Ibu itu berkisah. Suatu kali, ketika sedang makan siang dengan teman-temannya, ia tiba-tiba kelepasan bercerita tentang kakeknya yang dihilangkan secara paksa pada tahun 2065. Setelah itu, ia merasa semua mata tertuju padanya. Ia begitu ketakutan. Sampai seorang temannya mengatakan, pada tahun yang sama, kakeknya juga dibawa ke Mars. Saat itu, untuk pertama kalinya, ibu itu merasa tidak sendirian.

Kisah itu adalah sepotong adegan dalam video A Thousand and One Martian Homes, bagian dari instalasi 1001 Martian Homes karya seniman Tintin Wulia. Karyanya terdiri atas tiga bagian. Selain video itu, ada karya Not Alone dan Under the Sun.

Instalasi 1001 Martian Homes ini ditampilkan di Paviliun Indonesia pada pameran seni rupa Venice Biennale, 13 Mei hingga 26 November 2017. Kehadiran Tintin dalam Venice Biennale ke-57 ini didukung penuh oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Secara paralel, karya 1001 Martian Homes juga hadir di Senayan City lantai 6, Jakarta. Kedua karya di Venesia dan Jakarta itu terhubung secara digital.

Not Alone berbentuk kubah berdiameter 2 meter yang terdiri atas ribuan modul akrilik, kabel elektronik dengan papan pendaran listrik, dan 228 lampu LED yang menggambarkan konstelasi Sagitarius. Area langit Sagitarius diduga sebagai tempat berasalnya “sinyal kehidupan” di luar Bumi yang pertama terekam pada 1977.

Kata-kata “we”, “are”, dan “not alone” akan aktif ketika pengunjung, baik yang di Venesia maupun Jakarta, melewati sensor. Kamera pengawas di atas kedua mesin mengumpansilangkan rekaman video lingkungan sekitar mereka ke benua lain. Yang di Jakarta akan melihat apa yang terjadi di Venesia pada proyeksi di langit-langit di atas karya ini, begitu pula sebaliknya.

Karya Under the Sun memperlihatkan bola-bola mata yang menatap sepanjang tangga. Tangga itu menuntun kita pada sebuah lubang intip di pintu yang terkunci. Mata-mata di sepanjang tangga adalah mata yang mengintip itu. Seperti pada Not Alone, gambar mata yang terekam video diumpansilangkan di antara kedua situs.

Foto-foto dokumen Bekraf

Not Alone dan Under the Sun bermuara pada karya video A Thousand and One Martian Homes. Video ini memperlihatkan eksil-eksil 1965 yang menceritakan kisahnya ketika diasingkan. Memoar itu diadaptasi dan dikisahkan ulang dengan latar waktu 2165, era ketika manusia hidup di Mars. Tahun 2065 adalah bentuk fiktif dari 1965 dan Mars pada beberapa bagian disebut untuk menggantikan Pulau Buru, tempat para eksil ini diasingkan.

“Dalam A Thousand and One Martian Homes, saya mencampur suntingan footage-footage dari video laporan resmi tentang pencapaian NASA tahun 1965 dengan cerita fiksi tentang konflik politik di bumi tahun 2065. Konflik politik ini dimanfaatkan oleh penguasa untuk menangkapi sekelompok orang tanpa proses hukum. Orang-orang ini kemudian dikirim ke Mars, diisolasi dan dipekerjapaksakan di sana selama 14 tahun, untuk menteraformasi planet itu, membuatnya bisa dihabitasi oleh manusia. Peristiwa ini dirahasiakan, namun tahun 2155 orang-orang mulai mempertanyakannya,” terang Tintin lewat surat elektroniknya, Senin (28/8).

Dalam keseluruhan instalasi 1001 Martian Homes, tampak kepiawaian Tintin menghubungkan peristiwa-peristiwa, juga kedalamannya dalam mengolah beragam isu. Kemanusiaan, identitas, pengasingan dan keterasingan, juga sekat-sekat dalam ruang huni. Kita juga melihat, di tangan Tintin, waktu menjadi sesuatu yang cair. Yang tidak bergerak linier, tetapi kadang terpola seperti siklus.

