Karya yang dipublikasikan dan dibaca banyak orang adalah impian setiap penulis cerpen. Sayangnya, cerpen mereka tidak mudah menembus media arus utama. Karena persaingan yang luar biasa ketat, biasanya pengasuh rubrik cerpen memasang standar tinggi dalam menyeleksi setiap karya.

Harian Kompas—se­bagai media nasional beroplah terbesar di Indonesia—dan sudah berusia 54 tahun, banyak diharapkan para penulis cerpen untuk mendekatkan karya mereka ke masyarakat.

Harian Kompas memang sejak dari awal terbitnya, tahun 1965, memopulerkan apa yang kemudian disebut sastra koran. Oleh karena itu, untuk membantu meningkatkan kemampuan para penulis cerpen, Kompas Institute setiap tahun menyelenggarakan Kelas Cerpen Harian Kompas, yang menjadi salah satu signature event dalam merayakan ulang tahun Kompas.

Kelas bertajuk “Penulisan Kreatif: Cerita Pendek” tahun ini berlangsung 27–28 Juni 2019. Selama 2 hari, 30 peserta belajar kiat-kiat dan praktik menulis cerpen di kelas Kompas Institute yang berlokasi di Gedung Kompas Gramedia Unit II Lantai 3, Palmerah Selatan 26–28, Jakarta.

Mereka dibimbing langsung oleh para ahlinya. Triyanto Triwikromo (cerpenis dan penerima penghargaan Kesetiaan Berkarya Kompas 2017), Raisa Kamila (cerpenis dan peneliti sejarah), Bre Redana (penulis, mantan Redaktur Kompas Minggu), dan Putu Fajar Arcana (Redaktur Cerpen Kompas).

Unsur-unsur cerpen

Menurut Triyanto, dalam me­nulis sebuah cerpen ada dua pilar utama: struktur dan makna. Struktur bermanfaat untuk membantu penulis, khususnya penulis pemula, dalam membangun sebuah cerita yang masuk akal dan koheren.

Meski demikian, Triyanto tidak menghalangi penulis untuk mengabaikan struktur, dengan syarat penulis memang sudah menguasai teknik penulisan cerpen. “Yang paling penting adalah pahami strukturnya dulu, baru Anda boleh antistruktur. Pahami logikanya dulu, baru nanti Anda boleh antilogika.”

Material pembangun cerpen lain adalah makna. Bagi Triyanto, cerpen adalah bentuk komunikasi antara penulis dan pembaca sehingga cerpen membutuhkan makna untuk kemudian diuraikan dan diinterpretasikan oleh komunikator dan komunikan.

Triyanto juga memaparkan tentang unsur ekstrinsik yang meliputi kondisi psikologis dan sosial dalam proses penulisan cerpen. Berperannya unsur ekstrinsik akan menjadikan cerpen sebagai hasil dari suatu proses internalisasi panjang penulis.

“Karya sastra tidak sebatas menganalisis cerita, tetapi juga berusaha mengenali penulis karya tersebut,” kata Triyanto.

Data dan estetika

Setelah mengetahui unsur-unsur pembangun sebuah cerpen, kelas diteruskan dengan pembahasan pengembangan data sejarah sosial menjadi cerpen. “Tidak sebatas menghibur, cerpen juga bisa bersifat edukatif ketika didasari atau didukung dengan data-data yang digali melalui metode riset,” tutur Raisa.

Selain itu, mengeksplorasi penggunaan data baik primer ataupun sekunder, yang dalam kelas ini dispesifikasikan menjadi data sejarah sosial, memiliki manfaat antara lain memberikan perspektif alternatif dari sejarah yang cenderung didasarkan pandangan pihak dalam pusaran utama.

Maka, Raisa mengarahkan peserta untuk mengumpulkan data dengan cara meninjau arsip-arsip yang ada pada zaman yang ingin dipelajari. Arsip tersebut bisa berupa catatan perjalanan hidup seseorang, surat kabar, dan dokumen pendukung lainnya. Jika memungkinkan, peserta bisa menggali data secara langsung dengan menemui pelaku sejarah dan mewawancarai yang bersangkutan.

Sebelum memulai penulisan berbasis sejarah, Raisa mengingatkan peserta agar mengetahui ter­lebih dahulu motivasi yang melatar­belakangi penulisan cerita tersebut. Hal ini karena motivasi menulis bisa memengaruhi narasi data yang akan digali melalui riset dan narasi yang dibangun dari hasil riset tersebut. Setelah mengetahui motivasi penulisan, peserta bisa menentukan perspektif apa yang akan digunakan dan aspek apa yang harus ditonjolkan.

Selain memperhatikan hal teknis dalam menyusun cerpen, estetika menjadi aspek lain yang perlu diperhatikan. Dalam hal ini, Bre berbagi pengetahuan seputar penulisan cerpen berdasarkan pengalamannya selama 11 tahun ketika menjadi Redaktur Kompas Minggu yang menggawangi rubrik cerpen di Harian Kompas.

Menurut Bre, kualitas estetik ditemui dan dikembangkan kala kualitas tersebut tidak dibakukan dengan standar dari siapa pun. Karena ketika suatu cerpen sampai di tangan pembaca, cerpen tersebut menjadi teks yang mandiri. “Kalau kriteria estetik saya bakukan, kreativitas berhenti. Sastra harus bicara atas nama dirinya sendiri, bukan kriteria editor, bukan kriteria Anda. Setelah Anda menulis, Anda tidak ada.”

FOTO-FOTO DOK KOMPAS INSTITUTE

Pembekalan materi yang lebih mendalam diberikan pada hari kedua dan peserta berkesempatan berdiskusi secara intens dan personal melalui sesi author speed dating. Pada sesi ini, peserta dipersilakan mengonsultasikan cerpen yang sudah mereka buat dengan setiap pemateri secara cepat. Pengadaan kelas dengan format demikian mengizinkan peser­ta untuk menerima masukan konstruktif secara lebih spesifik guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan menulis cerpen mereka.

“Buat saya, ini menyenangkan banget dan informatif karena dapat banyak ilmu dari ketiga pemateri dan ilmunya benar-benar substantif. Jadi, bukan cuma omong-omong kayak motivasi, tapi benar-benar ada teknik. Ini pengembangan besar buat saya nantinya,” tutur salah satu peserta kelas menulis, Muhammad Rangga Padika.

Kompas Institute yang berdiri pada 17 Mei 2018 adalah lembaga pelatihan dan pendidikan di bawah naungan Harian Kompas. Hingga saat ini, Kompas Institute telah menyelenggarakan pelbagai pelatihan dalam lingkup fotografi, integrated marketing communication, kehumasan, dan penulisan naratif yang diikuti oleh lebih dari 450 peserta.

Untuk informasi lebih lanjut dan pendaftaran kelas mendatang, Anda bisa langsung mengunjungi situs institute.kompas.id dan untuk kerja sama in-house training dapat mengirimkan surel ke [email protected]. Sampai jumpa di kelas berikutnya! [KOMPAS CORNER/BRIGITTA BELLION/MEISKA PRAMUDHITA]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 7 Juli 2019.