Di tengah ingar bi­ngar musik pop, folk, dan metal di Synchronize Fest 2017, mu­sik dangdut mam­pu menyita per­­­hatian. Ada secer­cah ha­rap­an membawa kembali dang­dut menjadi musik urban di Indo­­nesia. Tidak me­nutup ke­­mung­kinan diekspor ke lu­ar negeri.

Ali Akbar Sugiri, penata musik untuk proyek Hello Dang­dut, merasa sangat senang dan tak­jub saat anak muda mi­le­nial ma­­­sa kini menikmati su­guh­an mu­sik dangdut di Dyna­mic Stage, Synchronize Fest 2017, Jakar­ta (7/10). Be­be­ra­pa dari mereka bah­­kan bergo­yang dan bersenan­dung.

“Saya kaget. Saya bisa ka­ta­kan sekitar 70 persen anak mu­­da, lengkap dengan fashion me­­re­ka, menikmati suguhan mu­sik dang­dut. Padahal, kalau bi­sa dibilang musik dangdut ti­dak iden­tik dengan anak mile­nial,” ujar Ali.

Foto dokumen Bekraf

Padahal pada 1970-an, mu­sik dangdut menjadi musik ka­um urban di Indonesia. Lagu mi­lik Rhoma Irama, Mansyur S, atau Elvy Sukaesih kerap ter­dengar di perkotaan hingga pe­de­saan, pusat keramaian kota hingga gang sempit. Kepopu­leran musik dangdut kala itu karena kesederhanaan lirik yang revelan dengan situasi sehari-hari sehingga mudah dipahami.

“Saya memang suka de­ngan musik dangdut. Kebe­tu­l­an, ke­inginan saya itu bisa di­­per­­temukan dari pihak Syn­chro­nize Fest dengan pihak Ba­dan Ekonomi Kreatif yang me­mang ingin mengangkat dangdut. Sa­ya tertantang untuk me­ngem­balikan dangdut seperti masa jayanya di era 70-an,” ujar pria yang menjadi keyboardis untuk band The Groove.

Hasilnya, program Hello Dan­g­­­dut ini tidak hanya di­tam­­pil­­kan dalam bentuk per­tun­jukan musik biasa. Di Syn­chronize Fest 2017, Hello Dang­dut dibuatkan “rumah” agar orang yang datang bi­sa mengenal lebih jauh soal dangdut. Dengan menggunakan sebuah bangunan di Gambir Ex­po, JIEXPO Ke­mayoran, pe­ngun­jung bisa me­li­hat sejarah mu­sik dangdut me­­lalui berbagai poster yang di­pajang. Pengunjung pun bisa berkaraoke di atas pang­gung kecil yang disiapkan. Sia­pa yang mau tampil bisa menda­patkan re­­kaman saat bernyanyi dan men­­­dapatkan bingkisan. Mena­rik.

Sambutan positif

Dalam buku berjudul Dang­dut Stories: A Social and Musical History of Indonesia’s Most Popu­lar Music karya profesor dari Universitas Pittsburgh Andrew Weintraub disebutkan, dangdut punya tem­pat tersendiri di belantika musik nasional pada era 1970–1980. Padahal, rock dan pop pun juga sedang tumbuh.

Lalu, kenapa dangdut saat ini dianggap sebagai musik ping­­­giran? Padahal sebagai se­buah karya musik, dangdut sa­ngat kaya akan nilai harmoni dan berwawasan luas, karena pu­nya “cita rasa” India, Arab, dan Melayu. Soal ritmik, jangan diper­tanyakan lagi. Inilah yang men­dasari Ali ingin sekali me­ngem­balikan pamor dangdut sehing­ga bisa dinikmati lebih ba­nyak lagi orang, terutama anak muda.