Signifikansi kehadiran Indonesia

Kehadiran Indonesia pada perhelatan Venice Biennale menjadi sinyal bahwa negeri ini adalah bagian penting dalam pergerakan seni kontemporer dunia. Ketua Bekraf Triawan Munaf mengatakan, Tintin dipilih untuk mewakili Indonesia di ajang ini karena karyanya mengandung pesan yang relevan dengan perubahan dewasa ini, ketika internet dan teknologi digital mengubah pandangan kita tentang konsep ruang dan wilayah.

Tintin mengamini, keikutsertaan Indonesia dalam perhelatan seni rupa seperti Venice Biennale strategis untuk mencatatkan nama Indonesia dalam kancah seni rupa dunia. Yang lebih penting, hal ini dalam jangka panjang berpotensi memperkuat lingkar seni kontemporer Indonesia untuk lebih mendunia lagi.

“Di sinilah ada kesempatan bagi negara atau pemerintah untuk merangkul seni kontemporer dalam visi jangka panjangnya, yang bisa menjadi stimulan pembangunan infrastruktur seni kontemporer di negaranya. Untuk Indonesia, ini tentu hanya bisa dilakukan dengan melibatkan pelaku-pelaku seni kontemporer Indonesia yang selama ini bergerak secara independen,” kata Tintin. [NOV/VTO]

Jatiwangi Art Factory, Suarakan Isu Sosial Lewat Seni Kolektif

Foto-foto dokumen Jatiwangi Art Factory

 Seni adalah bahasa universal. Penuturnya bukan hanya seniman, tetapi bisa jadi setiap orang. Dulu, keseharian sebagian besar warga Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, tampak biasa saja. Mereka bekerja, bersekolah, bertani, dan—sebagian besarnya—membuat genteng dari tanah liat. Kini, mereka masih juga melakukan itu, tetapi dengan penghayatan berbeda. Sejak bersama-sama berkesenian dengan organisasi nirlaba Jatiwangi Art Factory (JAF) pada 2008, mereka meresapi keseharian sebagai seni.

“Kalau memang karya seni diambil dari keseharian, mengapa kita tidak menghormati keseharian sebagai seni? Tinggal bagaimana mengolahnya,” tutur pendiri JAF Arief Yudi Rahman, Selasa (29/8).

JAF memang berfokus pada kajian kehidupan lokal pedesaan lewat kegiatan seni dan budaya. Bersama dengan warga dari 16 desa di Kecamatan Jatiwangi, mereka membuat beragam acara, seperti lokakarya, proyek-proyek kesenian, dan festival.

Salah satu yang begitu unik, Festival Musik Keramik. Festival ini telah diselenggarakan pada 2012 dan 2015, diagendakan rutin tiga tahun sekali. Pada 2015, peserta dari desa-desa tersebut bahkan mencapai lima ribu orang. Secara kreatif, mereka menjadikan tanah liat sebagai bahan baku alat musiknya, bahkan menciptakan instrumen baru. Ada alat musik tiup ocarina, gitar dari genteng, dan beragam perkusi.

Program besar lainnya, Festival Residensi dan Festival Video Residensi. Keduanya melibatkan seniman dari dalam dan luar negeri untuk berkolaborasi dengan penduduk dalam mencipta karya. Selain itu, JAF juga mengisi pendidikan kesenian di sekolah-sekolah sebagai muatan lokal.

“Perubahan yang terasa setelah masyarakat di Jatiwangi berkesenian, cara pandangnya lebih lentur. Menerima pilihan orang, gaya orang lain, menghormati kesepakatan. Mereka juga jadi lebih menghargai apa yang mereka kerjakan, lebih sungguh-sungguh,” kata Arief.

JAF merupakan contoh kelompok seniman yang praktik keseniannya melibatkan masyarakat dan lingkungan sekitar. Menurut kurator Enin Supriyanto, keberhasilan seniman dalam berkarya tidak hanya diukur dari seberapa baiknya sebuah karya yang dihasilkan, tetapi juga kontribusinya kepada masyarakat sekitar.

“Karya seperti Jatiwangi dan seniman lain yang praktik berkeseniannya melibatkan masyarakat bisa saya sebut sebagai karya yang melampaui karya. Beyond art. Ini merupakan inisiatif kolektif yang mengajak warga masyarakat untuk menjadi pencipta dan produsen sebuah karya atau peristiwa seni,” ujar Enin, Jumat (11/8).

