“Laki-laki dan perempuan seperti dua sayap dari seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya. Dan bila patah satu dari dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.”

Itu adalah nukilan kata-kata Soekarno. Maknanya bisa jadi jamak. Namun, bila disesap untuk menyalakan gairah bahwa setiap anak bangsa mesti berkarya, perempuan dan laki-laki yang berdiri di Tanah Air ini boleh membagikan energinya untuk membuat negeri ini kian wangi di mancanegara.

Tak ada negara di dunia yang dianugerahi alam seperti Indonesia. Di sini, tersebar 17 ribu pulau dari Sabang sampai Merauke, ditingkahi 300 suku etnik yang kaya budaya dan istiadat. Ditambah letak Indonesia di garis khatulistiwa dan persimpangan laut antarsamudera, Indonesia selalu memikat mata dunia.

Kini, di tengah globalisasi yang membawa perubahan dan kompetisi, bangsa ini patut berbangga lewat karya serta kreativitas “anak-anaknya” yang mendunia. Langkah mereka di panggung dunia akhirnya mengharumkan nama negeri.

Adalah Peggy Hartanto dan Toton Januar yang menyisipkan nama Indonesia di jajaran papan atas industri fashion dunia. Keduanya masih muda, keduanya perancang busana. Keduanya pula telah mengoleksi beragam apresiasi di dalam negeri maupun mancanegara. Mereka menyematkan tema-tema atau kekhasan Indonesia pada busana rancangannya, meski tidak secara harafiah.

Ciri khas rancangan Peggy ada pada desain yang bersih dan secara konstan menghadirkan siluet inovatif. Sementara itu, Toton gemar bereksperimen dengan mengolah kekayaan Indonesia ke dalam karya yang lebih kontemporer.

Kini, Peggy dan Toton sama-sama sibuk mempersiapkan koleksi Spring/Summer 2018 untuk dipamerkan di Paris akhir bulan ini. Keduanya, bersama mitra yang lain, juga mendirikan Ara, sebuah butik multilabel di Jakarta yang bertujuan lebih “merajakan” posisi desainer-desainer lokal di rumah sendiri.

Menurut Peggy, industri mode Indonesia saat ini sedang bertumbuh pesat. Banyak bakat baru bermunculan dan mengambil bagian dalam perkembangan ekonomi dalam bidang mode Indonesia, dengan peran-perannya masing-masing.

“Indonesia memiliki bakat yang tak kalah dengan pasar Internasional, dari pengusaha garmen, perajin, fotografer, model, stylist, bloger, dan sebagainya,” ujarnya.

Toton juga sependapat. “Saya melihat semakin banyak desainer dan brand busana siap pakai lokal dengan kekhasan masing-masing, yang merambah pasar lokal dan internasional.”

Toton menambahkan, meski tidak semua brand yang bermunculan bisa berhasil mewujudkan visi, baik dari segi kreativitas maupun komersial, tingginya antusiasme masyarakat terhadap industri mode Indonesia memberi dampak yang sangat positif bagi kemajuan mode Indonesia.

Berdampak positif

Memantapkan langkah ke pasar internasional tidak semudah menjentikkan kelingking. Butuh perasan keringat yang lebih banyak, tenaga ekstra untuk bekerja, konsistensi, dan semangat untuk mempelajari ceruk pasar fashion dunia yang lebih ketat dan pikuk.

Diakui Peggy, apresiasi mancanegara amat membantu awal kariernya dalam dunia mode. Awal tahun ini, misalnya, ia diundang sebagai desainer tamu program Trade Victoria pada Virgin Australia Melbourne Fashion Festival 2017. Dari retail visit di sana, Peggy bersama tim banyak belajar mengenai pasar di Australia.

Sementara itu, bagi Toton, pengalamannya pertama kali memperkenalkan label Toton ke pasar global menghasilkan sambutan positif yang mampu mendongkrak semangat dan ide-idenya untuk terus berkarya menuju jenjang lebih baik lagi. Debut koleksinya di ajang trade show dan presentasi di Blueprint Trade Show, Singapura.

