Sukses mementaskan Tangis pada 2015, Teater Gandrik yang didukung Bakti Budaya Djarum Foundation kembali menyapa penonton seni pertunjukan Indonesia dalam pergelaran bertajuk Hakim Sarmin. Pementasan ini digelar 29–30 Maret di Taman Budaya Yogyakarta dan 5–6 April di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Lakon Hakim Sarmin yang ditulis Agus Noor dan diproduseri Butet Kartaredjasa ini dikemas dalam bentuk baru yang lebih segar, memadukan seni peran dengan nuansa musik. Pergelaran yang disutradarai G Djaduk Ferianto kali ini terasa spesial, bukan saja karena menyisipkan dialog dalam bentuk lantunan-lantunan lagu, tetapi juga karena isu yang dibawakannya begitu kontekstual.

“Teater Gandrik merupakan kelompok teater Indonesia yang mengolah konsep dan bentuk teater tradisional dengan semangat panggung teater kontemporer. Teater Gandrik selalu memberikan kontribusi untuk perkembangan ide, cita-cita, dan nilai kehidupan manusia melalui pementasan seni yang digelarnya. Pementasan Hakim Sarmin yang memadukan dialog dan musik ini diharapkan mampu memberikan pemahaman bagi generasi muda mengenai proses dan perkembangan kebudayaan sehingga mampu membangun jiwa yang penuh dengan semangat kebangsaan,” ujar Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation Renitasari Adrian.

Lakon Hakim Sarmin dipentaskan dengan latar belakang suasana yang ganjil, ketika semua hakim memilih masuk rumah sakit jiwa yang disebut Pusat Rehabilitasi. Para hakim yang menolak masuk Pusat Rehabilitasi dikabarkan mati terbunuh dan mayatnya dibuang ke lubang buaya. Isu pembersihan hakim-hakim pun menebarkan kecemasan.

Pimpinan Pusat Rehabilitasi, Dokter Menawi Diparani (diperankan Susilo Nugroho) mengatakan, telah terjadi wabah kegilaan yang berbahaya karena sulit dikenali gejala-gejalanya. “Kegilaan dengan cepat menjalar, lebih menakutkan dari wabah sampar,” ujarnya.

Lakon ini mengisahkan sebuah zaman, ketika keadilan dan kegilaan tak lagi bisa dibedakan. “Kegilaan dimulai dari pikiran. Revolusi selalu diawali oleh mereka yang gila. Inilah zaman ketika kegilaan sudah menjadi tren. Kalau tidak gila malah dianggap jadul, kurang gaul,” begitu kata Hakim Sarmin (diperankan Butet Kartaredjasa) dengan gayanya yang khas.

Kepentingan politik, ambisi kekuasaan, serta siasat licik untuk saling menjatuhkan semakin menciptakan ketegangan di antara para tokoh dalam lakon ini. Di satu sisi, proyek rehabilitasi ini dianggap sebagai jalan keluar untuk mengatasi wabah kegilaan, tapi di sisi lain dianggap pemborosan anggaran.

Dokter Menawi Diparani dianggap tak lagi bisa mengendalikan para hakim yang menjadi pasien di Rumah Sakit Jiwa yang dipimpinnya, ketika para hakim itu mulai menggerakkan “Revolusi Keadilan”. Pemberontakan hakim ini melibatkan Komandan Keamanan, Pak Kunjaran Manuke (diperankan oleh Fery Ludiyanto); seorang politisi muda yang ambisius, Bung Kusane Mareki (diperankan oleh M Arif “Broto” Wijayanto); dan seorang pengacara yang menjadi penasehat Pimpinan Kota, Sudilah Prangin-angin (Citra Pratiwi). Sementara itu, Pimpinan Kota Mangkane Laliyan (G Djaduk Ferianto) sendiri makin terlihat lelah karena penyakitnya yang tak kunjung sembuh.

“Lakon yang membongkar kegilaan masyarakat di tengah carut-marut hukum ini akan menjadi lakon yang kocak dan penuh satir ketika dimainkan di atas pentas. Guyonan dan adegan demi adegan yang ditampilkan dengan gaya Teater Gandrik akan membuat lakon Hakim Sarmin ini menjadi tak sekadar penuh tawa, tetapi juga ironi yang membuat kita harus memikirkan kembali kewarasan kita,” ujar Agus.

Pementasan Hakim Sarmin ini didukung Bakti Budaya Djarum Foundation dan melibatkan para seniman Indonesia, antara lain Purwanto (penata musik), Ong Hari Wahyu (penata artistik), Rully Isfihana dan Jami Atut Tarwiyah (penata kostum), Dwi Novianto (penata cahaya), Antonius Gendel (penata suara), dan tim lain yang turut berkontribusi untuk pementasan ini. [IKLAN/*]

 

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 26 Maret 2017