Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.

Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.

Menyikapi hal itu, baru-baru ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tema “Cerdas dan Bijak Berinternet: Pilah Pilih Sebelum Sebar”. Webinar yang digelar pada Selasa, 7 September 2021 di Kabupaten Tangerang, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.

Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Ismita Saputri (Kaizen Room), Anggun Puspitasari SIP MSi (dosen Hubungan Internasional Universitas Budi Luhur Jakarta), Dr Ida Ayu Putu Sri Widnyani SSos MAP (Dosen Universitas Ngurah Rai), dan Oka Aditya ST MM (research analyst).

“Digital skills”

Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety. Ismita Saputri membuka webinar dengan mengatakan, dalam menggunakan internet diperlukan keahlian atau digital skills.

Digital skills merupakan kemampuan individu dalam mengetahui, memahami, dan menggunakan perangkat keras dan peranti lunak teknologi informasi dan komunikasi (TIK) serta sistem operasi digital. Mulai dari situs web hingga beragam aplikasi di smartphone,” tuturnya.

Dalam aktivitas di dunia digital, banyak ditemukan konten negatif, seperti hoaks, false news, dan fake news. Mencegah hal tersebut, Ismitas mengatakan bahwa warganet perlu menerapkan saring baru sharing.

“Jadilah warganet yang bijak. Jangan asal posting konten, tak perlu detail mencantumkan informasi, jaga etika, selalu waspada, jangan langsung percaya, filter akun-akun yang diikuti, dan ikuti konten yang positif,” ujarnya.

Anggun Puspitasari menambahkan, netizen Indonesia berdasarkan survei malah senang konten-konten yang negatif. “Netizen Indonesia cenderung membaca, berinterakasi, komen, sharing justru konten-konten yang sifatnya negatif,” ungkapnya.

Berdasarkan data di Kominfo, ada 1,3 juta konten negatif yang di laporkan oleh warganet, dari tahun 2017 sampai 2021. “Semakin kita banyak share, konten-konten negatif akan semakin up beritanya. Oleh karena itu, saring sebelum sharing, sharing yang penting bukan yang penting sharing. Ayo, pilah pilih,” ajaknya.

Sisi buruk

Dr Ida Ayu Putu turut menjelaskan, saat ini, informasi dari berbagai belahan dunia dengan cepat menyebar, tidak terbatas ruang dan waktu. Digitalisasi dan manfaatnya yaitu informasi segala macam informasi tersedia, termasuk di media sosial.

Meski begitu, ada sisi buruk bermedia sosial, di antaranya adalah gangguan kesehatan fisik, dengan menatap layar gawai terlalu lama terlebih dalam jangka waktu panjang dapat menyebabkan mata kering, mual, dan pusing.

“Lalu juga dapat menimbulkan gangguan mental, akan membandingkan diri dengan orang lain, merasa iri, sehingga gelisah, cemas, mudah emosi, bahkan frustrasi,” tuturnya. Selain itu, pengguna media sosial rentan terpapar konten negative, seperti berbau SARA dan ujaran kebencian.

Banyaknya informasi yang tersebar di sosial media membuat masyarakat sulit membedakan antara informasi yang valid atau sekadar berita bohong (hoaks). “Cara cerdas bermedia sosial yakni jangan mudah percaya berita yang tidak masuk akal dan tinggalkan jejak digital yang positif,” ujarnya.

Hal yang harus diperhatikan saat sharing di media sosial yakni kata-kata harus selektif, akan menyinggung orang lain atau tidak, mengganggu ruang privasi atau tidak. Harus mempertimbangkan dan memikirkan orang lain sebelum men-share. “Hal penting mengenai media sosial adalah mengetahui kapan harus meletakkan telepon dan menjalani hidup Anda,” ucapnya.

Sebagai pembicara terakhir, Oka Aditya mengatakan, rekam jejak digital yang kita tinggalkan di dunia digital yaitu riwayat pencarian, biasanya pada history search pada browser, pesan teks dalam aplikasi chat dan internet, lokasi yang kita kunjungi dengan GPS terkoneksi dengan internet, dan interaksi media sosial.

“Pastikan keamanan konten media sosialmu, saring baru sharing. Warganet di Indonesia memiliki peran yang besar untuk memerangi hoaks, false news, fake news yang intensitasnya semakin meningkat di tengah fenomena post truth,” jelasnya.

Dalam sesi KOL, Reza Tama mengatkaan, masuknya dunia digital di Indonesia mau tidak mau menjadi sebuah kebutuhan. “Tentunya ini menjadi sesuatu yang positif jika kita bisa memanfaatkan hal tersebut, walaupun memang belakangan ini banyak cyber crime yang terjadi. Namun, tergantung bagaimana kita menyikapinya,” katanya.

Dalam webinar ini, para partisipan yang hadir juga dipersilakan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Jali Saputra Dhun menanyakan, bagaimana cara meningkatkan kepekaan sosial pada masyarakat pada era digitalisasi ini?

“Sebenarnya kita bisa memilah itu ketika melihat dari dalam diri kita sendiri. Kalau sudah tidak nyaman membacanya, itu sudah mengandung konten-konten yang negatif apa lagi membuat kita ingin melakukan sesuatu, ingin melakukan suatu kekerasan berati kita sudah terprovokasi, jadi memang dari diri sendiri dahulu atau dari kita mengontrol emosinya,” jawab Anggun.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Tangerang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui Instagram @siberkreasi.dkibanten dan @siberkreasi.

Kegiatan webinar ini turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak sehingga dapat berjalan dengan baik, terutama kepada Kominfo. Mengingat program literasi digital ini hanya akan berjalan dengan baik dan mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak.