Ragam hal digital terdiri dari hak untuk mengakses, hak untuk berekspresi, dan hak untuk merasa aman ketika berada di ranah online atau digital. HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual ) adalah hak eksklusif yang timbul sebagai hasil olah pikir serta kreativitas yang membuahkan produk atau proses yang berguna bagi manusia.
Hak yang dimaksud di sini adalah hak untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari produk yang dilindungi oleh kekayaan intelektual tersebut. Jenis-jenis perlindungan KI, seperti hak cipta, hak paten, hak merek, indikasi geografis, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang, bahkan perlindungan varietas tanaman.
Kita harus menghargai kekayaan intelektual di era digital dengan menjadi warga negara Indonesia yang Pancasilais dalam berdunia digital. Salah satu hal yang bisa kita lakukan adalah berpikir kritis dengan melakukan identifikasi, observasi dan evaluasi, serta gotong royong kolaborasi kampanye literasi digital dalam menghargai hasil karya orang lain.
Menyikapi hal itu, Kominfo bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital dalam menggelar webinar dengan tajuk “Paham tentang Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) di Internet”. Webinar yang digelar pada Jumat (30/7/2021) pukul 14:00-16:30 diikuti oleh sejumlah peserta secara daring.
Dalam forum tersebut hadir Ilham Faris (Kaizen Room), Pradhikna Yunik Nurhayati, S.I.P., M.P.A. (IAPA), Sugiyono, M.I.P. (Akademisi & Pemerhati Pendidikan, Sosial dan Keagamaan), Btari Kinayungan (Kaizen Room), dan Michelle Wanda (Aktris & TV Host) selaku narasumber.
Hak cipta di ruang digital
Dalam pemaparannya, Btari Kinayungan menyampaikan, “Untuk melindungi hak cipta di ruang digital, diciptakannya Digital Right Management (DRM) yaitu suatu sistem keamanan atau enkripsi untuk melindungi karya cipta digital. DRM dibedakan atas dua hal; DRM yang menggunakan Technological Protection Measure dan DRM yang tidak menggunakannya.”
Technological Protection Measure (TPM) adalah teknologi yang digunakan untuk melindungi materi dari karya cipta digital dengan membatasi akses ke karya digital tersebut, seperti siapa yang boleh mengakses, atau bagaimana karya cipta digital bisa diakses. Teknik-teknik TPM dapat berbentuk encryption, public atau private keys, watermarking, dan access control. Creative Commons License, yang merupakan lisensi hak cipta yang memberi tolok ukur akan aksesibilitas konten, sejauh mana karya tersebut dapat digunakan oleh orang lain, kapan pencipta harus diberi kredit, dan lain sebagainya.
“Lisensi hak cipta diukur dari paling bebas hingga tidak bebas sama sekali, dengan urutan sebagai berikut: Atribusi (BY), Atribusi-BerbagiSerupa (BY, SA), Atribusi–TanpaTurunan (BY, ND), Atribusi–NonKomersial (BY, NC), Atribusi–NonKomersial–BerbagiSerupa (BY, NC, SA), dan Atribusi–NonKomersial–TanpaTurunan (BY, NC, ND),” tutur Btari.
Michelle Wanda selaku narasumber Key Opinion Leader menyampaikan, saat ini ia sibuk di dunia entertainment sebagai aktris, dengan rolenya yang paling dikenal di Tukang Ojek Pengkolan dan beberapa web-series. Ia juga menjadi caster mobile gaming FreeFire.
Di masa PPKM ini, kegiatan kerjanya masih dilakukan dengan online sehingga merasakan langsung dari manfaat adanya internet. Sebagai sosok yang memanfaatkan internet sebagai mata pencarian, ia sadar akan ancaman menjadi kecanduan berinternet atau bermain perangkat digital. Untuk menghindari hal tersebut, ia membatasi penggunaan perangkat saat makan atau ketika telah menyelesaikan urusannya di internet sehingga tidak larut dan menghabiskan waktu yang lama di depan perangkatnya.
Ketika bertemu atau sedang bercengkrama dengan teman atau keluarga, ia dan mereka saling setuju untuk tidak menggunakan ponsel, dan meminta izin ketika ingin mengecek ponsel ketika menunggu kabar tentang kerjaan atau tugas. Ia sampaikan bahwa kita sebagai pengguna media digital harus disiplin terhadap diri sendiri dan mengetahui batasannya.
Para partisipan yang hadir juga dipersilahkan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Irwan menyampaikan, “Saya adalah musisi yang menciptakan berbagai lagu, dan saya mau mematenkan hak cipta atas lagu lagu saya. Lewat mana atau melalui apa cara untuk mematenkan hak cipta karya tersebut?”
Pertanyaan tersebut pun dijawab dengan lugas oleh Btari Kinayungan. “Lagu original merupakan produk yang dilindungi hak cipta yang bersifat deklaratif sehingga tidak perlu didaftarkan. Hal yang menjadi rumit adalah kepemilikan lagu akan master recording dan rekaman distribusi melalui platform media lainnya dalam performative text. Secara otomatis merekalah yang akan memiliki hak intelektual dan mempunyai hak moral maupun ekonomi dari lagu tersebut. Pentingnya untuk para penyanyi atau musisi untuk menegosiasi hak milik karya cipta dengan agen mereka supaya mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya, oleh karena itu banyaknya artis independen atau indie yang self-published sehingga memiliki hak penuh atas karya mereka sendiri.”
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Jakarta Timur. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten. Juga, bagi yang ingin mengetahui tentang Gerakan Nasional Literasi Digital secara keseluruhan bisa ikuti akun Instagram @siberkreasi.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat.