Dalam dunia transaksi finansial online, kini muncul pemain baru bernama Pay Later. Mengapa ada Pay Later dalam dunia digital? Bisa dikaitkan dengan munculnya gaya hidup yang membuat seseorang lebih mudah membeli barang atau jasa tanpa melihat keadaan keuangan. Mereka lalu dengan mudahnya menggunakan Pay Later untuk melakukan pembayaran dan pelunasan di kemudian hari.
Dapat dikatakan Pay Later menjadi alat pembayaran yang bersifat utang pada era digital ini. Walau memiliki beberapa keuntungan bagi penggunanya, sisi lain penggunaan Pay Later untuk bertransaksi secara online juga masih belum banyak dipahami masyarakat.
Menyikapi hal itu, Kominfo bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital menggelar webinar dengan tajuk “Fitur Pay Later sebagai Transaksi Berbasis Online Baru: Amankah?”. Webinar yang digelar pada Kamis, 15 Juli 2021, ini diikuti oleh sejumlah peserta secara daring.
Dalam forum tersebut hadir Prisa Kandora (Kaizen Room), Maureen Hitipeuw (Kaizen Room), Eva Yayu Rahayu (konsultan SDM dan praktisi Keuangan serta IAPA), Koko Herdhianto Dirgantoro (Founder dan CEO Opal Communication), dan Cindy A Endge (influencer) selaku narasumber.
Dalam pemaparannya, Eva Yayu Rahayu menyampaikan bahwa survei terhadap penggunaan Pay Later di Indonesia menunjukkan bahwa fitur ini paling banyak digunakan para pengguna platform Shopee PayLater (92 persen), Gopay Paylater (52 persen), Kredivo (51 persen), Akulaku (48 persen), dan Ovo PayLater (43 persen). Masing-masing layanan biasanya menjadi opsi pembayaran yang bisa dipilih saat melakukan transaksi menggunakan dompet digital atau saat belanja di online marketplace favorit.
“Mengingat fitur ini adalah semacam utang online, perlu mendalami mengenai manajemen utang. Perlu mengingat bahwa rasio utang tidak boleh lebih dari 35 persen penghasilan utama, dan perhatikan suku bunga serta aset yang dibeli dari utang, periode pembayarannya, dan sumber pembayaran utang. Selain itu, kita juga harus melawan hasrat konsumtif dengan misalnya rajin menghitung pengeluaran konsumsi. Kesimpulannya, budayakan kecerdasan finansial dengan memiliki pikiran yang positif untuk mengelola keuangan, sehingga akan merasakan kesejahteraan, tidak hanya di hari ini tetapi juga di hari yang akan datang,” jelas Eva.
Salah satu peserta bernama Silva bertanya, bagaimana kita bisa menyadarkan seseorang, khususnya mahasiswa, dalam bergaya hidup yang tidak ada habisnya hanya karena ingin dipandang sebagai individu berkelas? Padahal itu semua hanya semakin menyusahkan diri kita, dan tidak sesuai dengan apa yang kita punya.
“Biasanya mahasiswa pasti mengandalkan fitur Pay Later untuk berbelanja untuk modal bergaya, apalagi pinjaman online sangat gampang sekali untuk di-approve dan diberikan limit,” lanjut Silva.
Eva menjawab, yang bisa kita lakukan adalah berbicara dari hati ke hati. Bukan bersifat memberitahu tetapi menjelaskan bahwa gaya hidup yang mereka jalankan memerlukan biaya cukup mahal secara finansial, dan kehidupan adalah untuk waktu yang panjang bukan hanya saat ini saja.
“Harus pandai mengatur keuangan dan menghindari sifat konsumtif. Tunjukkan ke teman bahwa kesuksesan seseorang tidak hanya ditampilkan dari sisi materinya yang melekat pada dirinya saja, melainkan kualitas yang dimiliki oleh dirinya. Contohnya, menjadi mahasiswa dengan nilai IPK yang baik atau aktif di kampus dan berjiwa ramah. Sesuaikan saja dengan apa yang kita miliki, karena kita harus melihat ke depannya. Juga, jika kita sering mengandalkan fitur Pay Later, singkatnya janganlah kita menjadi ‘BPJS’ atau singkatan dari ber-budget pas-pasan, jiwanya sosialita,” ujar Eva.
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Jakarta Utara. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]