Sempat dianggap sebagai permainan yang tidak berguna, sekarang gim menjadi fokus pemerintah untuk meningkatkan perekonomian.

Lembaga riset Newzoo, per April 2017 melansir bahwa Indonesia memiliki pendapatan hampir 880 juta dollar AS dari industri gim. Jumlah ini membuat Indonesia menempati posisi ke-16 dari 100 negara yang berkontribusi besar untuk pendapatan industri gim dunia. Ini jadi tren positif karena pada 2015 Indonesia hanya berada di posisi ke-24.

Tren tersebut diamini oleh CEO Dicoding Indonesia dan Ketua Asosiasi Game Indonesia Narenda Wicaksono melalui surel, Jumat (29/9). Menurut Narendra, pertumbuhan pesat ini akan terus terjadi sampai 2025. Dalam 5 tahun terakhir saja, industri gim Indonesia selalu tumbuh di atas 30 persen per tahun.

“Pengembang lokal telah tumbuh dengan cepat saat ini. Menurut data yang kami miliki, sekarang ribuan aplikasi telah berhasil dibuat dan dirilis oleh pengembang dari Indonesia,” ujar Narendra.

Beberapa produk gim Indonesia bahkan direspons positif di luar negeri. Salah satu yang sukses menembus pasar konsol adalah Fallen Legion, besutan pengembang Mintsphere Studio.

Fallen Legion menjadi gim pertama dari Indonesia yang dirilis untuk konsol Playstation. Gim ini telah dirilis 18 Juli 2017, dan saat ini hanya untuk PS4 dan PS Vita region 1 (AS) dan region 2 (Eropa). Mintsphere membutuhkan waktu tiga tahun untuk merampungkan gim ini.

Selain Fallen Legion, gim Legrand Legacy besutan Semisoft juga menuai respons positif dalam situs Kickstarter. Semisoft mendapatkan pendanaan sebesar 44.628 poundsterling, lebih besar dari target yang sebesar 40 ribu poundsterling dan 1.001 backers.

Kendala

Foto – foto dokumen mintsphere dan semisoft

Di balik torehan kesuksesan tersebut, tetap ada tantangan yang mesti dihadapi. Art Director Semisoft AJ Jonathan melihat kendala utamanya adalah umur dari industri itu sendiri. Saat ini talent senior yang bisa berbagi pengetahuan dan pengalaman masih sangat jarang.

Hal ini disepakati oleh Narenda. Menurut Narendra, sumber daya manusia jadi kendala utama. Salah satu penyebabnya, belum ada perusahaan gim besar yang “exit”. Dalam ekosistem teknologi, hal ini penting karena para SDM di perusahaan yang “exit” tersebut biasanya membawa knowledge dan know how yang didapatkan di perusahaan lama.

Mudah dipahami kalau di balik pendapatan besar dari industri gim di Indonesia, pengembang lokal hanya mampu merebut pasar tidak sampai 2 persen. Hal ini dikatakan oleh Deputi Infrastruktur Badan Ekonomi Kreatif Hari Sungkari saat ditemui di Jakarta, Kamis (28/10).

“Berarti pekerjaan rumahnya sekarang adalah meningkatkan pangsa pasar. Kalau masalah SDM, memperbanyak institusi pendidikan menjadi cara paling tepat saat ini,” ujar Hari

Selain masalah SDM, faktor permodalan dan promosi juga masih menjadi batu sandungan. Dalam industri gim, biaya promosi tidaklah murah, sementara itu pemodal besar belum banyak tertarik. Director Mintsphere Wilson Tjandra mengatakan, pengembang gim berharap bisa mendapatkan seed funding atau investasi per proyek. Namun, jarang sekali ada investor yang tertarik ke project base. Akhirnya, pameran untuk memperkenalkan gim mereka menjadi cara.

Oleh karena itu, pemerintah tinggal memilih opsi mana yang ingin dipilih dalam hal mendukung soal permodalan dan investasi. Ada permodalan dalam bentuk ventura kapital, bantuan insentif pemerintah, dan crowdfunding. Semua opsi itu sudah ada contoh suksesnya.

“Namun, yang harus dicermati, tidak semua pengembang membutuhkan pendanaan eksternal. Benang merah ke pemerintah adalah jangan sampai membuat regulasi yang menghambat modal masuk. Itu saja sudah cukup,” ujar Narenda.

Akses ke pasar

Narenda juga mengapresiasi kerja pemerintah melalui Bekraf untuk serius mendukung subsektor aplikasi dan pengembangan gim. Salah satunya dengan mengajak pengembang gim berpameran ke luar negeri. Dirinya melihat kehadiran di event global sangat perlu, karena setiap dari situlah bisnis bisa berkembang. Kecocokan profil peserta pun harus disesuaikan dengan profil event.