Pengalaman lain yang memberi dampak positif dalam perkembangan karya diakui Toton adalah ketika terpilih mewakili Indonesia dan memenangkan International Woolmark Prize (IWP) Regional Asia 2016-17. Dia menjadi salah satu finalis dari lima regional di IWP Global Final yang berlangsung di Paris.

Toton juga menuturkan bahwa dia amat terkesan dengan partisipasinya dalam Pop Up Shop di Fenwick Bond Street London pada 2016. Gelaran itu merupakan hasil prakarsa Angela Quaintrell, mentor di Indonesia Fashion Forward (program inkubasi desainer muda oleh Jakarta Fashion Week).

“Program tersebut sangat berdampak positif bagi exposure desainer-desainer Indonesia sebagai kekuatan kreatif. Terlebih ketika mendapat dukungan dari British Council, dan pembukaannya dihadiri Presiden Joko Widodo dan Triawan Munaf dari Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Tapi, yang terpenting adalah kesempatan menjajal pasar baru dan mendapat feedback langsung atas karya kami, baik lewat pendapat khalayak maupun penjualan,” ujar Toton.

Saat ini, label Peggy Hartanto dapat ditemukan para penikmat mode di Mesir, Jepang, Kuwait, Lebanon, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Inggris, dan AS. Demikian pula dengan karya Toton yang telah menapaki pasar mode Singapura, Tokyo, Kuwait, Dubai, Riyadh, Hongkong, dan Shanghai.

Peggy mengapresiasi dukungan penuh dari pemerintah. “Ya, pemerintah mendukung penuh usaha ini. Melalui komunikasi dengan Bekraf, kami melakukan sharing dan konsultasi mengenai pengembangan label Peggy Hartanto di pasar internasional,” sebutnya.

Kunci Peggy memperluas pasar internasional adalah memperkuat branding label, terus memperkenalkannya ke orang baru dan pasar baru, berinovasi dengan desain baru, serta secara konsisten menjaga dan meningkatkan kualitas produk.

Sepaham dengan Peggy, Toton menjelaskan bahwa keistimewaan label dan produk berkualitas, menjadi strategi tepat untuk mencuri perhatian pers dan pembeli mancanegara. Dibutuhkan pula kepekaan terhadap pasar.

“Dengan birokrasi yang dipermudah dan disederhanakan, mengurus surat-surat yang diperlukan untuk proses pengiriman barang ke luar negeri menjadi lebih mudah. Dukungan pemerintah melalui program Indonesia Fashion Forward dari Jakarta Fashion Week turut berarti bagi pengembangan usaha mode yang saya rintis,” tukas Toton.

Bagi anak muda yang ingin mencicipi ingar-bingar dunia, Peggy menitipkan pesan agar mereka selalu mengenali diri sendiri, lalu temukan apa yang dicintai dan ingin dilakukan. Jangan lupa, untuk pulang kembali ke Nusantara, tempat pertama kita semua menatap dunia. [AJG/TYS]

Foto-foto dokumen Peggy Hartanto, Toton

Indonesia Trend Forecasting

Sajikan Panduan Ragam Desain Masa Depan

Tren jelas sesuatu yang dinamis. Geraknya cepat dan polanya dapat ditaksir. Membaca pola ini adalah kunci untuk menciptakan produk yang selaras zaman, yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen.

Awal 2017 lalu, Badan Ekonomi Kreatif bekerja sama dengan kelompok Indonesia Trend Forecasting (ITF) meluncurkan buku Greyzone, Trend Forecasting 2017-2018. Hasil riset ini menjadi panduan dan inspirasi bagi para desainer untuk menilik ragam desain yang akan diminati dalam satu atau dua tahun mendatang.

Decoding atau terjemahan desain untuk produk siap pakai dalam Greyzone mencakup beberapa bidang, yaitu fashion (baik yang konvensional maupun fashion Muslim), desain tekstil, desain produk, dan interior. Riset ini memprediksi empat tema besar yang kelak akan mencuat dalam dunia desain mendatang: archean, vigilant, cryptic, dan digitarian.

