Pandemi Coronavirus19 (Covid-19) mengubah tatanan kehidupan di seluruh dunia, termasuk di bidang ekonomi. Sepanjang 2021 hingga 2022, lanskap ekonomi dunia diprediksi masih akan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi akibat Covid-19.

Meski sepanjang 2020 pemerintah di seluruh dunia telah menggelontorkan paket stimulus secara besar-besaran untuk meminimalkan dampak Covid-19, kebijakan tersebut tidak mampu mencegah pertumbuhan negatif, angka pengangguran yang meningkat, kegagalan bisnis, termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), penurunan perdagangan barang dan jasa, penurunan investasi langsung asing dan gejala-gejala kontraksi lainnya.

Kondisi tersebut membuat sepuluh negara anggota ASEAN, bersama China, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Australia pada November lalu menandatangani RCEP, sebuah perjanjian kerja sama dagang terbesar di dunia.

RCEP adalah kawasan ekonomi yang sangat besar menurut wilayah, penduduk dan angkatan kerja, pendapatan nasional, perdagangan internasional, dan investasi internasional. Sebagai gambaran, kawasan ini mencakup 2,1 miliar orang (30 persen populasi dunia) dan menyumbang sekitar 30 persen Produk Domestik Bruto (PDB) global.

Menurut Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar, RCEP adalah sebuah kendaraan untuk meningkatkan peran dan kontribusi dan keberadaan Indonesia dalam perdagangan serta investasi dunia. Secara paralel, pemerintah sudah mengesahkan UU Cipta Kerja. UU ini merupakan elemen penting dalam memperbaiki pekerjaan rumah yang dihadapi selama ini terkait investasi.

Oleh karena itu, RCEP dan UU Ciptaker harus dijadikan momentum untuk mencapai pemulihan ekonomi yang sustainable pada tahun ini. Mahendra mengatakan, RCEP adalah lokomotif ekonomi dunia untuk 10–20 tahun ke depan. Bukan itu saja, RCEP akan membuat kawasan Asia menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi dunia.

“Selama ini, Asia itu selalu menjadi factory atau pabrik, tetapi sudah menjadi pabrik, pasar, dan motor pertumbuhan ekonomi dunia. Oleh karena itu, Indonesia harus memanfaatkan momentum RCEP ini untuk meningkatkan ekspor. Karena selama ini, mayoritas ekspor Indonesia adalah ke negara-negara anggota RCEP,” kata Mahendra dalam webinar “Stimulus Covid-19 dan RCEP: Pemacu Pemulihan Ekonomi Indonesia dan Dunia 2021–2022” yang diselenggarakan Universitas Prasetiya Mulya, Ikaprama, dan Katadata, Rabu (20/1/2021).

Tujuan kesepakatan ini untuk menurunkan tarif, membuka perdagangan barang dan jasa, serta mempromosikan investasi. Penandatanganan ini diharapkan dapat menjadi salah satu motor penggerak ekonomi para anggotanya.

Menurut Managing Director Bank Dunia Mari Pangestu, salah seorang inisiator RCEP pada KTT Asean di Bali pada 2011 silam, kerja sama dagang ini akan menguntungkan ASEAN karena kelahirannya justru dimaksudkan untuk mengimbangi kekuatan ekonomi Asia Timur (China, Jepang, dan Korea Selatan).

RCEP diharapkan dapat memangkas biaya dan waktu bagi perusahaan dalam mengekspor produknya ke negara-negara dalam lingkup perjanjian ini. Sebab, eksportir hanya perlu menggunakan satu macam surat keterangan asal (SKA) untuk bisa mengekspor ke seluruh negara anggota RCEP. Selain itu, diharapkan terdapat spill-over effect, yang memperluas jangkauan Indonesia ke negara-negara di luar anggota RCEP dan rantai pasok global.