Bekraf sejauh ini memang mulai konsisten dan serius mengikuti event di bawah bendera booth bernama Archipelageek. Tahun ini, Bekraf sudah mengajak beberapa pengembang hadir di event prestisius internasional, antara lain Tokyo Game Show 2017 di Jepang, Gamescom 2017 di Jerman, serta CeBit 2017 di Jerman dan Sydney. Untuk di dalam negeri, Archipelageek dihadirkan di PopCon Asia 2017. “Bekraf sekarang konsisten untuk membantu membuka akses kepada pasar dan investor melalui keikutsertaan di berbagai event internasional,” ujar Hari.

Oleh karena itu, Mintsphere berterima kasih sudah diajak oleh Bekraf ke berbagai acara, termasuk PopCon Asia. Tahun ini, Fallen Legion mendapatkan kesempatan untuk masuk ke Archipelageek yang dikoordinasikan oleh AGI.

“Keikutsertaan Fallen Legion dalam Archipelageek sangat bermanfaat. Kami dapat memberikan dampak dan informasi positif ke masyarakat bahwa industri gim di Indonesia bukanlah industri yang bisa dipandang sebelah mata. Banyak gim buatan lokal yang sudah menembus pasar internasional dan memenangkan kompetisi kompetisi internasional,” ujar Wilson.

Sementara itu, Jonathan merasa banyak melihat dampak positif perkembangan gim Legrand Legacy di Archipelageek. “Kami juga bisa melihat secara langsung feedback dari gamer yang nantinya akan bisa kami pertimbangkan untuk pengembangan ke depannya,” pungkas Jonathan. [VTO/INO]

Inkubator Talenta Pengembang Lokal

Foto dokumen Bekraf

Secara garis besar, ada tiga tantangan bagi para pelaku startup digital. Pertama, talent acquisition (50 persen), permodalan (36,4 persen), dan regulasi (13,60 persen). Hal tersebut sebagaimana dikatakan Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Sungkari saat ditemui di kantor Bekraf di Jakarta, Kamis (29/9).

Menurut Hari, ada sebuah gap atau kesenjangan antara kompetensi lulusan dari universitas dan kebutuhan industri digital saat ini. Ia menyebut, kebanyakan lulusan di bidang digital baru menjadi sebatas programmer, belum menjadi product developer.

“Oleh karena itu, Bekraf mencoba mengisi kesenjangan itu dengan berbagai program, salah satunya Bekraf Developer Day (BDD). Apalagi dalam dunia gim, yang membutuhkan talent yang lebih matang. Sebab, gim itu lebih rumit, dari pembuatan, promosi, hingga algoritmanya, dibandingkan membuat aplikasi,” kata Hari.

Tahun ini, BDD kembali diselenggarakan di berbagai kota. Manado, Solo, Bogor, Palembang, Bali, Surabaya, dan Bandung menjadi kota tempat perhelatan acara yang diadakan oleh Bekraf bersama Dicoding Indonesia. Kota-kota tersebut dipilih karena berdasarkan survei kebutuhan digital sudah memiliki talenta dan komunitas yang kuat dan terus tumbuh.

Dalam BDD, para peserta tidak hanya mendapatkan seminar, tetapi juga pendampingan dan sharing knowledge dari para mentor. Topiknya pun disesuaikan dengan kebutuhan talent di setiap kota. Namun, topik tentang gim dan situs web selalu ada. Rata-rata selama sehari penuh, ada 50 pembicara yang hadir.

“BDD dihadirkan untuk mengisi kekosongan antara lulusan universitas dengan industri. Oleh karena itu, di sini, kami juga mengajak pihak dari industri, seperti Microsoft, IBM, Google, atau Samsung untuk ikut serta dalam acara ini,” ujar Hari.

Menjadi wirausaha

Bekraf tidak hanya fokus untuk mendukung dalam membuka pasar dan memberikan pelatihan teknis. Hari mengatakan, para programmer harus naik kelas menjadi pengusaha. Namun, ketidaktahuan soal bisnis itulah yang kerap jadi penghalang.

Bekup pun dihadirkan untuk mewujudkan mimpi para programmer menjadi wirausaha. Bekup menyatukan orang-orang yang punya latar belakang berbeda dalam satu wadah, yaitu berlatar belakang teknologi atau programmer, keuangan atau pemasaran, dan desain grafis. Mereka kemudian dipertemukan dan berkolaborasi untuk menciptakan sebuah produk

Bekup tahun ini diselenggarakan serentak pada Juli 2017 di 15 kota dengan total 3.000 peserta dan 93 mentor. Namun, Bekraf berharap dari Bekup ini dapat lahir sebuah produk yang bisa menjadi solusi dari permasalahan yang sekarang dihadapi rakyat, misalnya sampah dan pertanian.

“Melalui internet of things, seharusnya semuanya itu mungkin dilakukan. Termasuk bidang gim. Di beberapa perusahaan asing, gim sudah dilakukan untuk bidang sumber daya manusia. Jadi, gim tidak lagi jadi alat hiburan semata,” ungkap Hari.

Di Bekup, para calon wirausaha ini mulai mencari masalah, yang lantas dibuatkan solusi. Selanjutnya, dibuat dalam skala minimum valueable product dan diuji. Jika sudah siap, baru dites untuk market fit. Tahap terakhir, baru cari investor.

