Tak dapat dipungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi. Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.

Menyikapi hal itu, maka baru-baru ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tajuk “Peran Aktif Anak Muda Dalam Memerangi Konten Negatif di Media”. Webinar yang digelar pada Senin (12/7) di Kabupaten Tangerang itu, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.

Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Rizki Ayu Febriana – Kaizen Room, Hardya Pranadipa – Jaringan Kerja Pemuda Perdamaian dan Keamanan, Ismita Saputri – Kaizen Room dan Pri Anton Subardio – CEO BUMDesa Mutiara Soka & Nemolab.

Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety. Rizki Ayu Febriana, membuka webinar dengan mengatakan, Indonesia selalu masuk peringkat 5 besar pengguna terbanyak sosial media.

Generasi muda menggunakan sosial media, untuk mendapatkan Informasi dan menyuarakan pandangan mereka mengenai isu sosial politik. Namun sosial media ibarat pisau bermata dua. Hoaks, kampanye hitam (black Campign), hingga ujaran kebencian sering mewarnai ranah sosial media.

“Kita mungkin sudah sangat akrab dengan dunia digital. Namun, selayaknya dunia fisik di sekitar kita, ada beberapa hal yang perlu kita ketahui dan pahami agar tidak tersesat dalam dunia digital,” kata Rizki.

Untuk itu, ia mengatakan, bawah diperlukan literasi digital, yang banyak menekankan pada kecakapan pengguna media digital dalam melakukan proses mediasi media digital yang dilakukan secara produktif.

“Selain itu, diperlukan digital skills, yakni kemampuan individu dalam mengetahui, memahami, dan menggunakan perangkat keras dan piranti lunak TIK serta sistem operasi digital. Mulai dari website hingga beragam aplikasi di smartphone,” paparnya.

Hardya Pranadipa menambahkan, masyarakat perlu mewaspadai strategi kelompok ekstremis dalam membangun narasi. Biasanya mereka akan menyebutkan pemerintah kafir, menjadi PNS itu haram, sehingga menarik diri dari masyarakat yang dianggap “salah”.

“Bagaimana kita harus menghadapi ini? Secara tidak sadar kita sedang dipecah-belah (dipolarisasi) Mari Mengembangkan Berpikir Kritis!,” ajakr Hardya. Ia menambahkan, caranya menghindari strategi kelompok ekstremis adalah perbanyak membaca beragam informasi dan sudut pandang.

Lalu berfikir Ilmiah, memilih sumber yang kredibel yang sesuai dengan kaidah jurnalistik, mempelajari pentingnya Hak Asasi Manusia dan Nirkekerasan beserta prakteknya sehari-hari di masyarakat Indonesia yang majemuk.

“Menjadi kritis adalah menguatkan rasa penasaran dengan aktif mencari tahu, memperbanyak pengetahuan melalui sumber yang beragam, dan memperbanyak perspektif. Dengan demikian kita bisa kebal terhadap ‘postingan-postingan keren’ sosmed yang bermaksud menciptakan polarisasi di antara kita,” ujarnya.

Sementara Ismita Saputri mengatakan, Indonesia merupakan negara majemuk, multikulturalis, dan demokratis. Sebab, Indonesia terdiri dari 16.771 pulau, 34 provinsi, 1340 suku bangsa, dan 6 agama.

Oleh sebab itu, dalam kegiatan di dunia digital, diperlukan etika digital (digital ethics), yang artinya kemampuan individu dalam, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan dan mengembangkan tata kelola etika digital (netiquet) dalam kehidupan sehari-hari.

“Bahwa menggunakan media digital mestinya diarahkan pada suatu niat, sikap, dan perilaku yang etis demi kebaikan bersama. Demi meningkatkan kualitas kemanusiaan,” kata Ismita.