Foto dokumen Ali Akbar

“Saya melihat kaum kelas me­nengah ke atas malu untuk mengakui kalau mereka ju­ga ter­tarik dengan dangdut. Ka­lau bisa dikemas dengan lebih berke­las, saya yakin dangdut akan bisa dite­rima lebih banyak orang,” ujarnya.

Oleh karena itu, Ali Akbar ke­marin mengajak Andy /rif, se­­orang penyanyi rock, dan Camilla Trio, trio pemain biola ber­sama dengan Erie Susan ber­nyanyi dangdut. Andy bahkan me­ning­galkan kebiasaan rocknya dengan memainkan cengkok dang­­­­dut. Ali mengaransemen ulang tujuh lagu dangdut klasik menjadi lebih segar dan modern.Panggungnya sendiri di­buat megah dan dihadirkan di aca­ra yang modern dan diaran­semen lebih segar,
Direktur Festival Synchronize Fest 2017 David Karto juga melihat sendiri saat dangdut di­bawa ke sebuah festival ter­nyata sambutan dari anak mu­da sangat positif. Pada tahun lalu, Synchronize Fest sudah mem­bawa Rhoma Irama dan tanggapannya sangat sukses.

“Pengembangan program Hello Dangdut sudah pasti ada, tetapi kami belum berdiskusi kembali dengan Bekraf dan belum tahu apakah akan dijadikan sebuah festival sendiri,” ujarnya.

Mengembalikan pamor

Bekraf memiliki tanggung ja­wab memajukan musik Indo­nesia. Deputi Pemasaran Bekraf Joshua Simandjuntak bercerita, pemilihan dangdut tidak ser­ta merta dilakukan. Riset dilaku­kan untuk menentukan musik yang mewakili Indonesia. Dang­dut dipilih setelah bertemu de­ngan Andrew Weintraub, kemudian dilakukan diskusi grup terarah (FGD).

“FGD ini untuk memastikan apakah memang dangdut adalah musik Indonesia, sebab musik itu terpengaruh dari berbagai budaya. Kami tentu ingin dangdut ini juga bisa bertumbuh sebagai musik Indonesia. Keputusan un­­tuk me­milih dangdut ini ju­ga diper­kuat dengan dipang­gil­nya Ikke Nurjanah ke Universitas Pitts­­burgh untuk membe­ri­kan kuliah umum di kelas etno­mu­si­kologi di sana. Dari sinilah ka­mi melihat potensi dangdut dan membuat Hello Dangdut,” ujarnya.

Sekarang ini, Bekraf sedang dalam tahap penyusunan peta jalan untuk mempromosikan dang­dut tidak hanya di Indonesia, tetapi dunia. Joshua mengatakan, pada awalnya tentu harus mencari jenis musik dangdut yang bisa diterima di luar negeri. Sebab, saat ini jenis musik dangdut pun sudah beragam.

Oleh karena itu, saat ini Bekraf memberikan tantangan kepada para penyanyi, arranger, dan lainnya yang berada di dunia musik, khususnya dangdut untuk mengintepretasikan bagaimana musik dangdut ingin ditampilkan di dunia. Hello Dangdut yang kemarin ditampilkan, menurut Joshua, merupakan sebuah proto­tipe dari pertunjukan dangdut yang dikemas secara berbeda. Harapannya, dangdut nantinya bisa seperti musik reggae dari Jamaika yang sudah mendunia.

“Saat ini kami sedang menca­ri jalan agar untuk bekerja sa­ma dengan produser dari luar ne­geri untuk dangdut. Sebab, ka­mi percaya, untuk bisa ke luar ne­ge­ri, hal ini perlu dilakukan. Tidak hanya produser musik, tetapi mulai dari pakaiannya, poster promosinya, atau bahkan membuat film dengan melibatkan dangdut,” ujarnya.