“Di sini, para peserta juga diajarkan untuk mau berkompromi dengan investor. Selain itu, karakter founder juga harus dibangun. Sebab, investor tidak hanya melihat produk, tetapi juga karakter founder. Ini yang kerap tidak disadari oleh para peserta dan calon wirausaha,” ujar Hari. [VTO]

Upaya Menemukan Titik Temu

Permodalan selalu jadi masalah klasik bagi pelaku ekonomi kreatif, tak terkecuali untuk subsektor aplikasi dan gim. Pihak perbankan, yang sejatinya jadi lembaga paling relevan untuk membantu, belum berani memberikan pembiayaan. Faktor ketidaktahuan tentang business nature dunia aplikasi dan gim ditengarai menjadi salah satu penyebab.

Bekraf sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk membantu pelaku ekonomi kreatif melihat hal ini, dan berinisiatif mengadakan Bekraf Financial Club (BFC) di Jakarta pada 28 Februari 2017 dengan tajuk “Pola Pembiayaan Aplikasi dan Game”. Pertemuan ini diadakan untuk mempertemukan pihak perbankan dengan pihak wirausaha dan pengembang aplikasi dan gim untuk mencari titik temu terkait permodalan.

Deputi Akses Permodalan Bekraf Fadjar Hutomo dalam wawancara via surel (28/9) menyebut, pertemuan yang bersifat sharing ini bisa mempercepat sistem pembiayaan yang sesuai dengan karakter subsektor aplikasi dan gim.

“Sekarang, hasilnya belum ada yang signifikan karena hasil dari pertemuan kemarin masih berada di tahap proses penyusunan lending profile atau model bisnis. Kendala utamanya, subsektor pengembang aplikasi dan gim bersifat intangible (tak berwujud) dan bank tidak memahami skema bisnisnya sehingga skema pembiayaan untuk subsektor ini belum dibuat,” ujar Fadjar.

Dari BFC, masukan berharga datang dari kedua belah pihak. Salah satunya dari CFO Bukalapak.com Fajrin Rasyid. Dia berharap forum seperti ini bisa diperbanyak lagi agar komunikasi pelaku industri dan perbankan bisa terjalin lebih baik lagi.

Deputi Akses Jaringan dan Permodalan AGI sekaligus CEO Ekuator Games Cipto Adiguno mengamini hal tersebut. Belum hadirnya perbankan di subsektor ini karena masalah manajemen risiko yang harus dilakukan. Perbankan masih sulit mengukur risiko di subsektor pengembang aplikasi dan gim dan dianggap tidak bankable.

Sebenarnya, para pengembang pun tidak tinggal diam untuk mencari bantuan modal. Salah satunya menggunakan sistem crowdfunding. Namun, kemungkinan keberhasilannya tidak menentu.

“Kalau modal yang diinginkan tidak tercapai, bisa jadi produk itu berhenti dikembangkan. Kalau tercapai, ternyata hasilnya tidak sesuai dengan ekspektasi para ‘pemodal’ itu. Hal inilah yang kini membuat tingkat kepercayaan publik terhadap situs crowdfunding menurun,” kata Cipto.

Foto dokumen Bekraf

Oleh sebab itu, Cipto meminta kepada pihak Bekraf untuk memperbanyak diskusi kelompok terarah (FGD/ focus group discussion) untuk membahas hal tersebut. Menurut Cipto, hal ini lebih efektif. Dia juga berharap agar penyusunan lending profile dan model bisnis ini bisa segera rampung agar pihak perbankan bisa memahami lebih dalam subsektor ini.

“Kalau para pengembang aplikasi dan gim bisa mendapatkan dukungan modal yang cukup, kesempatan produk aplikasi dan gim Indonesia untuk bersaing di pasar global lebih besar,” ujar Cipto.

Dorong investor lokal 

Selain dari perbankan, peluang pendanaan lainnya datang dari modal ventura dan angel investor. Untuk itulah Bekraf kerap menyelenggarakan acara yang mempertemukan pengembang aplikasi dan gim dengan pemodal ventura. Startup World Cup, Pitch Perfect, dan B2B Game Prime di antaranya.

Program Bantuan Insentif Pemerintah (BIP) yang sudah diluncurkan pada 13 Juli 2017 juga diberikan untuk sektor ini, selain untuk subsektor kuliner. BIP jadi salah satu upaya peningkatan kapasitas usaha dan produksi pelaku ekonomi kreatif. BIP maksimal akan diberikan Rp 200 juta sesuai kebutuhan dan diawasi penggunaannya.

Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Sungkari mengungkapkan, investor lokal juga harus lebih terlibat untuk mendukung subsektor ini. Dia melihat, investor lokal belum banyak terlibat, sementara investor asing terus masuk.

“Pemberian insentif kepada investor mungkin juga harus dibuat regulasinya. Diharapkan, dengan adanya stimulus berupa insentif ini akan membuat subsektor ini dilirik oleh para investor. Sebab, peluang bisnis di industri pengembangan aplikasi dan gim di Indonesia masih sangat besar,” ujar Hari. [VTO]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 30 September 2017