Semangat kolektif ini yang menjadi dasar diadakannya Bhinneka Award dalam Art Stage Jakarta yang dihelat pertengahan Agustus lalu. Melalui penghargaan ini, kita diajak untuk merenungkan dan merumuskan jawaban atas suatu pertanyaan, misalnya apa dan bagaimana tanggung jawab seniman di lingkungan sosialnya.

Apresiasi, bukan kompetisi

Bhinneka Award boleh dikatakan membuka perspektif baru, bahwa ada karya seni yang mestinya memang tidak dinilai dengan basis sistem kompetisi. Perspektif ini diharapkan mampu membangkitkan kepedulian para pelaku seni lainnya untuk memeriksa apa yang mereka anggap baik dan melampaui persoalan seni rupa itu sendiri.

“Nah, kalau ini masih dinilai dengan pemahaman konvensional, kan jadi repot. Senimannya sendiri mungkin tidak menyadari apa yang dia lakukan itu spesial. Tetapi, kita yang melihatnya bisa mengukur dampak pekerjaannya terhadap masyarakat. Pertanyaan lanjutannya, bagaimana dan seperti apa seniman Indonesia mewujudkan dan memanifestasikan tanggung jawab sosialnya? Dan itu bisa macam-macam caranya,” ujarnya.

Agung Kurniawan, misalnya, menyentuh isu sosial dengan menggandeng ibu-ibu penyintas peristiwa 1965-1966. Contoh lainnya, Mulyono. Sejak era 1980-an ia percaya, praktik berkeseniannya merupakan bagian dari pendidikan dan penyadaran masyarakat terhadap masalah politik, sosial, dan lingkungan. Pada akhirnya, dari sini kita bisa melihat bahwa seni itu memiliki karakteristik yang spesifik, tidak sulit, tidak mewah, dan tidak eksklusif.

Enin berharap, penghargaan ini bisa rutin dilakukan, terus ditambah kategorinya, dan tidak hanya dianugerahkan kepada seniman. Apabila hal ini sudah berlangsung dan berjalan teratur, penguatan profesionalisme di bidang seni bisa berjalan dan memiliki fleksibilitas sesuai tuntutan zaman.

Terkait pertumbuhan seni secara umum, ekosistem yang baik diperlukan agar seni bisa lebih mudah diterima, bahkan dilakoni masyarakat. Dukungan dari pemerintah tentunya diharapkan oleh seluruh pelaku seni di Indonesia.

Enin mengatakan, pemerintah bisa membangun pendidikan tinggi seni rupa yang benar-benar konsisten melahirkan seniman-seniman berkarakter. Sebab, kendati banyak sekolah seni di Indonesia, yang mampu secara konsisten menghasilkan seniman bermutu sangat terbatas. Kurikulum, tenaga pengajar, dan fasilitas juga harus ditingkatkan kualitasnya.

Sementara itu, dari dunia seni rupa sendiri, Enin berharap ruang-ruang apresiasi yang ada bisa dimanfaatkan lebih optimal dan terstruktur. Hal ini penting untuk meningkatkan apresiasi publik. Agar kelak kesenian menjadi sesuatu yang kita rawat bersama. [VTO/NOV]

Foto-foto dokumen Jatiwangi Art Factory

Seni yang Inklusif dan Demokratis ala Museum Macan

Foto dokumen Museum Macan

Balok-balok es itu tertata setinggi hampir satu meter. Memenuhi bidang seluas kira-kira satu kali tiga meter. Di sekitarnya, orang-orang berkerumun, mengambil sikat, lantas menggosok permukaan balok-balok es, yang airnya bersumber dari Kali Pesanggrahan itu.

“Washing the River” karya Yin Xiuzhen menjadi salah satu pertunjukan yang disajikan dalam First Sight Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara (Museum Macan), Sabtu (12/8). Aksi ini menjadi bentuk intervensi publik dan kegiatan komunal sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran tentang lingkungan sekitar.

“Pertunjukan menjadi salah satu fondasi seni kontemporer. Penonton juga bisa mengalami interaksi dengan seniman dan menjadi bagian langsung dari pertunjukan. Saya kira ini cara yang baik untuk mengenalkan seni kepada publik,” kata Direktur Museum Macan Aaron Seeto, Selasa (15/8).