Upaya membawa dangdut ke luar negeri ini diapresiasi oleh Ali. Namun, menurutnya ekosistem di dalam negeri sendiri harus di­ba­ngun terlebih dulu. Dangdut mu­lai harus diberikan kemasan ba­ru dan perlakuan khusus, mi­sal­nya menampilkan dangdut di ballroom, memberikan tema li­­rik atau musik yang lebih lu­as, misalnya hal sosial dan ling­kung­an, atau tidak menutup ke­mung­kinan menggunakan baha­sa Ing­gris.

“Dari sini, ekosistemnya pas­ti akan terbentuk sendiri dan mengikuti. Sehingga pada akhir­nya, dangdut menjadi sebuah opsi bagi masyarakat dunia dan bisa dipertanggungjawabkan dan ser­ta dinikmati lebih banyak orang,” pungkas Ali. [VTO]

Bahana Merdu Simfoni Kota

Di kota-kota besar di dunia, orkes simfoni tumbuh dan hidup sebagai identitas budaya. Konser-konsernya dinanti, menjadi agenda rutin kota, bahkan daya tarik wisata. Menunjukkan girapnya gairah berkesenian dan menjadi salah satu jalan mewujudkan masyarakat berbudi halus.

Kelompok orkes simfoni kota semacam itu belum banyak dimiliki Indonesia. Kita baru punya Jakarta Concert Orchestra yang telah berdiri pada 2002, lalu Bandung Philharmonic dan Jakarta City Philharmonic (JCP) yang menyelenggarakan konser pertamanya pada 2016. Sampai saat ini, dengan dukungan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), Bandung Philharmonic dan JCP telah enam kali konser.

Foto-foto dokumen Bandung Philharmornic

“Bandung adalah kota ketiga terbesar di Indonesia dan sering dikatakan sebagai pusat seni. Namun, orkes simfoni sebagai salah satu wadah seni saya lihat belum ada waktu itu,” kata Airin Efferin, pendiri dan Direktur Eksekutif Bandung Philharmonic, Rabu (11/10).

Dengan modal nekat, pianis muda ini dan beberapa kawannya lantas merintis Bandung Philharmonic. Ia meminta Robert Nordling, gurunya di Amerika Serikat, untuk menjadi pengarah musik dan pengaba. Michael Hall dimintanya juga menjadi pengarah musik dan pendidikan. Anggota-anggotanya dipilih dengan audisi. Kini, upaya itu membuahkan hasil.

“Animo masyarakat semakin tinggi. Tiket selalu habis. Semakin ke sini, periode orang memesan tiket juga makin awal,” tutur Airin.
Opini serupa tentang pentingnya filharmoni diungkapkan Anto Hoed–musikus, Ketua Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta, sekaligus penggagas JCP. Ia mengatakan, kita membutuhkan etalase dan ruang berkarya untuk musisi kita, apalagi di kota sebesar Jakarta. Dalam pergaulan internasional, musik berperan besar untuk diplomasi budaya.

Daya saing

Konser orkestra rutin juga mengasah kompetensi dan meningkatkan kualitas pemusik. “Lewat blind audition, kami juga menyediakan kursi-kursi kosong untuk pemain baru agar mereka bisa ikut tampil di konser JCP. Tujuannya, regenerasi pemain,” kata Anto, Rabu (11/10).

Lebih jauh, peningkatan kompetensi musisi lokal akan mempertinggi daya saing mereka, baik di level nasional maupun internasional. Di sejumlah industri, perfilman, misalnya, kebutuhan pemusik ini sangat tinggi. Etalase dan ruang berkarya seperti orkestra akan membuka peluang, baik dari sisi industri maupun pemusik, untuk bertemu. Jalan berkarya bagi pemain alat musik yang cukup jarang pun, seperti bass clarinet, english horn, atau contrabassoon, kian terbuka.

Dalam eskalasi industri yang lebih besar, pertukaran pemain atau pengaba dengan kelompok-kelompok filharmoni dari negara lain sangat mungkin terjadi. Juga terbukanya peluang mengisi musik untuk film-film Hollywood, misalnya.

