Di tengah masifnya masalah penanganan sampah di Indonesia, kehadiran bank sampah menjadi solusi yang menjanjikan. Tak hanya berdampak positif bagi lingkungan, bank sampah juga menawarkan benefit langsung bagi masyarakat dari sisi ekonomi.
Isu sampah menjadi isu nasional bangsa Indonesia karena timbulan sampah kian bertambah seiring meningkatnya jumlah penduduk, kemajuan teknologi, dan perubahan gaya hidup. Pada 2016, timbulan sampah di Indonesia sebesar 65 juta ton. Komposisi sampah nasional didominasi oleh sampah organik (57 persen), sampah plastik (16 persen), sampah kertas (10 persen), dan jenis sampah lain (17 persen).
Timbulan sampah plastik pada 2016 ini meningkat dari yang sebelumnya hanya 14 persen pada 2013. Ini menunjukkan, masyarakat kini lebih sering menggunakan produk-produk dengan kemasan sekali pakai. Ada lima jenis sampah plastik yang mendominasi di lingkungan, yaitu kantong plastik sekali pakai, PET botol, sedotan, styrofoam, dan kemasan saset.
Persoalan makin pelik karena kesadaran yang rendah untuk mengelola sampah. Banyak sampah yang tercecer ke lingkungan dan berakhir ke laut. Sebesar 70 persen sampah di laut berasal dari daratan dan sisanya dari kegiatan di laut. Hal ini tentu saja mengancam ekosistem perairan dan laut, yang artinya juga akan berdampak terhadap kesehatan manusia. Dana United Nation Environment Programme (UNEP) memprediksi, pada 2050 diperkirakan 600 spesies laut akan terancam kepunahan dan 99 persen burung-burung laut mengandung sampah plastik.
Partisipasi masyarakat
Sumber utama sampah nasional, yaitu sebesar 36 persen, berasal dari kegiatan rumah tangga. Pendekatan pengelolaan sampah pun harus berbasis partisipasi masyarakat. Ini dilakukan salah satunya dengan membangun kesadaran masyarakat untuk menerapkan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle) melalui pembangunan bank sampah di wilayah permukiman masyarakat. Dengan begitu, masyarakat bisa secara aktif memilah dan mengolah sampahnya.
Pencanangan bank sampah ini dari sisi regulasi juga didukung Peraturan Presiden No 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah (Jakstranas). Ini adalah momentum besar penataan sistem pengelolaan sampah di Indonesia. Indonesia menargetkan pengelolaan sampah 100 persen pada 2025, dengan pengurangan sampah 30 persen dan penanganan sampah 70 persen.
Target ini disokong dengan sejumlah perencanaan. Pada 3 Desember lalu, Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengadakan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Bank Sampah ke-5 di Jakarta. Ini merupakan kegiatan rutin KLHK untuk mewadahi komunikasi nasional para pelaku bank sampah di seluruh Indonesia.
Acara tersebut dihadiri 800 peserta dari perwakilan bank sampah, DLH provinsi dan kabupaten/kota, dunia usaha, perguruan tinggi, serta asosiasi dari 34 provinsi di Indonesia. Pertemuan ini mengangkat tema “Revolusi Mental Pengelolaan Sampah melalui Pelibatan Masyarakat Berbasis Bank Sampah”. Outcome yang ingin dicapai dari Rakornas Bank Sampah ini adalah bertambah dan berkembangnya jumlah bank sampah di Indonesia, sehingga tumbuh kesadaran masyarakat untuk mengelola sampah di sumbernya.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rosa Vivien Ratnawati menyampaikan, bank sampah diharapkan dapat menjadi social capital yang permanen dalam pranata sosial masyarakat Indonesia. Secara konkret, ini bisa diwujudkan dengan adanya minimal satu bank sampah pada satu desa/kelurahan serta bank sampah induk di setiap kabupaten/kota.
Dalam kurun 3 tahun terakhir, perkembangan bank sampah di Indonesia menunjukkan tren yang positif. Pertumbuhan bank sampah meningkat dari 1.172 pada 2015 menjadi 5.244 pada 2017. Bank sampah ini tersebar di 31 provinsi dan 218 kabupaten/kota dengan sampah terkelola yaitu sampah plastik (40,79 persen), sampah kertas (33,43 persen), alumunium/besi/seng (21,74 persen), dan selebihnya sampah logam, kaleng, dan lainnya.
Jika dilihat dari volumenya, bank sampah memberikan kontribusi terhadap pengurangan sampah nasional sebesar 1,7 persen (1.389.522 ton/tahun) dengan penghasilan rata-rata sebesar lebih dari Rp 1,4 miliar per tahun. Jumlah ini relatif masih kecil, tetapi KLHK optimistis ini bisa terus ditingkatkan.
Ekonomi sirkuler
Bank sampah memberikan dampak positif bagi lingkungan, sosial, maupun ekonomi. Selain mengurangi sampah yang tertimbun di TPA maupun tercecer di lingkungan, dari kegiatan ini muncul pula peluang pekerjaan serta sumber nafkah baru. Sebagai contoh, salah satu bank sampah induk di Jakarta Barat memiliki omset sebesar Rp 4,5 miliar per tahun.
Di Papua Barat, Bank Sampah Sorong Jaya yang diinisiasi Yayasan Misool pada 2014 kini memiliki omzet sekitar Rp 150 juta per bulan dengan jumlah nasabah kira-kira 4.000 orang. “Dari omzet itu, 60 persennya adalah jumlah yang dibayarkan kembali untuk masyarakat,” ujar Program Director Yayasan Misool Baseftin Hery Yusamandra.
Bank Sampah Sorong Jaya secara operasional mencakup wilayah Kabupaten Sorong, Kota Sorong, dan Kabupaten Raja Ampat. Kini sudah ada total 72 unit bank sampah yang tersebar di area tersebut. Bank sampah juga membuka lapangan pekerjaan baru. “Karyawan kami berkembang dari 9 orang menjadi 32 karyawan. Itu kami gaji dari sampah saja,” tambah Hery.
Novrizal Tahar, Direktur Pengelolaan Sampah pada Dirjen PSLB3, menekankan bank sampah sebagai salah satu pilar tumbuhnya ekonomi sirkuler (circular economy). “Setiap orang menghasilkan sampah dan dengan begitu berarti memiliki unit produksinya sendiri. Itu kekuatan sumber daya yang besar. Dengan menjual sampah, masyarakat mendapatkan keuntungan. Ini menjadi ekonomi kerakyatan yang inklusif, bukan lagi trickle down effect.”
KLHK terus berupaya mendorong hal ini. Selain lewat peningkatan kapasitas pemerintah daerah, pemerintah pusat juga menetapkan berbagai kebijakan yang suportif. Instrumen kebijakan itu dapat berupa skema dana insentif daerah (DID) atau mekanisme dana alokasi khusus (DAK) bagi pengelolaan sampah. [NOV]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 18 Desember 2018.