Diam-diam, banyak kreasi anak bangsa ternyata su­dah melanglang buana ke luar negeri. Tak hanya be­ker­ja sendiri, masyarakat pun di­berdayakan. Upaya kolektif ini mengha­sil­kan efek domino yang positif untuk ne­ga­ra.

Bagi masyarakat Indonesia, nama Riris Simanjuntak (38) terdengar asing. Namun, siapa sangka, melalui bendera Indo Risakti, perempuan berpendidikan akuntansi ini bersama kawan-kawan perajinnya di Bantul, Yogyakarta berhasil mengembangkan usaha berbasis barang daur ulang hingga ke mancanegara. Riris memanfaatkan kertas koran bekas dan eceng gondok sebagai bahan material pembuatan produk, antara lain keranjang, vas, dan aksesori interior. Saat ini, pasar terbesarnya adalah Amerika Serikat.

Guna memacu potensi perajin, Riris bahkan kerap mengajak mereka mengikuti pameran internasional. Terakhir, Riris membawa perajin ke Ambiente, pameran desain dekorasi interior dan furnitur berskala dunia di Jerman, Februari lalu.

Foto-foto dokumen Bekraf

“Saat pulang, dia bisa bercerita penga­lamannya ke perajin lain agar bisa lebih semangat untuk berkarya, menghasilkan produk yang berkualitas, dan memahami pentingnya pemasaran sebuah produk,” ujar Riris.

Setali tiga uang dengan Riris, Harry Mawardi pendiri Amygdala Bamboo, ju­ga melibatkan pe­rajin bambu di Tasikmalaya secara kolektif. Amygdala Bamboo sendiri berawal dari kegiatan pe­ne­litian di kampus di mana Harry menjadi staf pengajar pada program stu­di Desain Produk Institut Teknologi Ban­dung. Kala itu, dia diwajibkan untuk melakukan penelitian dan pengabdian mas­yarakat.

“Kita pilih perajin bambu karena ber­dasarkan survei pe­­ra­jin bambu me­ru­pakan salah sa­tu perajin yang per­lu dibantu. Ka­mi mem­bu­atkan desain baru agar kar­ya mereka bi­sa me­­­­­nembus pasar mo­dern,” ucapnya.

Dalam tiga ta­hun, mereka telah me­­­nge­­lu­arkan lebih dari 100 desain pro­duk yang keba­nyakan berkategori de­ko­rasi ru­­mah, antara lain table wa­re seperti pegangan cangkir ko­pi, tray, lampu, kursi, dan pintu. Kini, Harry sedang mencoba merambah dunia fashion. Produk seperti perhiasan, tas, jam tangan, kacamata, dan lainnya mulai diproduksi. Bambu masih menjadi basis materialnya.

Tembus pasar asing

Riris dan Harry merupakan bagian kecil dari anak bangsa yang ingin mengibarkan produk dalam negeri dengan memberdayakan perajin. Kegigihannya pun berhasil membuat mereknya digemari pasar asing. Bahkan, mereka terpilih untuk mewakili Indonesia di ajang pameran internasional terkait desain produk.

Indo Risakti kembali terpilih untuk ikut New York (NY Now) pada Agustus kemarin. NY Now merupakan salah satu pameran internasional yang bergengsi dalam industri gift, dekorasi rumah, dan furnitur yang memiliki karakter desain modern dan kontemporer.

“Keikusertaan dalam event seperti NY Now, jadi bagian dari pemasaran dan promosi kriya dan desain produk Indonesia di pasar dunia, yang tentunya diharapkan bisa ber­manfaat dalam me­­­ma­jukan usaha mik­ro, kecil, dan me­ne­ngah,” ujar­­nya.

Amygdala Bamboo pun sudah meng­ekspor produknya berbagai negara. Ka­rena itu, Amygdala Bamboo diajak Bekraf sebagai salah satu pe­serta event pa­meran de­sain produk kon­tem­porer Salone del Mobile 2017 di Milan, Italia. Salone del Mobile adalah ajang bergengsi yang menjadi rujukan tren desain dan kriya di dunia. Ajang ini, selain dapat memberikan berbagai inspirasi bagi ke­majuan desain di Indonesia ju­ga meru­pakan pintu gerbang untuk mema­suki pasar global.

