Budaya siber membentuk kenyataan dunia digital menjadi “the art of everyday life”, akan kebiasaan kehidupan kita yang sudah kita ekspresikan di dunia digital. Tentu saja baiknya kita mengekspresikan diri dengan penuh perhatian pada etika yang berlaku, namun juga secara estetis agar dapat menjadi konten yang menarik bagi sesama pengguna media.

Diperlukan tiga hal untuk membuat sebuah konten menjadi “artsy”. Pertama, direction atau perspektif harus jelas dengan suatu tujuan untuk memenuhi target apa yang kita inginkan. Dibutuhkan style atau gaya yang membuat kita memiliki nama oleh orang lain, yang bisa mengidentifikasi diri kita atas suatu ciri khas tertentu, serta sebuah narasi yang menarik sehingga memiliki nilai positif. Sayangnya tidak semua orang memahami hal-hal tersebut sehingga masih banyak konten yang dinilai negatif di ranah internet.

Menyikapi hal itu, Kominfo bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital dalam menggelar webinar dengan tajuk “Memahami Batasan dalam Kebebasan Berekspresi di Dunia Digital”. Webinar yang digelar pada Rabu (14/7/2021) diikuti oleh ratusan peserta secara daring.

Dalam forum tersebut hadir Zahid Asmara (Art Enthusiast), Athif Thitah Amithuhu (Media Sastra Online Ceritasantri.id), Abdul Rohim (Redaktur Langgar.co), Prisa Kandora (Kaizen Room), dan Jevin Julian (The Remix Vice Champion dan Pemenang AMI Awards) selaku narasumber.

Berekspresi di media digital

Dalam pemaparannya, Zahid Asmara menyampaikan, “Magic is real, identity is fluid. Artinya adalah sesuatu yang magic menjadi sesuatu yang nyata, dengan berbagai medium karya yang membutuhkan identitas kita menjadi lentur dan adaptif. Kita sebagai pengguna media sosial bebas berkreasi dan turut berpartisipasi dalam menyumbangkan konten-konten di internet, namun harus tetap memiliki batasan diri.”

Zahid menjelaskan, dalam berekspresi di media digital, perlu menerapkan beberapa elemen seperti, objective, content purpose, formula, dan content pillars. Objective adalah identitas yang ingin ditunjukkan di dunia digital, seperti nama akun atau bisa untuk personal branding dengan gagasan yang disebarkan dan karya yang ia pamerkan.

Formula adalah konsistensi atas cara atau metode dalam menciptakan identitasnnya di media sosial, misalnya dengan mem-post foto-foto dengan tema suatu warna atau tone berdasarkan jadwal yang sudah dibuat. Content pillars adalah pembagian nilai atas kategori tertentu untuk menghasilkan apa yang kita tunjukkan, dan content purpose adalah tujuan yang kita penuhi secara tepat dengan interaksi yang kita bangun melalui tiga hal yang sudah dipaparkan sebelumnya,” ujarnya.

Para partisipan yang hadir juga dipersilahkan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Toni menyampaikan, “Dalam berekspresi di internet, kadang kita harus turun tangan dalam melaporkan konten-konten yang negatif. Bagaimana kita menanggapi konten-konten tersebut tanpa mengalami risiko atau reaksi yang tidak diinginkan, seperti cyberbullying atau aksi cybercrime lainnya, dan apakah identitas kita aman jika melaporkannya ke aduan konten atau lembaga pengaduan lainnya?”

Pertanyaan tersebut dijawab dengan lugas oleh Prisa Kandora. “Kita bisa menggunakan fitur lapor yang sudah tersedia di tiap platform digital, dan privasi pelapor akan terjamin kerahasiannya bila memang melaporkan ke institusi resmi.”

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Jakarta Timur. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat.