Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.

Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.

Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tajuk “Suara Demokrasi di Ranah Digital”. Webinar yang digelar pada Rabu (28/7/2021) di Kabupaten Lebak, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.

Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Kokok Herdhianto Dirgantoro (Founder & CEO Opal Communication), Irfan Afifi (Founder Langgar.co), Dr. Bambang Kusbandrijo, MS (Dosen UNTAG Surabaya), dan Dr. Putu Eka Trisna Dewi, SH., MH (Dosen Universitas Ngurah Rai). Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety.

Saluran partisipasi politik

Kokok Herdhianto membuka webinar dengan mengatakan, media sosial menyediakan ruang komunikasi, interaksi, dan informasi antara penggunanya.

“Sehingga membuat tim kampanye masing-masing kandidat calon presiden dapat memanfaatkannya untuk menggalang dukungan dengan lebih mudah. Dengan adanya media sosial dan semakin banyaknya alternatif saluran partisipasi politik, maka semakin memperkuat demokrasi dan berpotensi meningkatkan kualitasnya,” katanya.

Dr. Bambang Kusbandrijo menambahkan, kemajuan teknologi informasi yang begitu masif meluas ke semua bidang, memiliki efek negatif. Banjir informasi (information flood) di era revolusi digital menghadirkan sejumlah dampak sosial.

Problem masyarakat bukan pada bagaimana mendapatkan berita, melainkan kurangnya kemampuan mencerna informasi yang benar.

Kesenjangan antara kurangnya literasi media di tengah banjirnya informasi ini disalahgunakan oleh sebagian kelompok untuk memproduksi berita yang tidak terkonfirmasi atau sering disebut hoaks.

“Media sosial menjadi medium penting penyebaran hoaks. Kita bisa berjuang membangun Indonesia dalam iklim demokrasi ini tak perlu lagi harus turun ke jalan – jari kita di mana berada dapat memberikan kontribusi apakah positif atau negatif,” ujarnya.

Esensi demokrasi

Sebagai salah satu pembicara, Irfan Afifi turut menjelaskan, saling merasakan, menghormati, dan menghargai di media sosial adalah esensi demokrasi yang harus kita suarakan di dunia digital.

“Kebebasan berekspresi penting sebagai cara untuk menjamin pemenuhan diri seseorang dan untuk mencap potensi maksimal dari sesorang, lalu bisa juga untuk pencarian kebenaran dan pengetahuan. Kebebasan berekspresi penting dalam proses pengambilan keputusan khususnya politik,” tuturnya.

Selain itu, kebebasan berekspresi memungkinkan masyarakat dan negara bisa saling terhubung dan terakomodasi. Batasan berekspresi di media sosial yakni memahami isu-isu sensitif yang bisa memicu perpecahan dan kegaduhan di dunia digital maupun dunia nyata. Seperti isu agama, suku bangsa, ras dan antar golongan.

Dr. Putu Eka menjelaskan, kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan hak dasar yang harus diberikan kepada seluruh masyarakat dalam negara demokratis. Di Indonesia, hoaks mulai marak sejak pemilihan presiden 2014 sebagai dampak gencarnya kampanye di media sosial.

Hoaks bermunculan guna menjatuhkan citra lawan politik alias kampanye hitam atau kampanye negatif. Hate speech adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka, entah dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut.

Hate speech bertujuan untuk menghasut, menyebarkan kebencian, serta menimbulkan konflik sosial. Jejak digital itu kejam, bijaklah menggunakan Internet. Semakin lama anda berkutat di media sosial maka jejak digital anda akan semakin besar,” pungkasnya.

Dalam sesi KOL, Suci Patia mengajak masyarakat untuk memanfaatkan media sosial dengan sebaiknya dan menggunakannya secara bijak. Lingkungan sangat berpengaruh bagi kita dalam berperilaku di media sosial. “Perlu bagi kita untuk saat ini memiliki yang namanya critical thinking dan budaya saring sebelum men-sharing suatu berita,” katanya.

Dalam webinar ini, para partisipan yang hadir juga dipersilahkan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Andini menanyakan, kita dicap sebagai netizen yang tidak ramah dan juga suka menyebar berita hoaks. Bagaimana menanggapi hal ini agar netizen indonesia sadar?

“Sudah bukan rahasa umum lagi atas kasus tersebut, untuk membuat orang itu sadar hal yang bisa kita lakukan adalah mengedukasi masyarakat dan menjelaskan dengan sebaik mungkin dengan bahasa yang sopan pula. Perlu diperhatikan apakah suatu perbuatan itu melanggar etika norma ataupun hukum,” jawab Putu.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Lebak. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui Instagram @siberkreasi.dkibanten dan @siberkreasi.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, terutama kepada Kominfo. Mengingat program literasi digital ini hanya akan berjalan dengan baik dan mencapai target 12,5 juta partisipan, jika turut didukung oleh semua pihak.