Menurutnya, keikutsertaan di event seperti ini sangat bagus karena sangat membantu dari sisi coverage. Namun, ada baiknya jangan berhenti pada pameran. Dia berharap, kerajinan Indonesia yang akarnya sudah kuat ini bisa difasilitasi atau dibuatkan sistem agar bisa lebih banyak berbicara di pentas dunia. Sebab, selama ini, industri kerajinan masih kerap dipandang sebelah mata, dianggap sebagai industri murahan. Padahal, penyerapan tenaga kerja dan kontribusinya pada pendapatan negara cukup besar.

“Peran Bekraf sudah cukup aktif untuk membawa produk Indonesia ke pameran yang memang kelasnya tidak main-main. Namun, sekali lagi, kontinuitasnya perlu dipikirkan. Setelah pameran, mau ngapain?” ucapnya.

Potensi masih tinggi

Deputi Riset, Edukasi, dan Pengem­bangan Bekraf Boy Berawi menyebutkan, 11 persen desain produk Indonesia sudah dipasarkan di luar negeri. BPS juga men­catat, desain produk menghasilkan nilai tambah mencapai Rp 1,5 triliun pada 2010. Angka ini menyentuh Rp 5 triliun pada 2015.

“Desain produk masih punya ruang lebar untuk dikembangkan. Pemberian akses permodalan masih terus digarap Bekraf, sebab 93,94 persen pelaku usaha desain produk masih menggunakan modal pribadi untuk pendanaan. Permasalahan pendaftaran HKI juga terus dikerjakan Bekraf agar lebih mudah dilakukan. Sebab, hanya 11,56 persen saja pelaku desain produk yang punya HKI,” ungkapnya.

 

Agar subsektor desain produk bi­sa lebih maju, Boy mengatakan, ekosistem­nya masih harus diintervensi dari sisi hulu hingga hilir. Pada bagian hulu, bi­sa dimulai dai eksperimen identitas pro­duk, pengemasan, penelitian hingga pema­sar­an. Program peningkatan kapasitas SDM juga harus dilakukan agar se­ma­kin profesional dan kompeten. Semen­tara itu, bagian hilir bisa dengan meningkatkan sarana dan prasarana untuk software, hardware, studio, workshop, dan peningkatan skill komunikasi pemasaran dan branding.

“Dengan adanya penguatan ekosistem bagian hulu hingga hilir, diharapkan para pelaku serta penggerak ekonomi kreatif dapat memiliki kesempatan yang jauh lebih besar untuk meningkatkan proses bis­nis baik dari segi kuantitas maupun kua­li­tasnya,” pungkasnya. [VTO/ACH/ACA]

Orbit 2017, Akselerasi Kapasitas Wirausaha indonesia

Pendanaan adalah modal berharga untuk memulai usaha, apalagi untuk pengembangan. Namun, hal itu bukanlah yang utama. Ada yang membutuhkan kemampuan pemasaran, pemahaman software dan hardware teknologi, atau sistem manajerial.

Abie Abdillah, pemilik merek furnitur Studio Hiji, misalnya. Kendati sudah cukup stabil di pasar domestik, bahkan telah mengekspor ke beberapa negara, Abie merasa kemampuannya dalam berwirausaha masih harus ditingkatkan.

Oleh karena itu, Abie memutuskan untuk ikut program Orbit yang diadakan oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Orbit merupakan wahana bagi para desainer muda Indonesia yang punya talenta dan berniat untuk berkembang secara maksimal serta berkelanjutan. Namun, program ini bukanlah kompetisi, sayembara, atau lomba desain.

Dokumen Adi Prawira/Studio Hira

“Saya ikut Orbit untuk peningkatan kapasitas agar produk Hiji bisa lebih dikenal lagi. Jadi, bukan lagi orang melihat saya sebagai seorang desainer produk saja, tetapi Hiji yang sebagai merek. Saya ingin merek Hiji ini bisa diinkubasi,” ujarnya.

Keinginan ini muncul karena dia melihat produk Indonesia selama ini hanya dianggap sebatas komoditas. Padahal, kualitasnya tak kalah dengan asing. Produk Indonesia dibeli lalu dicap merek asing.

Padahal, karya Abie ini tidak sembarangan. Hiji sudah dikenal di domestik sebagai sebuah produk furnitur berkualitas berbasis rotan. Hiji sudah mengekspor ke Kanada, Italia, dan Selandia Baru.

