Keragaman adalah kekayaan terbesar Indonesia. Dalam bentangan 17 ribu pulau, keunikan masing-masing daerah menjadi potensi yang begitu berlimpah untuk diolah, termasuk dalam hal ekonomi kreatifnya.
Tentu saja, belum semua daerah mengembangkan potensi yang mereka miliki. Dibutuhkan kerja sama antarmasyarakat dan kolaborasi dengan mereka yang memiliki kapasitas yang pas untuk membangkitkan ekonomi kreatif yang sesuai karakter tiap daerah.
Sejak 2016, Badan Ekonomi Kreatif menggulirkan program Inovatif dan Kreatif melalui Kolaborasi Nusantara (Ikkon). Ini adalah program yang menempatkan sekelompok pelaku kreatif pada suatu wilayah di Indonesia untuk mendorong pengembangan potensi ekonomi kreatif lokal. Lewat program ini, masyarakat lokal dan fasilitator dapat saling berbagi, berinteraksi, bereksplorasi, dan berkolaborasi sehingga tiap pihak yang terlibat dapat memperoleh manfaat secara etis (ethical benefit sharing) berkelanjutan.
Untuk memastikan hasilnya optimal, komposisi tim Ikkon disusun dengan matang, mencakup profesi desainer (desainer produk, desainer interior, desainer komunikasi visual, desainer fashion, desainer tekstil, arsitek) dan profesi nondesainer (manajer lapangan, spesialis media, business advisor, antropolog, fotografer, videografer). Mekanismenya, tim akan mengunjungi daerah dalam beberapa termin. Pada waktu-waktu tersebut, mereka melakukan riset, terlibat dalam aktivitas perajin, membuat prototipe, menyempurnakan produk, dan membuat pameran.
Pada 2016, Ikkon menyasar wilayah Brebes (Jawa Tengah), Rembang (Jawa Tengah), Ngada (NTT), Pesawaran (Lampung), dan Sawahlunto (Sumatra Barat). Tahun ini Ikkon dilaksanakan di Banyuwangi (Jawa Timur), Bojonegoro (Jawa Timur), Banjarmasin (Kalimantan Selatan), Belu (NTT), dan Toraja Utara (Sulawesi Selatan). Program Ikkon 2017 dilaksanakan pada Juni–November 2017.
Direktur Edukasi pada Deputi Riset, Edukasi, dan Pengembangan Bekraf Poppy Savitri menjelaskan, daerah-daerah yang dipilih adalah yang potensi ekonomi kreatifnya besar, tetapi belum tergarap dengan baik. “Bekraf juga melihat kemauan dan kesiapan pemerintah daerah tersebut untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kreatifnya,” tambah Poppy, Rabu (20/9).
Mentor dan fasilitator tim Bojonegoro Yanna Diah Kusumawati bercerita, potensi pariwisata di Bojonegoro sangat besar, tetapi belum seluruhnya terbangun. Salah satu tugas tim Ikkon adalah memunculkan kebanggaan masyarakat akan daerahnya sendiri. Tim membuat buku tentang profil sosok warga Bojonegoro dengan beragam keahlian dan latar belakang.
“Kami juga memikirkan diversifikasi produk kerajinan. Selama ini mereka sudah punya gerabah Malo, batik, atau komoditas akar tunggak jati. Kami mendorong para perajin di Bojonegoro untuk bisa berinovasi tanpa menghilangkan akar identitas mereka,” tutur Yanna, Kamis (21/9).
Saat ini, tim Bojonegoro sedang ada pada tahap membuat prototipe. Pameran akhir akan dilaksanakan Oktober.
Berkelanjutan
Ikkon bisa dikatakan berhasil apabila program ini menunjukkan manfaat yang berkesinambungan. Dengan diselenggarakannya pameran pada akhir Ikkon bukan berarti pekerjaan telah selesai. Masyarakat dampingan justru baru saja melalui titik berangkat untuk lebih berkembang.
Ayip Budiman, mentor dan fasilitator Ikkon Ngada pada 2016, bercerita tentang kolaborasi tim Ikkon dan masyarakat Ngada. Tim Ikkon Ngada berfokus pada tiga kampung adat, yaitu Bela, Bena, dan Tololela. Ketika meriset daerah ini, tim menemukan Ngada memiliki situs megalitikum yang tidak dipunyai daerah lain. Sepakat bahwa kekayaan ini harus dirawat, tim Ikkon menjadikan ekowisata sebagai pintu masuk untuk bergerak menuju langkah berikutnya, pengelolaan sumber daya dan pengembangan produk.
“Pekerjaan kami terbagi atas beberapa tahap. Pertama, mengarsipkan kekayaan lokal. Selama ini budaya mereka budaya tutur sehingga itu tidak terdokumentasikan. Setelah itu, kami memunculkan ekowisata dengan konsep experience journey. Kami mendesain layanan apa saja yang bisa diberikan masyarakat. Selanjutnya, pengembangan produk berdasarkan potensi dan sumber daya lokal, ” ujar Ayip, Selasa (19/9).
