Tak dapat dipungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi. Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.

Menyikapi hal itu, maka baru-baru ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tajuk “Bijak dan Kreatif untuk Mengelola Media Sosial di Era Digital”. Webinar yang digelar pada Jumat (9/7) di Tangerang Selatan itu, diikuti oleh ratusan peserta secara daring.

Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Zahid Asmara – Art Enthusiast, Ismita Saputri – Kaizen Room, Dra. Labibah Zain, MLIS – Presiden Asosiasi Perpustakaan Pengguruan Tinggi Agama Islam, dan Erista Septianingsih – Kaizen Room.

Zahid Asmara, membuka webinar dengan mengatakan, kita harus menggunakan cara baru untuk kemudian lebih bijak dan kreatif mengelola media sosial. “Di era digital ini kita menemui banyak platform sosial media baik itu secara fungsi networking ataupun sharing file, konten sampai dengan platform forum diskusi, berbasis minat, komunitas,” tuturnya.

Ia menambahkan, dari situ bagaimana kita bisa secara bijak mengelola media sosial tersebut. “Yang pertama kita harus tahu bagaimana sejauh kecakapan, kemampuan. Seperti konten apa yang menarik untuk disampaikan dan bagaimana cara menyampaikan hal tersebut,” tuturnya.

Kedua cara tersebut menjadi unsur elementer yang melandasi bagaimana kita berkreasi atau mengekspresikan diri melalui media sosial. Disini kecakapannya menjadi engage atau menarik atau mem-branding personal diri untuk kemudian menjadi yang positif dan kreatif.

“Yang pertama diperlukan Langkah atau metode untuk sebuah konten tersebut pantas untuk diunggah. Lalu assimilating dan involving. Komponennya sendiri ada dari awarnes disini kesadaran bagaimana sebuah konten mampu menggerakan atau mampu mengisi spiritual konsumen, acceptable dan adorable,” katanya.

Ismita Saputri menambahkan, dalam membangun jejak digital yang positif, kita mengalami beberapa rangkuman perubahan, seperti semakin mudah mendapatkan informasi secara online dan real time.

“Media yang bervariasi dan saling terhubung/terkoneksi satu sama lain, harapan dari pengguna internet untuk mendapatkan benefit lebih dari hasil pencarian (konten yang mudah dibagikan),” ujarnya.

Meski begitu, hambatan perubahannya adalah tidak mengetahui dan kesulitan menggunakan teknologi, tidak merasa bahwa teknologi adalah sesuatu yang penting, anggapan bahwa internet adalah sesuatu yang mahal, dan tidak ada waktu untuk mempelajari teknologi karena pekerjaan.

Dalam kegiatan di dunia digital, perlu memiliki sikap etika digital (digital ethics), yakni kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan dan mengembangkan tata kelola etika digital (netiquet) dalam kehidupan sehari-hari.

“Bahwa menggunakan media digital mestinya diarahkan pada suatu niat, sikap, dan perilaku yang etis demi kebaikan bersama. Demi meningkatkan kualitas kemanusiaan,” jelasnya.

Ruang lingkup etika meliputi kesadaran, integritas, kebajikan, dan tanggungjawab. Sayangnya, di era digital ini terkadang masih banyak orang yang membuat konten- konten negatif atau konten ilegal.

Di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang telah diubah melalui UU Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE)dijelaskan, konten negatif sebagai informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, pemerasan dan/atau pengancaman, penyebaran berita bohong dan menyesatkan sehingga mengakibatkan kerugian pengguna.

Berita bohong atau hoaks adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya, berbeda dengan rumor, ilmu semu, atau berita palsu, maupun April Mop. Bertujuan membuat masyarakat merasa tidak aman, tidak nyaman, dan kebingungan.

“Dalam kebingungan, masyarakat akan mengambil keputusan yang lemah, tidak meyakinkan, dan bahkan salah. Dampak dari penyebaran hoaks adalah memicu perpecahan, memicu ketakutan, menurunkan reputasi, membuat fakta menjadi sulit dipercaya, dan korban jiwa,” paparnya.

Sementara Dra Labibah Zain mengatakan, apa yang kamu posting, apa yang kita posting, itu menjadi gambaran dari dirimu (Germany Kent). Sehingga, sangat penting sekali berbicara literasi digital dan budaya digital.

“Dalam kehidupan ini, kita mulai dari society 1.0 hingga 5.0 yang dimana di society 5.0 kita semua terkoneksi satu sama dengan lain, dengan menggunakan teknologi. Kehidupan yang kita lakukan sekarang ini tidak bisa lepas dari kehidupan di dunia maya,” ungkapnya.

Ia menambahkan, sekarang kita hidup di global village, di mana semua tidak ada Batasan. Jika zaman dahulu kita ingin mengetahui sebuah kabar, itu lama sampai di kita. Kalau sekarang, dalam hitungan detik kita sudah bisa mengetahuinya.

“Yang terjadi yang berkaitan dengan dunia digital adalah peralihan konvensional menjadi transformasi digital. Untuk beralih transformasi digital dibutuhkan budaya digital. Kita tidak bisa lagi seperti pada saat konvensional,” ucapnya.

Sebagai pembicara terakhir, Erista Septianingsih memaparkan bahwa karakteristik digital society yakni senang mengekspresikan diri, berinteraksi di media sosial, cenderung tidak menyukai aturan yang mengikat atau tidak suka diatur-atur, dan terbiasa untuk belajar bukan dari instruksi melainkan dengan mencari.

“Maraknya aktivitas digital yang dilakukan mengharuskan kita untuk peduli pentingnya memproteksi perangkat digital dan data pribadi kita. Selain membantu memudahkan pekerjaan di dunia kerja, belajar, mencari hiburan, transaksi secara daring mulai menjadi kebiasaan baru,” jelasnya.

Ia menambahkan, karena kebiasaan baru tersebut menimbulkan banyaknya kejahatan di dunia digital, maka diperlukan digital safety (keamanan berdigital), yakni kemampuan individu dalam mengenali, mempolakan, menerapkan, menganalisis, dan meningkatkan tingkat keamanan digital dalam kehidupan sehari-hari.

“Beberapa cara aman dalam berinternet, perhatikan yaitu dengan selalu logout setelah masuk ke jejaring media sosial atau akun pribadi. Contohnya melakukan logout setelah membuka email di perangkat manapun, dan aktifkan pengaturan privasi di akun pribadi,” ucapnya.

Dalam webinar ini, para partisipan yang hadir juga dipersilahkan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Daffa Husni menanyakan, apakah pemakaian hashtag di konten Tiktok atau Instagram berpengaruh kepada konten tersebut agar mampu dijangkau oleh banyak orang?

“Terkait hastag itu merupakan salah satu dari bagaimana sedikitnya kita terliterasi algoritama berjalan. Itu bukan fokusnya sebenarnya banyak ragamnya untuk menarik audience, yang memang realitanya hastag ini menjadi terlalu terfokus,” jawab Zahid Asmara.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Tangerang Selatan. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui Instagram @siberkreasi.dkibanten.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, terutama kepada Kominfo. Mengingat program literasi digital ini hanya akan berjalan dengan baik dan mencapai target 12,5 juta partisipan, jika turut didukung oleh semua pihak.