Berkat teknologi, sebuah perusahaan startup yang baru seumur jagung bisa dalam tempo cepat meniti sukses. Berkat teknologi pula, sebuah perusahaan yang berjaya cukup lama bisa goyah terkena tsunami perubahan model bisnis. Ketika teknologi menjadi inti dari bisnis, bagaimana peran perguruan tinggi menyikapi hal tersebut?
Rektor Universitas Prasetiya Mulya (UPM) Prof Dr Djisman S Simandjuntak mengatakan, teknologi membuat peradaban semakin kompleks. Untuk menghadapi kompleksitas, biasanya kita menggunakan pendekatan simplifikasi. Padahal, dalam banyak hal, kompleksitas hanya bisa dihadapi dengan pendekatan kompleks juga.
“Menghadapi persaingan masa depan yang kian kompleks, Indonesia memiliki modal bonus demografi. Salah satu bentuk bonus demografi adalah puncak usia penduduk perguruan tinggi. Hal ini akan terjadi mulai sekarang hingga 2030. Tantangannya yaitu bagaimana usia penduduk ini bisa dimajukan dalam pemupukan modal manusianya,” terang Djisman.
Wakil Rektor IV Bidang Kerja Sama Eksternal UPM Dr Ida Juda Widjojo menuturkan, sumber daya manusia (SDM) masa depan harus mampu beradaptasi dengan kecepatan kilat karena perkembangan teknologi menentukan derap bisnis sekarang. Tak hanya menyesuaikan dengan perubahan, kita juga harus mampu menciptakan terobosan dalam model bisnis secara terus-menerus. Kecepatan bertindak, fleksibilitas, kreativitas, serta pemikiran global merupakan kunci kesuksesan.
Djisman menambahkan, perguruan tinggi memiliki kewajiban dalam mengangat level SDM dalam hal literasi, kemampuan, dan kewirausahaan. Selain mengangkat level, ada beberapa hal yang perlu difokuskan.
Hal itu yakni pendidikan science, technology, engineering, dan mathematics (STEM). “Entah kenapa literasi dalam STEM kita masih kalah dengan negara tetangga. Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu membekali lulusan perguruan tinggi dengan pendidikan keahlian dan kewirausahaan,” ujar Djisman.
Pendidikan bidang STEM dan kewirausahaan memang menjadi dua senjata seksi untuk bersaing di dunia yang semakin kompleks. Apalagi jika kedua bidang tersebut bisa saling berkolaborasi. Bayangkan, apa jadinya jika mahasiswa bisnis bisa membuat proyek bersama-sama dengan mahasiswa STEM? Tentu akan hadir inovasi-inovasi yang menjelma ke arah komersialisasi.
Pendekatan ini yang ditawarkan S-1 UPM melalui metode dual pembelajaran kolaboratif. Setelah lama dikenal sebagai sekolah bisnis yang erat dengan kewirausahaan, Universitas Prasetiya Mulya mulai tahun ini membuka program studi STEM.
Menurut Djisman, tantangan besar Indonesia yaitu menggunakan ilmu pengetahuan yang sudah ada untuk kebutuhan manusia. “Dalam peradaban sekarang, pengguna utama ilmu pengetahuan adalah dunia usaha. UPM memperkenalkan konsep dual atau pembelajaran bersama antara perguruan tinggi dan dunia usaha,” ujar Djisman.
Ida menjelaskan bentuk kolaborasi dual yang dilakukan adalah dengan perusahaan internasional maupun perusahaan lokal berskala internasional di bidang teknologi maupun manajemen. “Fasilitas penelitian beberapa perusahaan terkemuka terbuka untuk menerima mahasiswa kami dalam program penelitian atau magang. Fokus utama diberikan pada pembentukan kepribadian innovatif sehubungan dengan perubahan model bisnis di era digitalisasi ini.”
Selain kolaborasi dengan dunia usaha, UPM melakukan kolaborasi internal. Wakil Rektor I Bidang Akademik UPM Prof Dr Yudi Samyudia menjelaskan, proses kolaborasi di UPM terjadi antara mahasiswa sekolah bisnis ekonomi (SBE) dan STEM dimulai sejak tahun pertama.
“Hal tersebut dilakukan pada tahap business creation melalui fasilitas inovation studios dan pada tahap perancangan serta pembuatan prototipe sehingga produk-produk baru yang dihasilkan dapat menjawab kebutuhan pasar,” pungkas Yudi. [IKLAN/INO]