Desain produk diciptakan dengan memadukan nilai lokal dengan desain kontemporer. Produk-produk baru itu misalnya coffee set dari bambu, alat tenun mini, ragam suvenir, sarung botol air minum dari lontar, keranjang mage sebagai tempat penyimpanan di homestay, sabun alami, baju siap pakai dengan kreasi dari tenun, dan kartu pos. Yang menarik, produk-produk ini dikembangkan menjadi bisnis berkelanjutan di bawah merek Wake Wadho.
“Wake wadho diambil dari bahasa lokal yang artinya membangunkan nilai yang terlupakan. Dampak dari kolaborasi dengan komunitas di Ngada lebih dari keuntungan ekonomi, tetapi juga bangkitnya semangat dan kebanggaan mereka sebagai orang Ngada,” kata Ayip.
Sampai hari ini, atas kesepakatan tim bersama, mereka tetap mendampingi masyarakat Ngada meski program Ikkon telah berakhir. Pendampingan ini kelak mengarah pada kemandirian komunitas.
Tim Ikkon Ngada juga berinisiatif membawa proses dan pengalaman yang bernilai ini ke forum internasional. Pada Desember 2016 tim Ikkon Ngada berpartisipasi dalam Chiang Mai Design Week di Thailand untuk menunjukkan proses dan produk hasil Ikkon. Tim ini juga turut dalam Macam-Macam ASEAN pada George Town Festival di Penang, Malaysia pada Juli 2017.
“Ikkon adalah inisiasi program yang cemerlang untuk Indonesia karena sebelumnya program-program semacam ini parsial dan berjangka pendek. Bekraf ingin mengembangkan 16 subsektor yang menjadi daya ungkit untuk sektor-sektor lain. Dan ini sangat tepat. Program ini patut untuk terus dijalankan dan disempurnakan,” kata Ayip. [NOV]
Melambungkan Identitas Kriya Nusantara
Subsektor kriya punya kontribusi besar dalam perekonomian Indonesia. Berdasarkan laporan Data Statistik dan Hasil Survei Ekonomi Kreatif 2017 dari BPS dan Bekraf, subsektor kriya masuk dalam tiga besar kontributor utama PDB ekonomi kreatif, sebesar 15,7 persen. Produk kriya juga menyumbang 37 persen ekspor ekonomi kreatif, nomor dua terbesar setelah fashion. Upaya memasarkan kriya pun terus digencarkan.
Kehadiran Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) menjadi signifikan dalam pemasaran kriya. Salah satu langkahnya, memfasilitasi keikutsertaan sejumlah perajin Indonesia di pameran internasional, antara lain Ambiente 2017 di Jerman (Februari 2017), Salone del Mobile 2017 di Milan (April 2017), dan New York Now 2017 (Agustus 2017).
Ambiente adalah pameran home decor prestisius di Eropa. Dalam pameran ini, Indonesia mengangkat tema “Handmade Contemporary Indonesian Design”. Ada enam brand yang mewakili Indonesia, yaitu Magno, Studio Hiji, Alvin T, Lighting for Living, Kandura Studio. dan Nuanza Ceramics. Kehadiran Indonesia di sini menjadi pernyataan, desain handmade Indonesia bisa menampilkan identitas budaya yang kaya dalam rancangan yang kontemporer dan relevan. Sementara itu, Salone del Mobile menjadi ajang untuk mencari rujukan tren desain dan kriya di dunia.
Alvin Tjitrowirjo, pemilik brand Alvin T, bercerita produk-produk Indonesia mendapatkan tanggapan positif di Ambiente dan Salone del Mobile 2017. “Booth Indonesia tahun ini tampil lebih modern. Desain dan tata pencahayaannya ditata lebih baik,” katanya. Lewat karya-karya yang dibawa, pengunjung bisa membaca bahwa perkembangan kriya di Indonesia sudah jauh di depan perkiraan mereka.
Bagi peserta pameran seperti Alvin, ajang-ajang internasional seperti itu membuka peluang untuk mendapatkan pasar baru. Selain itu, mereka bisa belajar berkomunikasi dan mempersiapkan materi pameran dengan baik.
Di Ambiente, misalnya, perajin bisa bertemu langsung dengan calon konsumennya, yang kebanyakan adalah wholeseller dan retailler. Untuk Ambiente 2017, ada sekitar 4.600 ekshibitor dari 81 negara dengan jumlah pengunjung mencapai 136.000 orang dari 143 negara.
Pada Ambiente tahun ini, Indonesia cukup baik dalam memilih tempat. Booth Indonesia tidak lagi berdekatan dengan peserta yang menampilkan produk original equipment manufacturer (OEM), seperti tahun-tahun sebelumnya. Ini membuat positioning merek Indonesia seakan naik tingkat. Pelaku usaha tidak dianggap sebagai “tukang jahit” saja, tetapi juga jadi kreator. Untuk hal ini, Alvin mengapresiasi kerja keras Bekraf itu.
