dibagi agar prosesnya lebih cepat dan bisa saja menggunakan sistem daring (online). Secara bertahap, pemerintah ingin mengembangkan UMKM yang bergerak dibidang ekonomi syariah.

Pengembangan kawasan industri produk halal

Selain itu, untuk menjadikan Indonesia sebagai global hub syariah, pemerintah akan membangun Kawasan Industri Halal (KIH). Kawasan ini bisa berada di dalam maupun di luar Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Sejauh ini, sudah ada 5 kawasan yang mengajukan diri untuk membangun KIH.

Kelima kawasan itu adalah Modern Cikande Industrial Estate, Bintan Inti Industrial Estate, Batamindo Industrial Park, Jakarta Industrial Estate Pulogadung, dan Kawasan Industri Safe N Lock Sidoarjo. Kawasan yang terakhir ini ditujukan untuk zona halal UKM.

“Secara prinsip, sudah jalan. Pengembangan KIH ini sudah masuk ke dalam Perpres dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Oleh karena itu, pengembangan KIH ini harus segera ditindaklanjuti dalam bentuk kebijakan di kementerian terkait dan dilaksanakan,” ungkap Ma’ruf.

Secara paralel, Indonesia juga mengembangkan kemitraan di level internasional dengan mengadakan berbagai acara untuk memasarkan produk halal Indonesia. Setidaknya ada dua agenda besar ekonomi syariah Indonesia pada tahun ini yaitu 7th Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) pada 27–31 Oktober 2020 dan Halal Industry Summit (HIS) pada 1-3 November 2020. Untuk HIS akan mundur ke 2021 karena pandemi global.

“Di HIS, rencananya akan hadir sekitar 70-an negara. Di situ akan ada pembicaraan mengenai industri halal ke depan secara global. Indonesia sendiri akan membuka hubungan dan memasarkan industri halal kita ke berbagai negara, termasuk ke negara yang selama ini tidak menjadi target ekspor utama Indonesia,” ujarnya.

ISEF ke-7 pada tahun ini dan HIS 2021 menjadi penting karena banyak produk halal Indonesia yang sudah baik kualitasnya. Namun, Ma’ruf menginginkan agar Indonesia tidak hanya bisa memenuhi kebutuhan nasionalnya, tetapi juga dapat me­me­nuhi kebutuhan produk halal global.

Selain itu, Halal Industry Summit juga menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk mendorong proses hilirisasi. Sebab, menurut Ma’ruf, ke depan Indonesia seharusnya tidak hanya mengekspor barang mentah, tetapi juga membuat produk jadi yang berkualitas sekaligus memenuhi standar halal. Dengan kata lain, produk dipilih bukan semata karena kehalalannya, tetapi juga karena kualitas dan keunggulannya.

“Sebab, kita ini kaya akan bahan baku dan selama ini kita ekspor saja, mulai dari bahan baku makanan, obat-obatan, hingga kosmetik. Ini menjadi peluang yang besar karena jika kita dapat membuat produk jadi berkualitas dan memenuhi standar halal, maka produk tersebut bisa diminati semua orang termasuk non-Muslim. Sehingga produk halal, baik barang maupun jasa bukan merupakan hal yang eksklusif , tapi menjadi inklusif dan bersifat universal sesuai dengan prinsip Rahmatan lil’ Alamin. Artinya, pasar halal itu dapat menjadi lebih besar lagi,” pungkasnya.

KNEKS Harus Bisa Membangun Ekosistem Ekonomi Syariah

Ma’ruf Amin
Wakil Presiden Republik Indonesia
Ketua Harian KNEKS

Perubahan nama lembaga ini juga melibatkan perubahan struktur serta penambahan anggota. Ini sesuai dengan tugasnya yaitu mengoneksikan, mengoordinasikan, dan menyinergikan lembaga yang terkait.

Untuk manajemen eksekutif, akan disesuaikan dengan strukturnya. Tidak lagi hanya mengurusi keuangan, tetapi juga ada yang mengurus industri halal, industri keuangan syariah, dana sosial umat, kegiatan usaha-usaha syariah dan hal-hal lain yang menunjang pencapaian ke-4 sasaran dari pembentukan lembaga ini.

KNEKS sendiri dipimpin oleh Presiden RI langsung sebagai Ketua dan saya sebagai Wakil Ketua merangkap Ketua Harian. Untuk sekretarisnya dijabat Menteri Keuangan. Kebetulan Menteri Keuangan saat ini juga menjabat sebagai Ketua Umum Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI). Jadi, lebih mudah mengoordinasikan dengan lembaga keuangan. Anggotanya pun bertambah menjadi 11 kementerian, BI, OJK, MUI, Kadin, dan LPS.

Tugas KNEKS lainnya adalah menampung masukan-masukan yang ada dan menyediakan forumnya. Setelah itu, kelembagaan ini juga harus dilengkapi penelitian dan pengembangannya.
Saya kira KNEKS ini harus membangun ekosistemnya juga dan juga bisa menerima berbagai pandangan yang masuk melalui forum yang kita buat, termasuk dari luar kepengurusan. Misalnya, kerja sama dengan IAEI untuk mengembangkan literasi dan risetnya, karena di sana ada banyak akademisi. Kita akan adakan interaksi juga dengan lembaga-lembaga pemangku kepentingan ekonomi syariah lainnya.

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 18 Mei 2020.