“Melalui Orbit, saya belajar banyak dan langsung dari steering committee atau pakar yang memang mendampingi sesuai kebutuhan kapasitas kita. Saya berharap, para pakar itu diharapkan bisa berbagi jaringan dengan kita agar akses terhadap pasar bisa terbuka. Kolaborasi dengan peserta lain juga terbuka,” ujarnya.

Banyak manfaat

Orbit 2017 meluluskan 20 karya melalui proses seleksi yang ketat. Selain desain produk, ada juga subsektor arsitektur, desain interior, desain komunikasi visual, desain fashion, desain tata cahaya, desain tekstil, kriya, dan lanskap. Peserta yang bisa mengikuti program ini adalah desainer yang masih berusia 35 tahun.

Pemilihan karya menekankan pada sisi inovasi berbasis riset, pengembangan, dan berkelanjutan. Selain itu, kemampuan pemecahan masalah masyarakat dan kepedulian terhadap alam serta budaya sehingga memberi dampak sosial positif menjadi penilaian. Direktur Edukasi dan Pengembangan Ekonomi Kreatif Poppy Savitri mengatakannya.

Foto dokumen Bekraf

“Yang paling penting adalah ‘kepribadian’ desainernya, terutama mereka yang punya kepedulian dan kelak mau berkontribusi baik tenaga dan pemikiran untuk bangsa dan negara melalui profesinya. Boleh dikatakan, ini jadi bagian bela negara dari pelaku kreatif subsektor desain,” ujarnya.
Ke-20 peserta ini akan mendapatkan banyak fasilitas, antara lain pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual, pendampingan dari mentor, dilibatkan dalam kegiatan kedeputian lain di Bekraf, dan difasilitasi mengikuti program magang dalam negeri maupun luar negeri. Mereka juga bisa mengajukan studi banding ke luar negeri dan ikut serta di IKKON. Pendampingan akan dilakukan sampai mereka mampu berdiri sendiri.

Abie berharap, program seperti ini bisa diperbanyak, tetapi pengembangannya lebih dipertegas agar usaha kreatif ini bisa bersaing dengan industri besar. Lebih jauh, melalui Orbit ini, dirinya juga ingin agar profesi desainer produk ini bisa diapresiasi dan dihargai. “Jadi, di masa depan, kami yang bekerja di desain produk bisa punya standar keprofesian,” pungkas Abie. [VTO/NOV]

Lokomotif Gerakan Membangun Desa

Sejak 2012, desainer Singgih S Kartono, yang namanya dikenal karena radio kayu Magno, gemar bersepeda pagi. Untuk menurunkan kolesterol, mulanya. Namun, manfaat yang ia dapatkan lantaran kebiasaannya itu lebih dari sekadar kesehatan. Ia memperoleh energi untuk berkarya.

Suatu kali, Singgih dibuat takjub oleh sepeda bambu buatan Craig Calfee yang berkebangsaan AS. Sebagai seorang desainer, ia jadi tergerak untuk juga mengembangkan desain sepeda dari bambu, yang materialnya tersedia melimpah di Desa Kandangan, Temanggung, Jawa Tengah, desa tempatnya bernaung. Riset dan pengembangan desain dilakukan sejak awal 2013. Kemudian, proses produksi dimulai pada akhir 2014.

Sepeda bambu buatan Singgih diberi merek Spedagi, diambil dari kata “sepeda pagi”. Singgih menggunakan jenis bambu petung (Dendrocalamus asper). Rangka bambu untuk Spedagi dibuat dari bilah tangkup bambu yang dihubungkan dengan metal khusus (lugs). Singgih menga­takan, satu batang bambu petung dengan diameter kira-kira 15 sentimeter dan panjang 12 meter cukup untuk menjadi rangka 5 sampai 7 sepeda.

Foto-foto dokumen Spedagi

Sebagai material lokal yang siklus panennya cepat dan tunasnya dapat tumbuh dari akar yang tertinggal di dalam tanah, bambu sangat potensial sebagai material berkelanjutan. Untuk dijadikan bahan baku sepeda, bambu juga cocok karena kekuatannya teruji dan memiliki sifat penyerap getaran yang baik.