New York Now (NY Now) 2017 menjadi ajang penting yang tak boleh dilewatkan. Pameran ini mengkhususkan diri dalam menampilkan produk-produk dari subsektor kriya yang masuk ke dalam kategori gift, home decor, dan furnitur. Umumnya, barang-barang yang dipamerkan di NY Now memiliki desain yang modern dan kontemporer. Dengan dukungan Bekraf, delapan merek produk ekonomi kreatif hadir di pameran ini, yaitu Braow Goods, Djalin, Indo Risakti, Jamooga, Jenggala, Kayou, Maharanicraft, dan Sepiring Indonesia. Bekraf memfasilitasi sewa lahan dan konstruksi booth, promosi dan publikasi produk, kargo, dan penyediaan business representative untuk membantu proses business dealing dengan calon buyers potensial.
Sepiring Indonesia mengapresiasi usaha keras Bekraf dalam mendukung pengembangan kriya Indonesia. Salah satu founder-nya, Eridanie Zulviana atau akrab disapa Erin mengatakan, pemerintah kali ini sudah memberikan dukungan yang besar untuk memfasilitasi perajin kriya. “Saya sangat mengapresiasi usaha pemerintah, dalam hal ini Bekraf, karena sudah merangkul perajin kriya Indonesia dan memberikan akses untuk berpameran di luar negeri,” ujarnya.
Masih banyak PR
Menurut Erin, keikutsertaan pelaku industri kriya di NY Now seharusnya memperkuat kepercayaan diri perajin Indonesia. Sebab, Indonesia sudah dikenal dengan produk kriya yang bagus, baik dari segi bahan dan pembuatannya.
Baik Alvin atau Erin mengaku, berpameran di luar negeri mengajarkan banyak hal. Alvin menyebut, berpameran di luar negeri tidak hanya butuh menyiapkan materi pameran. Sebelum berangkat, peserta pun harus aktif mencari calon buyer dan berpromosi melalui banyak medium. Begitu juga dengan Erin. Dia mengaku bisa secara langsung belajar tentang tren di pasar asing.
Deputi bidang Pemasaran Bekraf Joshua Simandjuntak mengatakan, Bekraf tidak memberikan spesifikasi jenis kriya untuk bisa mendapatkan dukungan berpameran ke luar negeri. Mulai dari kriya tenun, metal, kayu, atau anyam bisa mendapatkan fasilitas itu.
“Kami juga tidak melihat cakupan bisnisnya, tapi lebih kepada kemampuan mereka mampu melayani pasar. Kalau produk mereka bagus dan menarik, tetapi tak mampu memenuhi permintaan pasar, hal itu jadi percuma. Sebab, kemampuan inilah yang memebntuk nilai ekonomi sebuah produk kriya,” ujarnya.
Kehadiran di Indonesia di ajang seperti Ambiente, NY Now, atau Salone del Mobile memang punya signifikansi tinggi. Namun, pekerjaan rumahnya sekarang, pemerintah harus mulai meningkatkan national branding, yang artinya meningkatkan citra dari negara Indonesia. Dalam pameran pun, strategi yang akan ditempuh mesti dipikirkan.
“Pemerintah harus mulai memilih pameran internasional yang berpengaruh. Misalnya Ambiente untuk kesempatan peningkatan penjualan dan branding. Sementara itu, Salone del Mobile lebih kepada eksposure dan branding. Selain itu, Indonesia harus konsisten hadir setiap tahunnya agar makin dikenal,” ujar Alvin.
Kriya Indonesia saat ini masih berada di bawah bayangan produk massal dari asing. Sebut saja dari China dan beberapa negara di Eropa. Ini karena produk kriya kita belum bisa diproduksi massal. Belum lagi, sistem di pabrik belum efisien. Vietnam sudah berhasil menemukan sistem yang efisien untuk fabrikasi. Hasilnya, nilai ekspornya melonjak 4 kali lipat melebihi Indonesia.
Alvin menyebut, biaya produksi kriya Indonesia masih terbilang tinggi. Hal ini membuat produk kita menjadi mahal. Pada akhirnya, orisinalitas dan kualitas dikorbankan untuk mengejar pasar. “Mungkin kolaborasi antara perajin dan desainer grafis atau fashion bisa dilakukan agar produknya lebih menarik dan terserap pasar,” ujarnya.
Selain itu, berbagai insentif seharusnya mulai diberikan. Thailand, misalnya, yang mendukung pelaku kriya dengan memberikan copyright protection, tax incentive, dan akses ke pameran internasional lebih banyak. Alvin yakin, kriya Indonesia akan makin berkembang jika ada kebijakan semacam itu. [VTO]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 23 September 2017