Implementasi RCEP bagi Indonesia

Pandemi Covid-19 telah memukul pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan Bank Dunia minus 2,2 persen hingga akhir 2020. Pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat kembali positif pada 2021 di kisaran 3 persen. Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat bisnis harus memanfaatkan setiap potensi ekspansi untuk mendukung berbagai peluang yang ditimbulkan dari paket stimulus yang besar.

Penandatanganan RCEP memberikan harapan bagi masyarakat internasional bahwa perdagangan bebas tetap menjadi arah yang tepat untuk ekonomi dunia. Pandemi juga telah meningkatkan keinginan banyak negara untuk bersatu melawan virus Covid-19. Oleh karena itu, harus ada cara untuk menghadapi pandemi dan mengembalikan pertumbuhan ekonomi serta yang tidak kalah penting adalah mempertahankan rasa percaya diri negara-negara di dunia terhadap pembangunan pada masa depan.

RCEP bisa dijadikan sebagai stimulus tambahan pascapandemi karena berpotensi meningkatkan perdagangan dan investasi di negara anggota. Meski demikian, manfaat RCEP tidak akan bisa didapatkan Indonesia secara maksimal bila tidak dilakukan perubahan secara mendasar, berupa program penguatan daya saing di berbagai sektor. Implementasi RCEP bisa menjadi salah satu jalan dalam upaya pemulihan perekonomian Indonesia pada 2021.

Indonesia sejatinya bisa memainkan peran yang cukup dominan dalam RCEP jika mampu meningkatkan daya saing. Salah satunya dengan mencetak tenaga kerja terampil dan profesional yang sesuai dengan tuntutan perkembangan industri dan mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi digital.

 Alasan ini pula yang menjadi fokus Universitas Prasetiya Mulya dalam dunia pendidikan untuk terus berupaya mencetak generasi unggul berwawasan di bidang bisnis dengan menyelenggarakan pendidikan berbasis teknologi dan sains terapan. Selama ini, Universitas Prasetiya Mulya juga terus berupaya membangun ekosistem bisnis kepada para mahasiswanya agar dapat beradaptasi dengan berbagai perubahan lanskap ekonomi.

Menurut Rektor Universitas Prasetiya Mulya Prof Dr Djisman S Simandjuntak, tahun 2021 sangat mungkin menjadi momentum pemulihan akibat dampak pandemi Covid-19. Oleh karena itu, pertumbuhan baru sesudah 2021 juga harus disiapkan dari sekarang. Pembangunan yang berpusat berdasarkan kesehatan, investasi yang besar dalam modal manusia, yaitu pendidikan dan pelatihan, perlunya katalisasi kewirausahaan, serta investasi infrastruktur, termasuk infrastruktur digital menjadi sangat penting.

“Kita perlu dekarboniasasi, serius menangani investasi yang sifatnya dekarbonisasi seperti renewable energy, kita perlu membangun brand Indonesia maju, yang sudah banyak jadi buah bibir, Indonesia yang terbuka, connected, decarbonized,” ujar Djisman.

Terkait pembangunan modal manusia, Djisman menekankan pentingnya keuntungan bonus demografi yang dimiliki Indonesia. Menurut Djisman, bonus demografi hanya bisa terwujud jika generasi muda Indonesia bisa menikmati pendidikan dan kesehatan yang baik.

Memang dalam kondisi saat ini membuka kembali persekolahan dengan pola pembelajaran tatap muka cukup berisiko. Namun dengan perkembangan teknologi digital, pola pendidikan hybrid, perpaduan tatap muka dengan aktivitas pembelajaran online bisa menjadi salah satu solusi. “Kami di Prasetiya Mulya sudah membangun hybrid classes, yaitu peserta didik bisa ikut pendidikan secara fisik. Namun, sebagian besar mengikuti online. Jadi, kita gilir,” jelas Djisman

Saat ini, kata Djisman, digitalisasi menjadi satu keniscayaan untuk membangun daya saing manusia Indonesia. Digital connectivity harus bisa menjangkau seluas mungkin di wilayah Indonesia dan sebanyak mungkin seluruh masyarakat Indonesia demi membangun human capital yang jauh lebih baik.