Seperti penjelasan pakar tren Isti Dhaniswari dalam buku ini, gaya archean diilhami periode awal terjadinya pembentukan Bumi dengan berbagai material tanah dan bebatuan yang kaya. Gaya ini mewakili pemikiran tentang esensi kehidupan. Warna tema ini mencakup warna natural bebatuan, cokelat tanah dan lempung, serta warna-warni cemerlang batuan mineral. Vigilant memadukan kearifan lokal dengan teknologi yang baru. Desainnya merupakan hasil perancangan dan perhitungan yang cermat, atau disebut juga estetika terhitung.

Kekhawatiran bahwa Bumi kian rusak akibat eksploitasi memunculkan gaya cryptic. Perwujudan imajinasi liar untuk membangun “dunia baru”. Keseluruhan gaya ini berkesan beyond nature. Sementara itu, gaya digitarian disarikan dari pandangan generasi Z yang tidak terpisahkan dari internet. Menyerap apa yang mereka amati dari internet, generasi Z menerjemahkan kembali gambar-gambar nostalgia melalui kacamata milenium ketiga. Gaya ini merepresentasikan keberanian untuk menerobos, bahkan merombak pakem dan tatanan yang dianut oleh generasi sebelumnya.

Pakar tren dan desainer Dina Midiani mengatakan, prediksi tren bukan semata-mata tentang membaca perubahan dalam elemen desain, seperti warna, bentuk, tekstur, dan volume. “Lebih dari itu, ini tentang menangkap perubahan pola pikir di dalam masyarakat,” tutur Dina, Rabu (13/9).

Kolektif

Direktur Riset, Edukasi, dan Pengembangan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Boy Berawi mengatakan, prediksi tren ini bisa menjadi acuan bagi para desainer untuk membuat inovasi produk yang mempunyai landasan dan keterkaitan dengan kecenderungan pasar. Produk yang dibuat berdasarkan pembacaan dan riset akan pasar tentu akan lebih mudah diterima konsumen.

Trend forecasting juga memberikan peluang besar bagi Indonesia untuk menggunakan ragam budaya bangsa sebagai sumber inspirasi dari tren masa kini yang mendunia, misalnya dengan mengangkat salah satu budaya pada tema dan masa tertentu,” kata Boy, Kamis (14/9).

Merancang produk yang sesuai dengan kebutuhan dan selera konsumen akan meningkatkan transaksi. Namun, tentu saja tren tidak serta-merta bisa langsung dibentuk. “Tren itu kesepakatan. Maka, harus dibangun strategi. Kita butuh sistem yang menyokong perubahan tren ini. Harus dari hulu ke hilir. Oleh karena itu, kami tidak hanya menyentuh pakaian siap pakai di sisi hilir, tetapi juga produksi tekstil di bagian hulu. Ini adalah pekerjaan kolektif, semua harus saling mendukung,” kata Dina.

Untuk menyebarluaskan prediksi tren ini, ITF melakukan sosialisasi dalam berbagai bentuk, misalnya menampilkan trend ambience dan menggelar seminar trend forecasting di ajang-ajang fashion besar seperti Muslim Festival (Muffest), CASA, International Textile and Custom Congres (ITCC), atau Gelar Batik Nusantara. ITF juga menyelenggarakan pelatihan secara langsung untuk para desainer dan pelaku ekonomi kreatif. Selain itu, Bekraf membantu dalam penerbitan dan pendistribusian buku Greyzone, Trend Forecasting 2017-2018 ke berbagai pihak, termasuk ke para pendidik sehingga dapat dipakai sebagai bahan pengajaran terhadap siswa-siswa desain. [NOV]

Foto dokumen Indonesia Trend Forecasting

Indonesia di Landas Peraga Dunia

Dalam industri fashion global, Indonesia menjadi pemain yang kian diperhitungkan. Kini kita terus menyiapkan diri agar kelak mendapatkan perhatian utama di landas peraga internasional.

Sejumlah langkah strategis telah ditempuh untuk menempatkan Indonesia pada posisi penting dalam ranah fashion. Salah satunya, ambil bagian dalam ajang Arab Fashion Week (AFW) 2017 di Dubai Mei lalu. Setelah berhasil memikat publik AFW pada 2016, dengan didukung oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) tahun ini sejumlah desainer Indonesia kembali hadir membawa koleksi gaun malam.

