Tak dapat dipungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi. Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.

Menyikapi hal itu, maka baru-baru ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tajuk “Aturan Kebebasan Berekspresi di Media Sosial”. Webinar yang digelar pada Senin (12/7) di Kabupaten Tangerang itu, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.

Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Prisa kandora – Kaizen Room, Achmad Uzair – Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,  Zulfan Arif – Translator & Content Writer, Maryam Fithriati, MSW – Co-Founder Pitakonan Studio & Management Pegiat Literasi Komunitas.

Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety. Prisa kandora, membuka webinar dengan mengatakan, kebebasan berpendapat yang tanpa etika dan sikap hormat kepada orang lain, akan melahirkan anarkhi.

“Kebebasan berpendapat dibatasi oleh hak-hak orang lain untuk diperlakukan secara layak dan adil, hak-hak setiap orang untuk mendapati ruang publik yang beradab dan menyejukkan,” tuturnya.

Untuk itu, diperlukan digital skill yang merupakan kemampuan individu dalam mengetahui, memahami, dan menggunakan perangkat keras dan piranti lunak teknologi informasi dan komunikasi (TIK) serta sistem operasi digital.

“Mulai dari website hingga beragam aplikasi di smartphone. Blog, jejaring sosial, dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia,” kata Prisa.

Menurutnya, media sosial (sering disalahtuliskan sebagai sosial media) adalah sebuah media daring yang digunakan satu sama lain yang para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berinteraksi, berbagi, tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu.

“Karena pendekatannya hingga ke individual dari masing-masing pengguna internet, kebebasan berpendapat di dunia maya tentunya jadi sulit dikendalikan. Namun sudah ada peraturan perundangan seperti UU No.36 tahun 1999, UU No. 11 tahun 2008, dan UU No. 14 tahun 2008 untuk mengatur hal-hal seperti telekomunikasi dan keterbukaan informasi publik,” paparnya.

Achmad Uzair menambahkan, bahwa jempol kita dapat menentukan keadaban digital. Tanpa perubahan sikap mental, transformasi budaya bisa berujung pada “gegar budaya”, yakni keterasingan, dan kegagalan memanfaatkan secara optimal benefit teknologi.

“Perilaku yang kurang beradab yakni hoaks, fake news, bullying, ujaran kebencian. Mereka melakukan trolling atau sengaja memancing kemarahan, serta microagression atau pelecehan terhadap kelompok marginal,” paparnya

Selain itu, terdapat pula misinformasi yaitu informasi salah namun tidak sengaja dibuat untuk timbulkan kekacauan. Lalu disinformasi yang mana merupakan informasi salah dan sengaja disebarluaskan untuk mengacau, serta malinformasi yakni peristiwa benar terjadi namun dipelintir untuk membuat kekacauan.

Pemahaman bahwa masing-masing individu memiliki tanggung jawab, untuk melindungi kebebasan yang diperoleh dengan mengakui bukan hanya perilaku kita akan berdampak pada orang lain, tetapi juga bagaimana kita perlu mendorong, mengedukasi, mendukung dan memberdayakan orang-orang yang menjadi mitra komunikasi online kita.

“Cakap digital tak hanya cakap operasikan alat/aplikasi, melainkan juga bertanggung jawab, Tak hanya cakap gunakan teknologi, tapi juga cakap dalam proses mediasi secara produktif,” ucap Achmad.

Sementara Zulfan Arif mengajak masyarakat untuk berekspresi secara tanggung jawab. “Apa itu kebebasan berekspresi? yakni hak setiap orang untuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi dan gagasan dalam bentuk apapun, dengan cara apapun,” ujarnya.

Kebebasan tersebut, termasuk ekspresi lisan, tercetak maupun melalui materi audiovisual, serta ekspresi budaya, artistik maupun politik. Kebebasan berekspresi juga mendukung hak asasi manusia lainnya seperti hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama.