Tak hanya nyaman dipakai dan secara visual apik, kehadiran Spedagi melampaui aspek fungsional dan estetika produk. Spedagi juga menjadi ikon untuk Spedagi Movement, gerakan revitalisasi desa yang digaungkan Singgih.

“Selama ini, pemanfaatan bambu masih sangat terbatas. Bambu bahkan dianggap dekat dengan simbol kemiskinan. Saya ingin menunjukkan bahwa material bambu yang banyak ditemukan di desa-desa ini bisa dibuat dengan nilai tambah yang tinggi. Masyarakat desa bisa mengambil inspirasi dari sini,” tutur Singgih, Selasa (3/9).

Spedagi menjadi contoh bagaimana sesuatu yang indah dan bernilai diciptakan dari apa yang ada di sekitar. Dengan gerakan revitalisasi desa, Singgih ingin mengajak orang menyadari betapa desa besar potensi yang ditawarkan desa sebagai sumber penghidupan jika kita mau menggarapnya.

Lahan yang subur menjadi berkat untuk hasil pertanian dan perkebunan. Material-material alam bisa diolah menjadi beragam produk dan kerajinan. Budayanya bisa mendatangkan orang yang ingin belajar atau berwisata. Kebutuhan-kebutuhan hidup yang bisa dipenuhi dari sumber-sumber lokal juga sejalan dengan prinsip hidup berkelanjutan.

Bermula dari Spedagi, kegiatan revitalisasi desa berlanjut dengan diselenggarakannya International Conference on Village Revitalization (ICVR) yang pertama kali diadakan di Desa Kandangan pada 2014. Aktivitasnya, yang melibatkan partisipan lokal dan internasional, berfokus pada diskusi dan lokakarya seputar revitalisasi desa. ICVR pertama ini juga sekaligus menjadi perhelatan untuk International Conference of Design for Sustainability (ICDS) ke-9. ICDS adalah konferensi internasional tahunan di Jepang yang berfokus pada desain berkelanjutan.

Pada 2016, ICVR kedua diselenggarakan di Desa Ato, Prefektur Yamaguchi, Jepang. Pada acara itu, Singgih bertemu dengan Asuka, warga Ato yang tertarik dengan Spedagi Movement. Asuka, bersama dengan Fumikazu Masuda, profesor bidang desain berkelanjutan di Tokyo Zokei University, lantas mengadopsi konsep Spedagi Movement untuk dikembangkan di Jepang. Pertama di Ato, kemudian di Tokyo. Mereka membuat sepeda bambu dari material lokal sebagai bagian dari gerakan mengajak anak-anak muda Jepang kembali ke desa.

“Ini menarik, karena ketika kita fokus dengan potensi dan permasalahan otentuk yang kita hadapi di Indonesia, khususnya di desa, ternyata kita memiliki peluang untuk juga membuat perubahan di negara maju,” ungkap Singgih.

Manfaatkan “papringan”

Selain menciptakan produk-produk yang materialnya berasal dari sekitar, Singgih juga menularkan inspirasi untuk mengembangkan potensi desa dengan beragam cara lain, misalnya menggagas Pasar Papringan. Papringan adalah istilah Jawa untuk lahan yang ditumbuhi rerumpunan bambu.

Lahan yang mulanya kerap dijadikan lokasi pembuangan sampah itu dibersihkan. Tanahnya dikeraskan dengan bebatuan kali menjadi jalan trasah, yang lebih ramah lingkungan dan mencerminkan kearifan lokal ketimbang jalan beton atau aspal.

Papringan lantas dijadikan tempat bagi masyarakat desa untuk berjualan produk-produk kerajinan, kuliner, dan hasil tani setiap hari Minggu Wage dan Minggu Pon. Pada 2016, Pasar Papringan diselenggarakan di Dusun Kelingan, Temanggung. Sementara sejak 2017, Pasar Papringan mengambil lokasi di Dusun Ngadiprono, Kedu.

“Pasar Papringan adalah bentuk preservasi kebun bambu, upaya kreatif untuk menjelaskan ke masyarakat tentang pentingnya papringan. Membuat masyarakat merasakan manfaat ekonomi dan keriangannya, lantas mengapresiasinya. Kegiatan ini kami harapkan menjadi lokomotif untuk perkembangan desa berikutnya,” kata Singgih. [NOV]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 7 Oktober 2017