Tak dapat dipungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi. Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.
Menyikapi hal itu, maka baru-baru ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tema “Berantas Radikalisme Melalui Literasi Digital”. Webinar yang digelar pada Kamis, 16 September 2021 di Kota Serang, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.
Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Denisa N Salsabila – Kaizen Room, Siska Sasmita, SIP, MPA – Dosen/Pengajar Universitas Negeri Padang, Ibnu Novel Hafidz, SSos, MM – Creative Entrepreneur dan Khairul Anwar – Marketing and Communications Specialist.
Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety. Denisa N Salsabila membuka webinar dengan mengatakan, radikalisme mempunyai arti positif maupun negatif.
Positif radikalisme adalah upaya mencari alternatif penyelesaian masalah secara mendalam dan mendasar. Sedangkan negatif radikalisme adalah pandangan dan sikap untuk mengubah sistem dengan cara kekerasan dan menganggap pandangan dan pilihan lain sebagai lawan.
“Namun secara hukum berdasarkan UU No. 5 tahun 2018 radikalisme adalah sikap negatif yang ingin merombak sistem NKRI dengan sistem lain,” tuturnya. Adapun cara mencegah pengaruh radikalisme melalui media online, yaitu dengan memperhatikan kredibilitas website, bandingkan dengan ilmu yang telah kita miliki, diskusi konten yang ditemukan dengan orang sekitar.
Siska Sasmita menambahkan, kelompok radikalisme menggunakan internet sebagai senjata menyebarkan berbagai gambar dan video untuk memberikan visualisasi yang lebih memberi kesan kuat tentang situasi-situasi yang ingin mereka gambarkan.
Menyebarkan informasi tentang organisasi mereka, menyebarkan propaganda, berkomunikasi dengan sesama, melaksanakan aktivitas galang dana, agenda perekrutan dan pelatihan anggota baru.
“Mari berantas radikalisme dengan pilar digital ethics, yakni merupakan kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan dan mengembagkan tata Kelola etika digital dalam kehidupan sehari-hari,” tuturnya.
Ibnu Novel Hafidz turut menjelaskan, terdapat literasi nilai-nilai Pancasila di media sosial untuk mencegah radikalisme, yakni sila pertama nilai utamanya adalah cinta kasih, saling menghormati perbedaan kepercayaan di ruang digital, sila kedua nilai utamanya adalah kesetaraan, memperlakukan orang lain dengan adil dan manusia di ruang digital, sila ketiga nilai utamanya harmoni mengutamakan kepentingan Indonesia di atas kepentingan pribadi atau golongan di ruang digital.
“Sila keempat nilai utamanya demokrasi memberi kesempatan setiap orang untuk bebas berekspresi dan berpendapat di ruang digital, sila kelima nilai utamanya adalah gotong royong Bersama-sama membangun ruang digital yang aman dan etis bagi setiap pengguna,” tuturnya.
Radikalisme agama merupakan gerakan yang ingin mengganti Pancasila dengan ideologi yang berbasis agama. Radikalisme sekuler merupakan paham yang ingin memisahkan Pancasila dari nilai-nilai agama dengan menghendaki agar bangsa Indonesia menjadi bangsa sekuler, liberal dan jauh dari nilai-nilai agama.
Sebagai pembicara terakhir, Khairul Anwar menjelaskan, dalam berselancar di internet, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan. “Sama seperti dunia fisik, dunia digital juga dapat memunculkan ancaman,” katanya. Beberapa ancaman digital yang sering dijumpai adalah isu privasi, isu keamanan dan isu-isu mengganggu lainnya.
Dalam sesi KOL, Kevin Benedict menjelaskan, media sosial sebagai sumber informasi yang lebih valid, hal ini membuat masyarakat jauh lebih bijak untuk mengakses teknologi. “Media sosial memang harus sebagai pengecek fakta, agar menciptakan masyarakat yang bijak untuk mengakses teknologi,” katanya.
Dalam webinar ini, para partisipan yang hadir juga dipersilahkan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Nuryadi menanyakan, contoh radikalisme positif itu seperti apa?
“Beberapa contoh radikalisme yang positif adalah disaat kita bisa membawa kegiatan itu kedalam hal-hal yang positif dan tidak merugikan orang lain, memberikan manfaat dan edukasi kepada orang lain. Bukanya merugikan banyak pihak,” jawab Ibnu.
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Serang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui Instagram @siberkreasi.dkibanten dan @siberkreasi.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, terutama kepada Kominfo. Mengingat program literasi digital ini hanya akan berjalan dengan baik dan mencapai target 12,5 juta partisipan, jika turut didukung oleh semua pihak.