Semarang (20/8/2020) – Kebutuhan pupuk bagi petani memang sangat tinggi, terutama petani pangan. Oleh karena itu, tak heran, harga pupuk terus bergejolak. Salah satu cara yang digunakan pemerintah untuk meredam gejolak harga pupuk itu dengan subsidi.
Namun, yang terjadi di lapangan tidak sinkron. Pemerintah mengatakan, pupuk sudah terdistribusi. Sementara itu, petani ternyata kerap tidak menerima pupuk bersubsidi. Inilah yang membuat suara pupuk langka di kalangan petani menguar. Pada akhirnya, para petani tersebut membeli pupuk nonsubsidi.
Sebenarnya, mekanisme distribusi pupuk kepada petani telah diatur. Setelah dicermati, permasalahan terjadi karena aspek pendataan yang masih belum sempurna. Hal ini terungkap pada Dialog bersama Parlemen: Prime Topic dengan tema “Strategi Penanganan Pupuk Langka dan Kesejahteraan Petani” di Gedung Berlian, Jalan Pahlawan, Semarang, Rabu (18/8).
“Permasalahan subsidi juga ruwet setiap tahunnya. Data pemerintah mengatakan subsidi cukup, tetapi di lapangan berbeda dan masih banyak kekurangan karena banyak orang yang bermain,” ujar Ketua Komisi B DPRD Provinsi Jateng Sumanto.
Sebab, jika masalah subsidi ini tidak diselesaikan, petani akan terpaksa membeli pupuk nonsubsidi. Harganya jelas sangat mahal, tidak sebanding dengan keuntungan mereka. Hal ini memengaruhi kesejahteraan mereka.
Perbedaan sudut pandang
Guru Besar Universitas Agung Podomoro Jakarta Prof Sony Heru Priyanto mengatakan, ada perbedaan sudut pandang antara pemerintah dan petani terhadap pupuk langka. Jika pemerintah melihat pupuk langka karena ketiadaan pupuk, berbeda dengan petani yang karena tidak punya akses.
“Pemerintah menggunakan data petani berbasis data kartu tani, tapi data tahun lalu. Padahal, petani dinamika perubahannya sangat cepat. Dia belum selesai tanam, sudah menanam yang lain. Saat sedang menanam yang lain, pupuknya belum ada karena keberadaan pupuk bersubsidi berdasarkan musim tanam. Oleh karena itu, mereka bilang pupuk langka,” ujarnya.
Termasuk juga, misalnya, dalam 1 tahun ada beberapa musim tanam. Petani A menyewakan lahannya pada musim tanam 2 ke petani B. Namun, perpindahan lahan itu tidak diikuti perpindahan kartu tani. Jadi, ketika petani B ingin menanam, data mereka tidak ada di kartu tani sehingga tidak bisa mendapatkan pupuk subsidi.
Kasi Pupuk dan Pembiayaan Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Jateng Asil Tri Yuniati mengatakan, memang penyusunan kartu tani berdasarkan e-Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani (e-RDKK) tahun sebelumnya. Jadi, kalau memang tidak masuk pada kartu tani, tidak bisa mendapatkan pupuk bersubsidi.
“Penyusunan RDKK sudah elektronik, dipandu penyuluh pertanian kemudian approval dari kepala dinas kabupaten/kota. Kalaupun mau dilakukan alokasi dari kabupaten/kota lain, bisa saja, tetapi harus perintah dari pusat. Karena sudah ada di dalam permentan,” ujar Asil.
Melihat hal tersebut, Sony mengusulkan bahwa seharusnya e-RDKK yang sudah elektronik tersebut dijalankan secara real time. Oleh karena itu, dinamika petani yang sangat cepat ini bisa diakomodasi, tidak lagi berdasarkan data tahun sebelumnya.
Terkait usulan pengalihan subsidi pupuk ke subsidi pascapanen, Sony setuju. Oleh karena itu, harga yang diterima oleh petani tidak hanya harga wajar, tetapi juga harus harga makmur. Ini karena menurut Sonny, rata-rata negara yang makmur harga pangannya mahal. Hal ini secara tidak langsung mendukung kesejahteraan petani. [ADV/VTO]