Adapun ruang lingkup etika yakni kesadaran, kebijakan, integritas, kebijakan, dan tanggung jawab. “Hindari lah jenis-jenis konten negatif seperti pornografi/pornografi anak, perjudian, pemerasan, penipuan, provokasi SARA, berita bohong, hingga terorisme/radikalisme,” ungkapnya.

Biasanya, motivasi para penyebar konten negatif dilandasi kepentingan ekonomi (mencari uang), politik (menjatuhkan kelompok politik tertentu), mencari kambing hitam, dan memecah belah masyarakat.

Berita bohong atau hoaks adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya. Bertujuan membuat masyarakat merasa tidak aman, tidak nyaman, dan kebingungan.

Dalam kebingungan, masyarakat akan mengambil keputusan yang lemah, tidak meyakinkan, dan bahkan salah. Dampak dari penyebaran hoaks yakni memicu perpecahan, memicu ketakutan, menurunkan reputasi, membuat fakta menjadi sulit dipercaya, hingga korban jiwa.

“Jadilah milenial yang bijak dalam menggunakan sosial media. Jadilah pemutus konten negatif, sebarkan konten Positif. Ingatlah, bahwa jejak digital mungkin saja tidak akan bisa dihapus, selamanya. Mari sampaikan dengan bijak, sopan, dan santun serta mengikuti etika sekaligus peraturan yang berlaku,” tutur Ismita.

Sebagai pembicara terakhir, Pri Anton Subardio memaparkan, secara umum, keamanan digital dapat dimaknai sebagai sebuah proses untuk memastikan penggunaan layanan digital, baik secara daring maupun luring dapat dilakukan secara aman dan nyaman.

Setidaknya terdapat tiga aspek kecakapan keamanan digital, yakni aspek kognitif, afektif dan konatif atau behavioral yang dikembangkan agar pengguna digital mampu mengembangkan keterampilan kritis dalam menganalisis, menimbang serta meningkatkan kesadaran keamanan digital dalam kehidupan sehari-hari.

“Pentingnya literasi digital dalam memerangi konten negatif yaitu disinformasi dan misinformasi menjadi hal yang lumrah, di tengah semakin aktifnya masyarakat dalam melakukan pencarian informasi,” kata Pri.

Contohnya adalah mencegah misinformasi selama pandemi. Ketidakpastian dan kontroversi seputar pandemi Covid-19 telah memanaskan perdebatan tentang misinformasi dalam beberapa minggu terakhir ini.

Banyak pihak seperti peneliti, pembuat kebijakan, bahkan lembaga penegak hukum telah bersama sama memerangi penyebaran misinformasi, agar tidak menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat.

“Konten yang mengandung informasi yang benar, namun dengan sengaja diputarbalikkan dan ditempatkan pada konteks lain dengan cara yang salah. Pengguna media sosial yang kritis tidak hanya mampu untuk mempertanyakan kebenaran suatu informasi, namun juga akan melakukan aksi nyata memerangi misinformasi,” pungkas Pri.

Dalam webinar ini, para partisipan yang hadir juga dipersilahkan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Saifulah G menanyakan, saat ini masyarakat menggunakan teknologi digital untuk menunjang kehidupan sehari-hari.

Lalu bagaimana strategi kita sebagai anak muda untuk ikut serta mengedukasi masyarakat terkait dengan digital ethics, untuk menghindarkan masyarakat dari berita atau informasi yang negatif dan provokatif?

“Peran kita sebagai anak muda, untuk mengedukasi kepada orang tua kita di rumah atau mungkin keluarga kita di luar sana yang sudah melek teknologi. Bagaimana kita menangkal informasi-informasi seperti hoaks dengan melakukan edukasi kepada mereka cek dan ricek terkait berita tersebar. Kita harus peduli,” jawab Ismita.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Tangerang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui Instagram @siberkreasi.dkibanten.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, terutama kepada Kominfo. Mengingat program literasi digital ini hanya akan berjalan dengan baik dan mencapai target 12,5 juta partisipan, jika turut didukung oleh semua pihak.