Adapun landasan hukumnya, yakni UUD 1945 Pasal 28E ayat (3), dimana setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Lalu UUD 1945 Pasal 28 F.

Pasal itu berbunyi dimana setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Perkembangan teknologi dan Informasi telah menyediakan platform baru untuk menyalurkan kebebasan berekspresi, salah satunya melalui sosial media seperti Twitter, FB, IG, dan Youtube. Dengan hadirnya Internet, mereka dapat menyuarakan hak-hak mereka yang sebelumnya mendapat tekanan.

“Saat ini generasi muda menggunakan media sosial untuk mendapatkan informasi dan menyuarakan isu sosial politik. Hal tersebut kemudian membuat arus ide, norma dan gagasan serta nilai-nilai semakin intens dengan karakter yang borderless atau tanpa batas,” jelas Zulfan.

Namun, tingginya pengguna medsos di Indonesia ini beresiko akan meningkatkan penyebaran hoaks maupun konten negatif, pesan provokasi dan ujaran kebencian yang bisa menimbulkan konflik.

Pola komunikasi masyarakat di Indonesia dalam bersosial media yakni “10 to 90” yaitu hanya 10 persen yang memproduksi Informasi sedangkan 90 persen cenderung mendistribusikannya. Dengan tingkat literasi yang seperti ini membuat arus informasi di sosial media cenderung konten negatif atau hoaks.

“Hoaks di medsos menjadi media untuk menyampaikan pendapat, namun juga menjadi sumber utama penyebar hoaks. Hindari opini provokatif opini merupakan sesuatu yang sangat penting kita tidak tahu, apa yang kita sampaikan belum tentu bisa di terima semua kalangan,” paparnya.

Sebagai pembicara terakhir, Maryam Fithriati menjelaskan, setidaknya ada 3 hak digital, yaitu hak untuk mengakses internet, hak untuk berekspresi, dan hak atas rasa aman di ranah digital.

“Semakin tinggi ketergantungan kita terhadap media digital, pada saat yang sama harus diikuti dengan pemenuhan terhadap hak-hak digital sebagai bagian dari hak asasi manusia,” tuturnya.

Selain itu di dunia digital kita wajib memiliki keamanan digital. Sebab, tidak ada jaminan penyedia platform digital mempunyai sistem perlindungan data yang aman, apalagi Indonesia belum mempunyai regulasi khusus yang mengatur perlindungan data pribadi.

Adapun langkah-langkah melindungi data digital yakni stop beri data pribadi terlalu banyak di medsos, gunakan perlindungan maksimal, password yang berbeda untuk setiap akun, ubah kata sandi email secara rutin, setting privasi seluruh akun, stop transaksi keuangan online dengan wifi publik, hargai privasi orang lain.

“Cakap dan cerdas digital menjadi sarat mutlak setiap warganet untuk melindungi diri dari ancaman digital dan terjerumus sebagai penjahat digital. Saling jaga, saling hormati dan saling kerjasama adalah prasyarat untuk menciptakan ketahanan siber dan ekosistem digital yang aman dan nyaman untuk semua,” pungkasnya.

Dalam webinar ini, para partisipan yang hadir juga dipersilahkan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Naufal Farras menanyakan, bagaimana sikap orang tua dalam mendidik anaknya untuk tidak menyalahgunakan media sosial agar tidak terjadinya hal-hal negatif karena adanya kebebasan berekspresi?

“Sebagian besar cyberbullying dilakukan oleh anak-anak usia di bawah 17 tahun. Hal yang pertama yang kita lakukan pendampingan oleh orang tua maupun intansi sekolah, perlu adanya kerja sama orang tua dan pihak-pihak sekolah,” jawab Zulfan Arif.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Tangerang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui Instagram @siberkreasi.dkibanten.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, terutama kepada Kominfo. Mengingat program literasi digital ini hanya akan berjalan dengan baik dan mencapai target 12,5 juta partisipan, jika turut didukung oleh semua pihak.