“Orkes simfoni seperti ini bisa dikembangkan sampai level menggabungkannya dengan musik tradisi. Indonesia adalah kantong yang potensial,” tutur Anto.

Terbentuknya kelompok-kelompok filharmoni adalah batu pijakan untuk tujuan-tujuan yang lebih besar ke depan. Meningkatnya kualitas musisi, terbentuknya ekosistem musik yang sehat, bergeraknya industri musik, dan memasyarakatnya musik klasik.

“Yang kami kejar itu tidak sekadar event, tetapi juga akibat dari event itu, yang mungkin baru bisa dirasakan lima tahun ke depan,” ujar Anto.
Teredukasinya masyarakat dan penonton termasuk bagian dari dampak itu. Menyelenggarakan konser secara rutin membiasakan orang untuk menonton dan mendengarkan musik klasik dengan cara yang lebih santun dan berkelas. Ini juga menjadi wujud membumikan musik klasik yang kadang masih terasa eksklusif.

“Saya ingin kelak musik klasik masuk ke dalam ekosistem musik di Indonesia, seperti pop, rock, atau jazz. Menjadi bagian dari gaya hidup,” kata Anto.
Deputi Pemasaran Bekraf Joshua Simandjuntak menambahkan, salah satu ekosistem yang butuh dibangun dalam memajukan musik klasik adalah aula konser (concert hall). Ini pulalah alasan dipilihnya Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) sebagai tempat penyelenggaraan JCP, untuk mengembalikan fungsi aula konser dan mendekatkan GKJ kepada masyarakat.

Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan kesenian seperti musik juga menjadikan masyarakat lebih sehat. Dalam bahasa Anto, ini adalah konsep edukasi yang segar. Terkait dengan pluralisme Indonesia, Airin mengungkapkan, orkestra adalah contoh yang baik untuk melihat bagaimana keragaman itu menjadi harmoni yang indah.

“Pertunjukan seni semacam ini mengangkat perbedaan-perbedaan itu ke panggung dan menunjukkannya secara langsung tanpa time lapse. Itu pesan penting di zaman ini, bahwa kita yang berbeda-beda bisa bekerja sama dan menghasilkan sesuatu yang indah,” ujar Airin.
Harmoni nada yang merdu telah terdengar dari kota-kota Indonesia. Kita berharap kumandangnya terus membahana sampai ke seluruh negeri. [NOV/VTO]

Bahu-membahu Bangun Ekosistem Musik Indonesia

Sekitar tiga tahun silam, Daiva Prayudi prihatin melihat banyak klub tidak memperbolehkan lagu-lagu Indonesia diputar. Bersama teman-temannya DJ Merdi Simanjuntak dan Fadli Aat, Daiva berusaha mendobrak hal tersebut. Bagi mereka, lagu dan musisi lokal harus mendapat tempat. Maka, pada awal 2015, muncullah Suara Disko yang dimotori Diskoria.

Diskoria terdiri atas duo DJ, Merdi dan Aat, serta Daiva yang bertindak sebagai creative director. Suara Disko merupakan gerakan yang memopulerkan kembali lagu-lagu musisi Tanah Air melalui ajang pesta (party). Ternyata, hasilnya di luar perkiraan, sambutannya cukup antusias sehingga Suara Disko pun dibikin lagi edisi-edisi berikutnya hingga kini.

Foto dokumen Suara Disko

Serupa dengan Diskoria, Buddy Ace, wartawan musik yang sudah mengikuti tren musik lokal sejak dekade 1980-an melihat bahwa industri musik Tanah Air masih bertopang pada pola musik barat. “Padahal kita punya pola musik lokal, musik etnik, yang belum dimanfaatkan untuk mengembangkan musik Indonesia,” tutur Presidium Indonesia Music Forum ini. Berangkat dari keprihatinan itulah, ia menggagas diadakannya Wrockshop.