Koleksi gaun malam mendapat atensi besar karena sebetulnya berpesta menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat Timur Tengah. Di sinilah para perempuan berkesempatan menunjukkan kecintaannya pada dunia mode. Bukan melulu berupa gamis dan tertutup, perempuan-perempuan Timur Tengah justru menyukai busana yang tampak glamor dan elegan.

Tiga desainer Indonesia, yaitu Mel Ahyar, Khanaan Shamlan, dan Saptodjojokartiko membawa karya-karya mereka dalam perhelatan besar AFW. Lukisan karya perupa Jeihan Sukmantoro dan ilustrasi Diella Maharani diolah oleh Mel Ahyar menjadi busana dengan penonjolan karya lukis dan grafis yang disebut Mel art couture. Saptodjojokartiko meleburkan sekat-sekat gaya dengan menggabungkan ciri mode pada berbagai zaman. Ia menginterpretasikan ulang keindahan dan kecantikan.

Sementara itu, diilhami keelokan nuansa merah muda dalam arsitektur India (Jaipur), Khanaan memunculkan koleksi dari lini ready couture dengan tema Lumiere. Gaun malam dengan potongan simpel yang elegan dituangkan pada kain dengan desain batik kontemporer dalam warna abu, blush, nude, dan hitam.

“Respons yang sangat baik pada AFW 2017 didapat dari para penikmat fashion yang hadir. Hal ini dibuktikan dari antusiasme para tamu yang datang dalam show, di antaranya royal family Dubai, bloger, pecinta mode, buyers, dan lainnya. Di samping transaksi penjualan langsung pada saat acara, ada beberapa buyer yang akan menjalin kerja sama,” tutur Khanaan lewat surat elektroniknya, Jumat (15/9).

Diamini Deputi Pemasaran Bekraf Joshua Simandjuntak, kehadiran Indonesia di AFW signifikan untuk menarik minat pelaku fashion asing untuk bekerja sama dengan desainer Indonesia. Efek berikutnya, merek desainer fashion Indonesia bisa hadir di Timur Tengah.

“Sebagai contoh, Khanaan berhasil menggaet rekanan untuk bersama membuka butik dengan merek Khanaan di beberapa lokasi di Timur Tengah,” ujar Joshua, Jumat (15/9).

Pusat “fashion”

Langkah mengikuti ajang-ajang fashion internasional bergengsi juga menjadi salah satu cara untuk mencapai cita-cita Indonesia, menjadi kiblat fashion muslim dunia pada 2025. Pakar tren Dina Midiani mengatakan, untuk saat ini modest fashion memang yang paling potensial diangkat dari Indonesia karena busana modest dari Indonesia sudah mendapatkan pengakuan di luar. Namun, pekerjaan rumah untuk mewujudkan hal ini masih banyak.

Pencanangan diri sebagai kiblat fashion berarti juga menerima konsekuensi untuk memikul tanggung jawab besar. Diperlukan kerja bersama antara pemerintah dan pelaku industri fashion. Para desainer juga mesti memiliki satu suara untuk bergerak ke tujuan yang sama.

“Strategi sudah kita mulai dengan menciptakan awareness yang kemudian disusul dengan program yang akan bertujuan menciptakan permintaan. Sembari itu berjalan, Bekraf melakukan koordinasi antarlembaga untuk membersiapkan ekosistem hilirnya, termasuk fasilitas kelas dunia tersebut,” kata Joshua.

Dina menambahkan, roadmap untuk mencapai cita-cita itu harus disusun dengan matang. Beberapa hal juga mesti dipikirkan dan direalisasikan, seperti penyusunan database pelaku industri, penyelenggaraan ajang fashion untuk segmen business to business, lokasi untuk pusat busana, dan pusat informasi.

Langkah yang tidak gampang memang. Namun, jika serius digarap, bukan mustahil mata dunia fashion akan memusat ke negara ini dalam dua atau tiga dekade ke depan. [NOV]

Foto dokumen Khanaan.

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 16 September 2017