Museum Macan baru akan resmi dibuka pada November tahun ini. First Sight pada Agustus lalu menjadi semacam perkenalan. Dalam obrolan santai, Aaron bercerita tentang misi Museum Macan. Museum ini bercita-cita menjadi wadah untuk meningkatkan apresiasi publik akan seni di Indonesia, memfasilitasi pertukaran seni dan budaya antara Indonesia dengan dunia global, dan mendukung ekosistem pertumbuhan seni lewat edukasi.

Aaron mengatakan, “Dalam peta seni global, posisi Indonesia sangat penting. Ada banyak hal luar biasa di sini. Indonesia punya banyak seniman hebat, sejarah yang sangat menarik, serta budaya dan agama yang beragam. Pekerjaan yang belum selesai adalah bagaimana mendukung seniman, menciptakan kondisi tempat mereka bisa berkarya dan diapresiasi. Indonesia memang kekurangan infrastruktur museum. Padahal, museum penting untuk menjembatani karya seni Indonesia dengan dunia global.”

Tantangan lain, literasi seni masih minim. Padahal, seni adalah sesuatu yang inklusif, yang mestinya bisa dicecap oleh siapa saja. Oleh karena itu, edukasi seni menjadi hal yang mendesak. Seni akan membantu kita melihat apa yang terjadi di sekitar dengan perspektif yang lebih luas dan cara berpikir yang lebih kritis.

Lewat tata ruang dan ratusan koleksinya, Museum Macan kelak memungkinkan orang untuk mengeksplorasi seni lewat pengalaman personal mereka sendiri. Museum ini juga akan mendedikasikan satu area khusus untuk anak-anak, yang akan membantu anak-anak memahami seni lewat cara yang lebih akrab bagi mereka.

Museum Macan juga punya program berkolaborasi dengan sekolah-sekolah untuk mengenalkan seni pada anak-anak. Sejak Agustus 2016, sudah ada 37 sekolah di Jakarta yang dikunjungi Museum Macan. Pada 30 Maret 2017, sebanyak 37 guru kesenian dari 26 institusi menghadiri forum pendidik yang diselenggarakan Museum Macan. Program-program seperti ini akan menjadi agenda tetap.

Ruang untuk yang muda

Pertumbuhan karya yang berkualitas dari seniman-seniman muda adalah kunci regenerasi seni rupa di Indonesia. Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) mengupayakan hal ini dengan mendukung penyelenggaraan Art Jakarta 2017 yang berlangsung 27–30 Juli lalu.

Dalam ajang bergengsi ini, Bekraf menghadirkan 45 seniman muda, yang berusia tidak lebih dari 33 tahun. Mereka terpilih dari 427 partisipan dari beragam kota yang karyanya diseleksi kurator Rifky “Goro” Effendi dan Asmudjo. Dukungan Bekraf ini menjadi terobosan bagi dunia seni, terutama terkait peran pemerintah untuk membukakan akses pasar bagi para seniman muda. Selama ini, seniman biasanya harus diusung galeri atau kolektor untuk bisa mengunjukkan karyanya.

“Dengan memberi ruang bagi para seniman, Bekraf menciptakan tempat yang lebih demokratis untuk berpameran di level internasional seperti Art Jakarta,” kata Deputi Pemasaran Bekraf Joshua Simandjuntak, Kamis (31/8).

Rifky juga melihat respons positif pengunjung terhadap karya-karya ini. Mereka antusias melihat banyaknya nama baru dalam dunia seni rupa. Sejumlah pengunjung pun mengapresiasi karya dengan membelinya, bahkan ada beberapa pembeli dari luar negeri, seperti Turki, Inggris, dan Amerika Serikat. Selain itu, para seniman ini juga bisa mendapatkan eksposure dan membangun jejaring dengan galeri-galeri, baik dari dalam maupun luar negeri.

Allen Fernandez, seniman dari Kupang, memamerkan lukisan berjudul “Nona Tenun Ikat”. Karyanya terinspirasi dari corak tenun kain NTT, yang menunjukkan relasi komunitas masyarakat dengan lingkungan alamnya. Karya ini lantas dibeli seorang kolektor dari Turki. “Wadah yang diberikan Art Jakarta sangat membantu seniman-seniman yang invisible di daerah untuk bisa belajar dan menunjukkan ide kreatifnya,” kata Allen. [NOV/VTO]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 2 September 2017