Sejauh ini, Wrockshop sudah berlangsung di 4 kota, yaitu Palu, Malang, Yogya, dan Bali. Dugaan Buddy bahwa banyak musisi daerah yang masih kebarat-baratan terbukti benar. “Misalnya, karena Despacito lagi hits, ada yang memasukkan unsur latin dalam musiknya. Padahal, kita punya gaya latin sendiri yang tidak kalah menarik,” ujar Buddy. Melalui Wrockshop, ia ingin mengingatkan bahwa jika ingin industri musik lokal berkembang, harus memasukkan local wisdom, menyerap musik tradisi dalam musik modern.

Ekosistem

Terobosan seperti Suara Disko dan Wrockshop adalah dinamika industri musik Tanah Air yang memperlihatkan bahwa musik lokal memiliki peminat dan dapat dikembangkan dengan ciri khas setempat. Sayangnya, karena ekosistemnya belum terbentuk, musisi lokal jadi seperti “pengamen” yang numpang lewat, bukan aset bisnis yang bisa dikembangkan.

Menurut Kepala Subdit Edukasi Ekonomi Kreatif untuk Publik Badan Ekonomi Kreatif Indonesia (Bekraf) Amin Abdullah, pihaknya berupaya mendukung terbentuknya ekosistem musik Indonesia dari berbagai bidang seperti tecermin dari deputi-deputi yang ada di Bekraf. Ada yang terkait riset, edukasi dan pengembangan, ada pula yang menyangkut akses permodalan, infrastruktur, pemasaran, hak kekayaan intelektual dan regulasi, hingga hubungan antarlembaga.

Wrockshop merupakan upaya salah satu contoh upaya edukasi dengan capacity building para pelaku industri musik Tanah Air. Amin menuturkan, selain skills dan kemampuan teknis memproduksi musik, musisi Indonesia juga memiliki masalah dalam pemasaran, membentuk jaringan, dan lain-lain.

Pengarsipan

Upaya lain yang tak kalah penting adalah pengarsipan. “We create the future from history,” ujar Amin. Kemampuan kita untuk mempelajari sejarah, menganalisis masa kini, dan menciptakan masa depan. Ia mencontohkan, folk rock atau musik etnik yang digagas Buddy Ace sebenarnya sudah dilakukan, misalnya oleh The Beatles dan The Rolling Stones berkolaborasi dengan permainan sitar dari musisi India Ravi Shankar. “Itu sudah dilakukan. Bagaimana kita modifikasi yang sudah dilakukan sejarah dan mengaitkannya dengan era milenial,” papar Amin.

Itu sebabnya, Bekraf juga mendukung upaya Irama Nusantara yang digagas oleh David Tarigan dan teman-temannya. Menurut David, peran pengarsipan ini sangat mendasar dan luas sekali manfaatnya. Jika menilik musik-musik yang pernah dirilis di Tanah Air, menurut David yang diketahui masyarakat amat sangat sedikit. Dengan ketersediaan arsip musik, kebutuhan berbagai pihak terkait musik Tanah Air dapat diakomodasi, baik penikmat musik kasual, mereka yang ingin mendengarkan sesuatu yang baru, hingga untuk kebutuhan akademis.

Hingga kini, Irama Nusantara sudah mengarsip 2.500 hingga 3.000 musik Tanah Air. Sumbernya dari mana saja, mulai dari para kolektor, pedagang, dan dengan bantuan Bekraf juga bisa mengakses koleksi milik RRI.

Masih banyak pekerjaan rumah yang menumpuk dalam rangka membangun ekosistem musik Tanah Air. Namun, karena menyadari bahwa hal ini penting bagi perkembangan industri musik Indonesia, kita patut bersyukur ada orang-orang seperti Buddy, David, serta Daiva dan teman-temannya. Kalau bukan kita, siapa lagi? [ACA]